Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

Sejak Juni 2017 bemo berangsur-angsur dihilangkan dari jalan-jalan di ibukota. Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta seperti tidak mempertimbangkan bahwa dengan menghilangkan bemo, maka ia juga menghapus sejarah yang dimiliki alat transportasi untuk menyambut perhelatan Ganefo itu, dan menghilangkan berbagai kenangan di sekitar keberadaan bemo yang dimiliki publik. Di negara ini memang publik dibiasakan untuk cepat lupa.

Dishub menganggap pihaknya telah melaksanakan tugas dengan tepat, karena telah melakukan sosialisasi dan mengeluarkan surat penertiban sebelumnya. “Sebelum penertiban, sudah digelar pertemuan dengan para pemilik. Mereka sudah sepakat direvitalisasi,” kata Kepala Dishub DKI Jakarta, Andri Yansyah, Senin, 24 Juli 2017[1]. Sebagai catatan, sosialisasi yang dilakukan, lebih banyak dihadiri oleh pihak organda dan wakil pemilik bemo yang berpihak pada penjual kendaraan pengganti.

Lepas dari dukungan dishub pada berkembangnya mentalitas pelupa, kata revitalisasi pada pernyataan kepala dinas itu pun tidak tepat, karena yang terjadi adalah penggantian bemo dengan bajaj. Bemo dihilangkan dari peta transportasi umum DKI Jakarta, karena kondisi dan keberadaannya sudah dianggap sudah tidak layak. Bemo tidak sedang di-vital-kan kembali menjadi alat transportasi kota. Bemo sekedar dihilangkan.

Hal lain yang menjadi pertanyaan adalah pernyataan dari pemerintah bahwa bemo-bemo itu digantikan oleh bajaj. “Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Widjatmoko mengatakan, bajaj yang memiliki roda empat mulai diuji coba di Jakarta. Uji coba itu dilakukan selama 3 bulan mulai 19 Juli 2017.”[2] Bila mengacu pada definisi yang tertulis di dalam undang -undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan angkutan jalan, bemo dapat dikategorikan sebagai kendaraan bermotor umum dalam trayek, sedangkan bajaj adalah kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek. Bagaimana satu hal dapat digantikan oleh hal lain yang berbeda dalam cara beroperasinya? Ditambah lagi, menurut undang-undang tersebut kendaraan umum beroda tiga tidak dikenal.[3]

Beberapa pertanyaan lain yang perlu dikritisi kemudian, antara lain, adalah: 1. Berapakah jumlah bajaj yang kini telah beroperasi? Apakah belum mencapai jumlah maksimumnya yang menurut Kepala Bidang Angkutan Jalan Dinas Perhubungan DKI Emmanuel di 2015 tidak boleh melebih 14,424 buah?[4] Dengan mengalihkan bemo ke bajaj, apakah tidak akan melebihi ‘kuota’ dan akan menimbulkan masalah baru? 2. Apakah publik, khususnya pemilik dan pengemudi angkutan umum, telah mengetahui tentang adanya Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan baik Nasional, Provinsi, maupun kabupaten/kota seperti yang tercantum dalam undang-undang tersebut? Mengajak partisipasi publik (secara tepat tentunya) merupakan asas yang tercantum dalam undang-undang juga bukan?

Di pihak lain, para pengemudi dan pemilik pengemudi bemo memiliki masalahnya sendiri. Mereka terbiasa (atau dibiasakan) untuk tidak berpikir panjang dan cenderung menunggu peruntungan. Mereka berharap kinerja Dishub sama dengan masa kepemimpinan gubernur-gubernur sebelumnya, yaitu ‘anget-anget tai ayam’. Tunggu beberapa minggu, bila petugas sudah lupa, bemo-bemo akan dapat bebas beroperasi lagi – tentunya dengan memberi kontribusi pada petugas dinas di lapangan.

Masalah pelupaan memang akut di negara ini. Hal ini diperparah dengan ketidaktepatan dalam penggunaan kata dan ketidakjernihan berpikir dalam mengatasi masalah. Manusia memang cenderung memperumit masalah.

 

[1] http://www.beritajakarta.id/read/47312/-dishub-rampungkan-tahap-awal-revitalisasi-bemo–#.WXw8JoXBdFU

[2] http://megapolitan.kompas.com/read/2017/07/21/15564481/ada-bajaj-roda-empat-di-jalanan-jakarta-ini-kata-dishub

[3] https://beritagar.id/artikel/berita/bajaj-beroda-tiga-akan-pensiun-dari-jalanan

[4] http://jakarta.bisnis.com/read/20150106/77/388351/setelah-batasi-sepeda-motor-ahok-buat-zonasi-bajaj

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *