2001_Juli_Edisi 126_Bahas:
menyelamatkan hutan, meringankan hutang
Ade Tanesia/Rohman Yuliawan
143 milyar USD, dengan nilai tukar rupiah Rp. 9.500,- per dollar, maka menjadi Rp. 1,3 kuadriliun. Inilah angka fantastis untuk hutang luar negeri Indonesia sampai dengan bulan Desember 2000. Entah generasi ke berapa yang bisa melunasi hutang Indonesia. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk meringankan hutang kita. Salah satu celah yang perlu dilirik adalah konsep debt-for nature swap, yaitu keringanan hutang dengan kompensasi si negara penghutang harus melakukan program konvensasi. Mungkinkah konsep ini diterapkan di Indonesia?
Luas hutan di Indonesia sebesar 148,2 juta hektar, tercatat nomor tiga terbesar di Negara tropis sesudah Brazil dan Zaire. Ironisnya, per tahunnya hutan kita mengalami degradasi kurang lebih sebanyak 1.7 juta hektar akibat kebakaran hutan dan eksploitasi penebangan kayu. Dengan tingkat kerusakan yang sangat parah ini, maka sekitar tahun 2020 Indonesia akan kehabisan hutannya termasuk jutaan spesies satwa dan tanaman di dalamnya.
Eksploitasi hutan ini tak bisa dilepaskan juga dengan kondisi pembayaran hutang luar negeri Indonesia. Hutan dikeruk untuk devisa negara yang dialihkan untuk memabayar hutang. Sebenarnya mengingat hutan di Indonesia juga penting sebagai paru-paru dunia, Indonesia bisa mengajukan program debt-for nature swap, inti dari DNS adalah pembatalan atau keringanan hutang luar negeri dengan kompensasi si negara penghutang (debitur) harus memobilisasi sumber keuangan domestikuntuk kegiatan konservasi, misalnya pemeliharaan hutan.
Misalnya negara Indonesia sebagai debitur punya hutang sebanyak 2 juta USD, kemudian ada lembaga, biasanya organisasi lingkungan, yang membeli paket hutang tersebut dari debitur sebesar 1 juta USD. Hutangnya dibayarkan lunas 2 juta USD digunakan untuk konservasi, biasanya melalui LSM, dan dengan pengawasan pemakaiannya. Dengan demikian ada dua masalah terpecahkan, hutang laur negeri dapat dikurangi dan sumber daya dapat diselamatkan.
Silver Hutabarat staf Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan pesimis terhadap program ini, menurutnya di Indonesia DNS mungkin bukan solusi pada krisis ekonomi karena hutang Indonesia sendiri sudah terlalu besar. Namun untuk konservasi memang akan sangat berarti sekali. “Kabar terakhir menyebutkan bahwa pemerintah Amerika tidak memberikan sistem DNS ke Indonesia karena dipandang tidak layak menerimanya. Ada beberapa alasan, antara lain harus melaksanakan demokrasi dengan benar, tidak melanggar HAM, memerangi narkoba serta reformasi investasi secara menyeluruh”, ungkap Silver Hutabarat.
Lain lagi pendapat San Afri Awang dari Fakultas Kehutanan UGM, “Pemerintah kita tidak percaya diri untuk menjalankan mekanisme ini, karena berarti Indonesia terikat pada komitmen untuk menjaga dan mengelola hutannya dengan baik, padahal kemampuan untuk menjalankan komitmen tersebut yang tidak dimiliki pemerintah. Mungkin masih banyak persyaratan yang harus dipenuhi Indonesia untuk dapat melaksanakan Debt-For Nature Swap, namun ada baiknya bila program ini dipertimbangkan sebagai jalan keluar dari jeratan hutang dan dari ancaman kerusakan hutan yang lebih parah.
Fakta berbicara:
•Thomas Lovejoy dari WWF menulis sebuah artikel di harian New York Times pada tahun 1984 yang kelak tulisan tersebut menjadi katalis konsep debt-for-nature-swap.
•Pada tahun 1987 LSM Conservation International menandatangani persetujuan pengolahan hutang (debt swap) untuk pertama kalinya dengan Negara Bolivia. Sebagian hutang luar negeri Bolivia sebesar 650 ribu USD dibeli dan ditukar dengan pengembangan regional berupa pembebasan 37 ribu hektar tanah hutan basah tropis.
•Selain Bolivia negara yang pernah menerima program DNS adalah Costa Rica, Equador dan Filipina.
•Hutan mengolah kembali karbon dioksida yang dihasilkan instrument insdustri di banyak negara menjadi oksigen yang dapat menambal lubang ozon itu. Jadi fungsi hutan sangatlah besar untuk mempertahankan kualitas lingkungan bumi.
Leave a Reply