2001_April_Edisi 123_Lingkungan:
ular, ditakuti sekaligus diburu
Rohman Yuliawan
Sifat licik dan munafik kerap diasosiasikan dengan ular, karena dibalik lenggak lenggaknya yang gemulai, tersimpan ancaman yang mematikan. Namun reptil yang ditakuti manusia karena keganasan bisanya, kini justru sedang terancam keberadannya akibat ulah manusia.
Mungkin sudah menjadi takdir ular, sangat berbahaya sekaligus bermanfaat bagi manusia. Seluruh bagian tubuhnya dapat diolah tanpa sisa. Kulitnya dapat dijadikan dompet atau ikat pinggang dan barang kerajinan lainnya. Dagingnya dapat diolah menjadi aneka masakan lezat dan konon berkhasiat untuk menghaluskan kulit. Emoedu ular diyakini dapat mengobati aneka penyakit dalam seperti maag, liver, kencing manis dan dapat meningkatkan libido seksual. Tulang ular diremuk untuk dijadikan salep yang dapat mengatasi penyakit kulit, sementara darah segarnya diminum untuk meningkatkan vitalitas tubuh. Bisa ular Angkistradon (ular tanah), Bungarus (ular weling) dan Naja atau Kobra dapat diekstraksi menjadi serum anti bisa ular yang dikenal sebagai serum ABK (singkatan jenis ular yang diambil bisanya:Angkistrodon, Bungarus, dan Kobra). Dengan nilai ekonomis yang begitu tinggi, tidak heran jika berbagai jenis ular sangat diburu oleh berbagai pihak.
Menurut hasil investigasi Yayasan Sanca Indonesia diperoleh data berupa angka penangkapan ular dari alam dalam jumlah yang cukup mencengangkan, yakni mencapai puluhan ribu ekor dalam setiap bulannya, terutama untuk ular jenis kobra (naja naja). Ular-ular tersebut dilempar ke pasaran luar negeri melalui Jakarta dan Surabaya, setelah sebelumya dikumpulkan lewat jalur beberapa kota di Jawa. Padahal ular jenis tertentu telah dimasukkan dalam Appendix II CITES (Conservation on Internasional Trade in Endangered Species of Wild Fauna dan Flora) sebagai spesies yang dilindungi dan dilarang untuk diekspor. Larangan ekspor juga tercantum dalam UU Departemen Kehutanan No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Hanya saja peraturan tersebut kerap diakali oleh para pedagang ular dengan memalsukan dokumen pengiriman barang, setidaknya modus ini terlibat dari beberapa kasus percobaan penyelundupan ular yang berhasil diungkap.
Di tahun 1998, sedikitnya ada dua percobaan penyelundupan ribuan ular kobra dalam keadaan hidup ke Cina baik melalui bandara Juanda Surabaya maupun Bandara Soekarno Hatta, Jakarta yang berhasil digagalkan petugas. Ular yang terselamatkan dilepas kembali ke habitatnya oleh instansi yang berwenang. “Ular yang sudah ditangkap manusia biasanya menjadi stress dan enggan bertahan hidup, apalagi mereka harus beradaptasi lagi dengan lingkungan baru dan berkompetisi dengan populasi yang telah ada di habitat tersebut,” ujar Bowo dari Yayasan Sanca Indonesia. Dia tak menampik bahwa permasalahan tersebut cukup sistematis, karena di satu sisi dibutuhkan tenaga khusus dan biaya pemeliharaan yang relatif mahal, sementara tindakan melepaskan kembali ke alam juga bukan penyelesaian yang tepat.
Ulah manusia terhadap ular ini, tentunya sangat mempengaruhi perannya dalam menjaga keseimbangan ekologi. Manfaat terbesarnya bagi manusia adalah sebagai pemangsa hama pertanian dari jenis hewan pengerat (rodent). Populasi ular naik turun mengikuti ketersediaan populasi hewan mangsanya sehingga keseimbangan ekologis dapat terjaga. Bowo menyebutkan tiga faktor yang mempengaruhi populasi ular, yaitu hilang atau berubahnya vegetasi yang menjadi habitat ular, berkurangnya hewan mangsa dan yang paling berpengaruh adalah perburuan ular oleh manusia.
Beberapa kota di Jawa, seperti Magelang, Salatiga, dan Malang menjadi pusat-pusat pengumpulan ular hasil buruan di berbagai daerah sebelum dikirim ke Jakarta atau Surabaya. Dari kedua kota tersebut, selanjutnya ular diselundupkan ke Cina dengan harga jual belasan kali lipat harga pasaran Indonesia. Jaringan perdagangan ular ini, saling tertutup juga sangat rapi dan hirarkis, sehingga layak kalau ada yang menyebutnya sebagai “mafia’. Indikasi adanya jaringan tersebut terendus lewat penyeragaman harga ular berdasarkan jenis, biasanya dalam kode tertentu, dan adanya jalur-jalur perdagangan antar kota.
Para pedagang ular kerap berkilah dengan mengatakan bahwa ular yang dijual adalah hasil penangkaran. Namun Bowo, yang menekuni Herpetologi (ilmu mengenai amfibi dan reptil) di fakultas Biologi UGN, tidak yakin dengan pengakuan para pedagang tersebut. “Untuk jumlah besar, dibutuhkan tempat yang luas untuk habitatnya, belum lagi reproduksinya secara alamiah akan terganggu oleh kehadiran manusia,” ujar Bowo. Jika volume penangkapan dan perburuan ular masih seperti sekarang, bukan mustahil spesies ini akan menemui kepunahannya lebih cepat dari yang kita duga. Dan anak cucu kita hanya bisa mengenalnya lewat buku atau kadang kebun binatang.
Leave a Reply