1999_September_Edisi 104_milikita:
Darimana Datangnya Benda-benda Mas Kawin Kuno?
“Sekarang sulit sekali mendapat gading. Banyak pedagang yang merubahnya menjadi gelang, liontin, cincin, dll. Padahal sebenarnya gading adalah peninggalan moyang kami. Memang tak ada gajah d flores, tapi gading menjadi barang bernilai sejak dulu kala”, ujar mama Maria, sambil menenun kain di kampung Koting B di Flores Tengah. Di berbagai daerah di Indonesia, masih banyak mama-mama Maria lain yang sulit memperoleh mas kawin kuno akibat semakin langka didapat. Pada masyarakat Dayak di kepulauan Kalimantan, mas kawin berupa gong, manik-manik, kini akhirnya diganti dengan uang dan sejumlah ternak. Masyarakat Sentani di Irian membuat manik-manik kaca palsu untuk membayar mas kawinnya.
Benda-benda mas kawin kuno seperti piring keramik Cina, gong, manik-manik, gading, kain sutera, kebanyakan berasal dari luar nusantara dan menjadi barang bernilai tinggi. Persebaran benda-benda semacam ini juga tak terlepas dari ramainya lalu lintas perdagangan di berbagai pelabuhan di nusantara sejak masa silam. Letak nusantara di persilangan jalan, antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik memang sebuah posisi yang memungkinkan terjadianya kontak antar budaya, karena kawasan ini mejadi lalulintas perdagangan persinggahan kapal-kapal pedagang dari berbagai bangsa. Adapun titik terpenting dalam lalulintas dagang antar bangsa ini antara lain, beberapa daerah di Semenanjung Melayu, Sumatera Tenggara (yang paling penting di muara Sungai Musi dan Batang Hari), Jawa Tengah dan Jawa Timur da persentuhan dengan pedagang dari Cina, India, dan jazirah Indocina tidak terelakkan. Kemudian dari titik-titik inilah, berbagai benda-benda luar disebarkan kembali melalui perdagangan lokasi antar pulau di nusantara.
Sebuah prasasti perunggu berbahasa jawa Kuno di Jawa Timur tahun 860 M. menyebutkan adanya juru Cina, artinya ‘petugas yang mengurusi orang-orang Cina.” Juga disebutkan adanya seorang juru barata atau petugas yang mengurusi orang-orang India. Hal ini memperlihatkan bahwa sejak abad 9 sudah ada konsul-konsul yang bertanggung jawab atas kaum pedagang asing yang menetap di jawa. Beberapa epigraf juga menceritakan bahwa sejak abad ke-9 di Takuapa, pantai barat semenanjug Melayu, sudah ada pemukiman orang Tamil yang tentunya berkepentingan dalam kongsi dagang. Daerah Palembang di bawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya juga merupakan lintas perjalanan perdagangan yang panjang, yaitu rute Iman-India-Sriwijaya-Cina. Dalam rute itulah segala komoditi seperti kain sutera, porselen, piring-piring keramik, batu permata,dan kerturi saing dipertukarkan. Tulisan Zhufan Zhi, yang disusun sekitar pertengahan abd ke-13 oleh seorang petugas Babean di Fujian menceritakan tentang kekayaan nusantara, dimana gading, mutiara, rempah-rempah, cendana, cengkeh, lada menjadi barang-barang yang memenuhi pelabuhan-pelabuhannya. Para pedagang Cina bahkan menyelundupkan kepeng Cina dari lembaga untuk ditukarkan dengan lada di Jawa. Dalam catatan sejarah dinasti Ming disebutkan hingga akhir abad ke-15 terdapat 43 kali perutusan dari Jawa ke Cina. Di tahun 1381, disebutkan bahwa Jawa mengirim 300 orang budak hitam dan sebagai imbalannya, Cina mengekspor segala macam barag keramik, porselen, kain sutera.
Ada cerita menarik yang ditulis oleh pedagang bernama Ibn. Lakis pada tahun 945 M, yaitu data tentang asal muasal penyebaran gading di nusantara ini. Konon para pedagang Arab menyebut masyarakat di kepulauan Nusantara dengan istilah orang “Waqwaq.” Mereka inilah yang menurut kesaksian Ibn. Lakis datang dengan seribu perahu ke daerah Sofala, di pantai Mozambik, Afrika. Mereka mendatangi pantai-pantai Afrika untuk mencari barang dagangan seperti gading, kulit kua-kura, kulit macan tutul, ambar dan yang menarik adalah adanya pembelian budak Zanggi terkenal karena kekuatan fisik dan kepatuhannya sebagai budak. Keberadaan budak Zanggi Jawa Kuno tahun 860 M di Jawa Timur dan tertulis sebagai budak “seng-qi, Hal ini membuktikan bahwa perdagangan di daerah Afrika memang sudah terjadi di masa silam, yang diasumsikan sebagai sumber penyebaran benda-benda gading di nusantara.
Selain gading , manik-manik juga merupakan salah satu benda mas kawin di berbagai daerah. Relief di batu candi Borobudur abad ke-9 menggambarkan wanita bangsawan mengenakan kalung manik-manik. Hal ini memperlihatkan bagaimana manik-manik tekah menjadi benda bergenggsi yang persebarannya sudah terjadi sebelum tahun 200 Masehi, dimana ditemukannya manik-manik Mesir, India, Cina, Asia Barat, Eropa dan beberapa kawasan di Indonesia. Salah satu pusat pembuatan manik-manik dunia adalah India yaitu di daerah Kausambi dan Achichatra. Dua pusat manik-manik inilah yang memasok manik-manik ke Eropa, Afrika dan Asia. Ternyata adanya kontak antara perdagangan India dan Asia Tenggara telah memunculkan tempat-tempat pembuatan manik-manik di Indopasifik, antara lain Palembang, Jawa Barat, Jawa Timur, Thailand dan Malaysia. Di kawasan Palembang, kerajaan maritim Sriwijaya sejak abad ke-7 telah memiliki hubungan erat dengan India. Hubungan ini menyebabkan terjadinya peralihan teknik pembuatan manik India dengan bahan dasar yang diimpor dari India.Cuplikan-cuplikan sejarah ini memperlihatkan bahwa di masa lampau negeri kita pernah menjadi pusat-pusat kerajaan maritim yang sungguh besar. Dan yang menarik dari sekilas sejarah ini, nampaknya masyarkat kita sejak dulu mudah mengadaptasi pelbagai benda berbau asing sebagai mas kawin berarti memberikan makna yang tinggi terhadap benda tersebut. Tentunya ada dua pertanda di sini, pertama bangsa ini memang cukup terbuka dan punya toleransi yang tinggi, atau selalu menganggap “asing” lebih tinggi. Ini hanya asumsi, tapi bukankah hingga kini kita menganggap hal yang berbau asing lebih “maju” lebih tinggi?
Sumber; Lombard, Denys: “Bandar-Bandar Persinggahan Zaman Kuno, “Nusa Jawa Silang Budaya 2. Gramedia 1996, Manik-Manik di Indonesia oleh Sumarah Sudjatman & Redjeki Arifin, S. Penerbit Djambatan Jakarta, 1996.
Leave a Reply