2000_November_Edisi 118_peduli:
mengharap keajaiban makanan suplement
Joni Faizal
Siapa tidak kenal dengan minuman yang berasal dari rauan Panoramix. Siapapun yang menenggaknya, tidak saja menjadi kuat bak Hercules, tetapi juga menjadi pemberani sehingga mampu melumpuhkan bala tentara Romawi sekalipun dipimpin Julius Caesar. Saking dahsyatnya, tidak jarang minuman ini menjadi incaran musuh. Itulah minuman manjur yang berasal dari seorang dukun terkenal Galia yang popular lewat komik Asterix karya Uderzo dan Goscinny.
Sekali lagi hanya komik. Bukan dunia nyata yang dapat kita temukan sehari-hari, Uderzo dan Goscinny menyebutkan sebagai Vis Comica, untuk bikin orang ketawa. Tapi kita tidak dapat mengelak bahwa ritual berburu makanan maupun minuman dahsyat semacam itu terjadi di sekitar kita, terutama masyarakat kota yang mudah percaya klaim-klaim iklan.
Tubuh manusia masa kini memang sering kewalahan menghadapi gaya hidup yang menuntut kecepatan di segala bidang. Kadang tak ada lagi waktu memperhatikan pola makan yang sehat, sehingga menyantap makanan untuk memperoleh kesehatan. Hal ini terutama terjadi pada masyarakat kota yang mudah percaya dengan iklan, yang tidak percaya dengan kandungan makanan yang dimakannya, juga mereka yang mudah takut pada penyakit. Namun yang patut disayangkan, makanan suplemen diperlukan seperti obat yang dapat diminum dan mencegah penyakit, harus diminum secara teratur, serta dibeli dengan harga selangit. Sebotol makanan suplemen yang disebutkan dapat meninggikan badan misalnya, harganya mencapai Rp. 499.000. Atau makanan yang ditengarai membuat awet muda harganya Rp. 165.000 per botol berisi 90 butir tablet. Dan banyak merek-merek lain dengan harga bervariasi dan pasti tidak murah.
Mudah beredar
Yang namanya “makanan” tentu saja tidak memerlukan klarifikasi yang njelimet untuk dapat beredar di pasaran. Seperti dilaporkan Tempo, sejauh ini Departemen Kesehatan belum pernah mengklarifikasi segala suplemen itu sebagai obat kecuali makanan tambahan atau herbal medicine alias jamu. Seperti makanan dan minuman lain, obat juga tidak memerlukan pengecekan detil. Sejauh komposisi zat dan kemasan tidak dianggap berbahaya, maka bisa beredar di pasaran. Soal makanan tersebut berkhasiat atau tidak, itu berpulang pada konsumen.
Selain kemudahan, kurang kritisnya konsumen, menjadi santapan lezat produsen makanan suplemen yang dijualnya makin laku. Dengan iklan-iklan yang menggoda, makanan suplemen laris manis seperti kacanggoreng.
Bayangkan saja, ada makanan suplemen yang dapat meningkatkan kecerdasan, antilupa, dan meningkatkan prestasi belajar. Makanan lain menyebutkan dapat menunda ketuaan, mengurangi lemak lebih cepat dari olahraga, dan mengencangkan kulit-kulit yang sudah keriput. Ada pula makanan antikolesterol tinggi hingga yang mampu mencegah kanker dan diabetes.
“Kalau cuma sebagai produk makanan, pasti tidak laku dijual dengan harga yang ditawarkan. Mana ada yang mau membeli sebotol makanan seharga di atas Rp. 100.000? kata Dra Id Marilinda Apt. Kepala Bagian Penelitian Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI).
Masalah konsumen yang tidak kritis inilah yang juga menjadi incaran produsen makanan suplemen. Mereka membeli produk-produk makanan tanpa pengetahuan yang cukup mengenai zat yang diperlukan oleh tubuh mereka sendiri. Dan tidak sedikit pula diantaranya yang membeli gengsi. Seperti disebutkan Dr. Kartono Mohammad bahwa perilaku konsumen tingkat atas memang membeli gengsi, mereka sasaran pedagang food supplement, makanan yng dijadikan secara eksklusif dan dijual secara eksklusif pula.
Kaajaiban yang Merogoh Saku
Masalahnya sekarang, bagaimana kita percaya bahwa makanan tersebut memang berkhasiat? Dian, sekretaris di sebuah perusahaan investor asing menyebutkan bahwa dia tidak bisa untuk menelan makanan suplemen yang sudah ia konsumsi hampir 6 bulan lalu. “Saya selalu pusing-pusing. Tapi setelah menelan obat tersebut saya lebih bertenaga,” ujarnya menyebut makanan penambah tenaga yang setiap hari iklannya dapat kita saksikan di televisi.
Lain lagi dengan Dilla, mahasiswa sastra Jerman UI yang nyambi kerja sebagai stylist, setiap hari ia memerlukan 1 samapi 2 butir makanan suplemen merek tertentu yang katanya dapat meremajakan kulit. “Setelah diminum sampai beberapa bulan saya baru merasakan khasiatnya,” kata Dilla yang mendapat informasi makanan yang disebut bercollagen itu melalui iklan.
“Memang sih banyak teman saya yang belum berhasil. Misalnya memutihkan kulit seperti yang disebutkan dalam informasi kemasannya. Tapi saya kira mereka harus sabar, karena saya sendiri baru memperoleh manfaatnya seteah menghanbiskan satu botol lebih kata Dilla menambahkan.
Kasus Dilla dn Dian memang agak berbed. Tapi apakah ada yang berani protes jika obat tersebut tidak memberikan khasiat apa-apa. Atau sampai kapan makanan tersebut terus dikonsumsi juga tidak jelas. “Jika sakit berlanjut hubungi dokter” begitu bunyi peringatan pada obat. Tapi bagaimana dengan makanan yang dikonsumsi Dian?
Tinggal akal sehat kita yang berperan. Bagaimanapun, makan suplemen kalau dimakan terus menerus akan berbahaya, meskipun iklannya mengklaim “tidak ada efek samping” maupun “dibuat dari bahan alami”. Ingin awet muda tentu saja makan yang berimbang dan sehat, banyak makan sayur, buah dan cukup istirahat serta berusaha tidak sering stress. Ingin stamina kuat? tentu saja makan yang berkalori, tidak banyak begadang an berdisiplin dengan waktu. Kalau setiap pekerjaan dilahap sampai 20 jam lebih dalam sehari, sungguh absurd kalau makanan suplemen dapat mengembalikan tenaga Anda. Itu kalau kita berfikir sehat.
Leave a Reply