Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

deklamasi

Written in

by

2001_Juli_Edisi 126_Bahas:
deklamasi
Ade Tanesia/Rohman Yuiawan

Pada bulan April lalu, Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya (DKS) menggelar lomba deklamasi yang membawakan karya-karya puisi Chairil Anwar. Berbagai aksi deklamasi ditampilkan, ada yang tampil dengan marah-marah, menggebrak, menghentak, jaket dilepas, dan diputar di atas kepala. Ada pula wanita yang tampil mirip “mak lampir” yang naik panggung dengan membawa tungku kepulan asap. Menurut Farid Syamian, pengelola Galeri Surabaya, ada 126 peserta dari berbagai kota di Jawa Timur seperti Gresik, Mojokerto, Malang. Walaupun lomba deklamasi DKS telah berhenti sejak tahun 1985, ternyata animo masyarakat Jawa Timur terhadap jenis kesenian ini masih ada.
Berbeda dengan membaca puisi (poetry reading), seni deklamasi harus menghafal teks sajak dan ditampilkan secara ekspresif. Seseoranga yang berdeklamasi harus menghayati betul isi sajak/puisi yang dibawakannya dan juga penguasaan teknik olah vokal.

Sastrawan Baakdi Soemanto memperkirakan deklamasi mulai marak di Indonesia sebagai seni yang mandiri (bukan bagian dari seni drama maupun seni pertunjukan lain) pada akhir tahun 50-an, setelah Rendra memamerkan kebolehannya berdeklamasi. Meskipun waktu-waktu sebelumnya deklamasi juga sudah dikenal masyarakat dan sering dibawakan pada acara-acara tertentu, namun pesona deklamasi saat itu belumlah sekuat ketika Rendra mulai mengusungnya ke hadapan khalayak. Di tahun 1940-an, deklamasi sering dilakukan dengan iringan musik, misalnya Asrul Sani jadi pemain bola, Amir Pasaribu main piano dan HB Jassin berdeklamasi. Lalu Rendra mulai merubahnya deklamasi tanpa iringan musik, karena sangat yakin bahwa syairnya bisa mempunyai ritme dan melodi tersendiri. Selain Rendra muncul beberapa deklamator kuat lain semisal Rondang Erlina Marpaung, Muchtar Hadi, Amaroso Katamsi, Abdul Nur Adnan, Sapardi Djoko Damono di Yogyakarta dan Sukarno M Noer, Misbach Yusa Biran, Lies Noer di Jakarta.

Seni deklamasi mulai surut popularitasnya di awal tahun 70-an ketika Rendra, sekembalinya dari Amerika, mulai memperkenalkan “poetry reading” (pembacaan puisi), ketika sajak atau puisi tak lagi dibawakan secara hafalan namun dengan membaca teks. Gaya pembacaan baru ini dengan cepat menjadi populer serta menenggelamkan seni deklamasi. “Rendra memang edan, segala-galanya dia,” komentar Bakdi mengenai kepeloporan si Burung Merak dalam jagat sastra Indonesia waktu itu.

Penyair Sri Wintolo Achmad mengungkapkan bahwa pada tahun 1980-an deklamasi masih sering ditemuinya. Menurutnya hal ini berkaitan dengan cara penciptaan puisi. Saat itu proses penciptaan penyair lebih matang di kepalanya, dan kalau olahannya sudah dirasakan cukup baru dituangkan dalam tulisan. Otomatis penyair di masa itu bisa membaca puisinya tanpa teks. Sementara penyair saat ini, proses penciptaannya langsung dituangkan dalam tulisan, apalagi sudah ada komputer yang bisa merubah kata-kata secara cepat. Walhasil, banyak penyair yang kurang begitu hafal puisinya sendiri. “Sekarang yang lebih banyak adalah baca puisi, musikalisasi puisi, deklamasi sudah surut dan sebenarnya perkembangannya ke bentuk monolog” ujar Sri Wintolo Achmad.

Namun di luar dunia sastra, deklamasi masih tetap hidup melalui sekolah-sekolah. Farid Syamlan menjelaskan bahwa masih banyak sekolah yang menjadikan deklamasi sebagai ekstrakurikulernya, biasanya bersatu dengan teater. Alasan ini pula yang menyebabkan Dewan Kesenian Surabaya masih mau menyelenggarakan lomba deklamasi. “Kita ingin ada acara membumi, maksudnya bisa diikuti oleh segala lapisan seperti pelajar. Dan salah satunya deklamasi ini,” ungkap Farid Syamlan. Menurut Bakdi Soemanto, di Amerika deklamasi masih diajarkan di sekolah, di mana setiap murid harus menghafal beberapa baris sajak untuk dibawakan di depan kelas keesokan harinya. Atau juga potongan-potongan naskah drama yang dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman murid pada karya-karya sastra yang dibawakannya.

Deklamasi mungkin tidak lagi Berjaya di dunia sastra dan teater dan hanya muncul di ajang lomba-lomba 17 Agustus-an. Namun genre seni ini nampaknya masih efektif untuk fungsi pendidikan, yaitu diberikan pengalaman bagi anak untuk tampil sekaligus melatih kepercayaan diriya.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *