2001_April_Edisi 123_Bahas:
menunggu
Ade Tanesia
“Koran itu telah dibolak-baliknya berkali-kali. Dan yang ditunggu-tunggu itu tak juga kelihatan batang hidungnya. Kegiatan apa lagi yang harus dilakukan untuk membunuh waktu? Rokok sudah habis berbatang-batang hingga tenggorokan begitu kering. “Inilah sebait gambaran orang yang sedang menunggu, suatu situasi dimana rasa bosan, resah, dan kesal berbaur menjadi satu. Bait lain mengatakan bahwa menunggu dengan penghargaan merupakan salah satu solusi ketika menusia mengalami penderitaan, kebuntuan. Bait selanjutnya bercerita tentang Arca Gupala yang mengajarkan kita bahwa menunggu bisa menjadi simbol kesetiaan. Betapa luas jelajah makna kata “menunggu”.
Molor! Untuk kesekian kalinya Anna, wanita asal Jerman itu menggerutu, “Terlambat dan terlambat lagi. Selalu terlambat di Indonesia”, ungkapnya dengan cemberut. Seperti banyak orang di Indonesia tega membiarkan dirinya menunggu ½ jam, 1 jam, dari waktu kencan yang sudah disepakati sebelumnya. Bagi Anna kebiasaan ini sungguh tidak bertanggung jawab serta tidak menghargai orang lain. Memnag istilah jam karet sudak tidak langka lagi ditelinga warga asing. Kadang mereka menyebutnya dengan penuh toleransi sekaligus melecehkan kebiasaan ini. Sementara buat kebanyakan orang kita, tidak tepat waktu bukanlah hal aneh. Tidak ada cap tidak bertanggung jawab bagi orang yang melakukannya. Bahkan hal ini sudah mendapat pemakluman, contohnya jika hendak membuat undangan rapat atau pertemuan, pihak penyelenggara sudah memperhitungkan molornya waktu. Jika hendak dimulai jam 20.00, tulislah di undangan pk. 19.00, sehingga ada waktu 1 jam untuk mengantisipasi molor. Bahkan orang yang datang tepat waktu dengan sabarnya mau menunggu para tetamu lainnya.
Di sini ada perbedaan pemaknaan terhadap waktu antara penduduk lokal dengan warga asing, khususnya orang barat. Bagi penduduk lokal, waktu adalah sebuah pengalaman yang mengalir dan dinikmati. Ukuran-ukuran secara ketat yang perlu diisi secara efisien bukan prioritas. Sehingga tidak heran banyak pendatang di Yogyakarta yang merasa waktu berjalan begitu lambat dan terbuang dengan sia-sia. Sementara bagi orang barat, waktu haruslah digunakan secara efisien, produktif, dan sesuai dengan target atau jadwal yang sudah ditentukan sebelumnya.
Walaupun penduduk setempat telah mengenal pembagian hari menjadi dua puluh empat jam dari penjajah Belanda, yang juga berimplikasi pada ketepatan waktu, namun hingga kini cara menyikapinya tetap menggunakan kosmologi budaya lokal. Hal ini tentunya tidak bisa dibandingkan orientasi waktunya siapa yang lebih baik, karena memang konteks budayanya berbeda. Hanya agar tidak mengalami stress, ada baiknya para pendatang mencoba beradaptasi dengan kebiasaanpenduduk lokal. Molor…dan menunggu untuk melatih kesabaran, merupakan manfaat yang bisa dipetik oleh kaum pendatang. Dan penduduk lokal, tidak ada salahnya beradaptasi dengan cara berpikir pendatang, agar kontak budaya bisa menemui titik temu yang seimbang.
Leave a Reply