2001_Juli_Edisi 126_Bahas:
hasta mitra lahir untuk merebut demokrasi
Joni Faizal
Di jaman rejim Orba, semua orang tahu, penguasa tinggal meluruskan telunjuknya untuk menunjuk mana buku-buku yang dianggap “berbahaya” dan mana buku-buku yang harus diberangus. Namun patut dicatat, dari yang sedikit itu untuk tidak menyebut satu-satunya baragkali hanya Hasta Mitra, penerbit yang bersikukuh untuk tetap bertahan di tengah-tengah kecaman yang merupakan puncak pembodohan masyarakat tersebut. Mereka lahir justru untuk menyelamatkan bangsa yang tengah digerogoti intelek-tualitasnya.
“Di situlah sumbangan Hasta Mitra untuk ikut menegakkan demokrasi, ikut menegakkan hak asasi” ujar Joesoef Isak yang menenerbitkan Hasta Mitra bersama Pramoedya Ananta Toer dan almarhum Hasyim Rahman.
Hasta Mitra berdiri tahun 1980 setahun setelah Pramoedya Ananta Toer dibebaskan dari tahanan. Dalam akte disebutkan penerbit bermaksud menerbitkan karya-karya yang tidak berani diterbitkan oleh penerbit lain. Dalam istilah Joesoef, ingin menciptakan forum bagi mereka yang tersumbat suaranya, yang ditolak, dan yang tidak berani disuarakan oleh penerbit manapun. Meskipun beberapa kali buku-buku yang diterbitkannya langsung dibredel, perjuangan Hasta Mitra untuk terbit tidak pernah padam.
“Sebab Hasta Mitra selalu berpendirian, hak asasi tidak didapat gratis, bukan hadiah, dan itu harus direbut!” kata mantan pemimpin redaksi harian Merdeka 1963 yang juga pernah menjadi ketua Persatuan wartawan Asia-Afrika ini.
Menurut Joesoef, nama Hasta Mitra sudah ada sejak Pram di penjara Pulau Buru. Nama yang berarti tangan sahabat itu, telah diangan-angankan Pram jika suatu saat kelak memiliki penerbit meskipun Pram sendiri tidak akan pernah tahu kapan ia akan bebas karena tidak pernah ada pengadilan untuk itu.
Di tahun 80-an itu, Hasta Mitra bukan saja berhadapan dengan pelajaran buku yang dikeluarkan rejim otoriter Orba, namun lebih dari itu mereka juga puas akan teror dan ancaman.
“Pada waktu itu, Orba berada di puncak kekuasaanya sendirian tanpa seorang pun berani membela,” kenang Joesoef yang juga hobi fotografi ini.
Joesoef bahkan mengungkapkan, bahwa buku Nyanyi Sunyi seorang Bisu yang mereka terbitkan hanya berusia 10 hari peredaran.
“Kami benar-benar dibuat babak belur. Tapi sejarah mencatat peranan Hasta Mitra bukan saja pada sejarah penerbitan, tapi lebih penting adalah sejarah kebebasan untuk merebut hak asasi manusia,” kenang Joesoef yang masih nampak bersemangat di usianya yang 72 tahun.
Dengan runtuhnya Orba bukan berarti perjuangan telah selesai. Perjuangan untuk menulis dan menerbitkan buku tidak boleh berhenti. Di sinilah letak substansi dari perjuangan demokrasi.
“Kita jangan bermimpi telah menegakkan demokrasi tapi demokrasi seharusnya terus diperjuangkan.” Kata Joesoef ketika dimintai tanggapannya atas sweeping buku beberapa waktu lalu.
Kembali ke penerbitan, Joesoef juga mengatakan usaha-usaha pemerintah masa lalu yang melarang buku-buku sebenarnya merupakan kerugian yang paling fatal. Pemerintah bukan saja telah menutup pintu bagi berkembangnya intelektualitas namun justru merugikan masa depan anak-anak bangsa.
“Okelah kami waktu itu secara ekonomi terpuruk, tapi yang paling merugi adalah penguasa. Karena mereka telah membuat noda yang mencoreng sejarah mereka sendiri dengan menghalangi demokrasi,” kata Joesoef yang saat ini sedang mengumpulkan tulisan libere ami corum, kumpulan karangan-karangan sahabat, yang akan dipersembahkan dalam memperingati Satu Abad Bung Karno.
Sejarah penindasan memang selalu melahirkan pahlawan. Dan pahlawan penerbitan Indonesia itu mau tidak mau mencatat nama Hasta Mitra sebagai pembela kebebasan demokrasi sekaligus berjuang untuk menegakkan hak asasi manusia di Indonesia melalui buku.
Leave a Reply