1999_September_Edisi 104_selip:
Mas Kawin dalam Subkultur Gay!?
Pernikahan dalam hubungan sesama jenis kelamin sebenarnya sudah terjadi sejak jaman kuno, dan yang menarik, mereka pun mengenal mas kawin. Misalnya pada masyarakat Azande di Afrika, para pria yang berada di medan perang seringkali tak sempat memiliki isteri. Akhirnya mereka “memperisteri” pria muda untuk memuaskan hasrat biologisnya. Seperti halnya pernikahan normal, pihak pria yang menjadi tentara ini pun memberikan mas kawin pada orang tua pria muda tersebut. Dan pria muda ini pun bertindak tanduk seperti halnya seorang wanita yang melayani suami.
Indikasi adanya pernikahan antara gay ini juga bisa dilihat melalui karya-karya sastra di beberapa bangsa, misalnya banyak sastrawan di masa imperium Roma membuat karya sastra mengenai pernikahan subkultur ini. Seorang sastrawan terkenal, Suetonius, menulis cerita tentang tokoh Nero yang mengawini dua pria. Pertama ia jatuh cinta pada Sporus, yang sudah dikebiri lalu dikawininya lengkap dengan upacara pernikahan, mas kawin, berkerudung pengantin, kemudian di bawa ke istana dan diperlakukan sebagai isteri, Nero kemudian juga dikawini oleh Daryphorus, dan kali ini Nero berlaku sebagai pengantin wanita. Munculnya karya sastra tentang gay ini merefleksikan bagaimana kaum ini memiliki legitimasi budaya. Di masa imperium Roma menjalin hubungan antar gay dalam waktu lama sudah biasa, dan mereka pun kerap merayakan hubungan tersebut dalam upacara perkawinan di depan khalayak umum.
Tak hanya di Romawi kuno, karya sastra Cina juga menyinggung masalah cinta homoseksual. Li Yu seorang penulis terkenal di masanya (1611-1680) dalam bukunya Qing Qi Ji melukiskan dua pria yang hidup sebagai “suami isteri’ (Fufu). Tokoh jifang jatuh cinta pada Ruji dan hendak menikahinya. Akhirnya mereka menikah dengan upacara yang biasa dilakukan heteroseksual. Jika pasangannya masih jejaka, pelamar bersedia membayar mas kawin dalam jumlah besar, dan juga menjalankan ritual tiga cangkir teh serta upacara lengkap lainnya. Namun dalam cerita tersebut, pernikahan semacam ini diharapkan berakhir tatkala keduanya sudah menikahi wanita, karena setiap pria diharuskan mempunyai pewaris laki-laki. Menurut Li Yu, upacara pernikahan homoseksual biasanya dilalui dengan pemotongan korban ayam jantan dan bebek. Kemudian pasangan tersebut bertukar tanggal lahir dan melumuri mulut masing-masing dengan darah hewan kurban serta mengucap sumpah kesetiaan. Upacara diakhiri dengan pesta atas hewan kurban, lalau pasangan yang lebih muda akan dibawa ke rumah pria yang lebih tua diperlakukan oleh keluarganya sebagai menantu. Di akhir masa pernikahan, pasangan yang lebih tua akan membayar mas kawin untuk pasangannya.
Dalam sumber lain juga disebut adanya pernikahan lesbian di propinsi Guangzhou yang ditandai dengan upacara dan tinggal serumah dalam waktu lama. Pasangan lesbian ini memiliki hak warisan dan boleh mengadopsi anak perempuan.
Beberapa kasus ini memperlihatkan bahwa homoseksual selalu ada dalam kehidupan manusia. Di beberapa bangsa kuno, keberadaan mereka dianggap wajar dan diatur oleh mekanisme tradisi. Mungkin kita harus lebih banyak belajar dari banyak bangsa yang cukup bijak menghadapi kenyataan manusia.
Sumber; Halsaal, Paul “Lesbian and Gay Mariage though History and Culture.” Ver.2.1 june 1, 1996. Ember Merivin and Ember, R. Carol “Mariagr and Family,” 4th Edition Anthropology. Prentice Hall, USA.
Leave a Reply