Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

dan segalanya menjadi

Written in

by

2001_Juni_Edisi 125_Bahas:
dan segalanya menjadi
Ade Tanesia

Bisa jadi, orang lain enggan berpakaian ala militer semenjak tentara di Indonesia diidentikan dengan berbagai kekerasan terdahap sipil. Memang demam baju loreng dan sepatu boot mulai menurun, tapi ada kecenderungan baru sebagai penggantinya. T-shirt bertuliskan FBI,CIA,NYPD, yang terpampang besar di punggung atau dada, marak dipakai. Nampaknya, sebagian masyarakat masih senang pada atribut berbau “kesatuan”, apalagi kesatuan yang dapat mencitrakan sebuah kekuasaan atas hidup orang banyak. Dalam balutan seragam, kekuatan untuk menghadapi perbedaan serasa berkali lebih dahsyat. Mungkin, dengan alasan seperti itulah, seragam masih menjadi ide yang menguasai banyak sendi kehidupan di masyarakat yang majemuk ini…didasari atau tidak, dipaksa atau suka rela.

Dari Dharma wanita hingga satgas parpol…
Seorang penulis bernama James Laver mengungkapkan bahawa seragam adalah penemuan terbesar manusia di abad ke-17. Pasalnya kostum yang distandarkan ini dapat membedakan identitas sebuah komunitas dari yang lainnya, dan karenanya dapat memupuk rasa bangga, kebersamaan dan kedisiplinan. Awalnya, kesadaran akan pentingnya seragam berasal dari kalangan militer yang fungsinya untuk membedakan kawan dengan lawan. Dan masyarakat sipil pun mengadopsinya untuk memperkuat indentitas kelompok sosialnya.

Namun, apa yang terjadi ketika fungsi pada militer diterapkan dalam kehidupan masyarakat sipil yang beragam? Yang terjadi adalah sebuah pemaksaan untuk hanya mengakui satu identitas yang diinginkan; satu kebersamaan, satu kedisiplinan, dan satu komando.

Bayangkan, logika penyeragaman semacam inilah yang kita alami selama ini. Menyetir konsep hegemoni dari Antonio Gramsci, gaya semacam ini merupakan dominasi yang dilakukan baik oleh negara atau sipil yang mempunyai kekuasaan untuk menguasai kelompok-kelompok sosial lainnya hingga ke tingkat pemikiran dan kebudayaan. Maka tanpa harus dipaksa, masyarkat sudah menerima kekuasaan itu secara otomatis dan melakukan sensor dalam dirinya sendiri. Dan dalam konteks inilah, seragam tak sekedar menyatakan identitas, tapi menjadi sarana represi di setiap lini kehidupan.
Mungkin kita masih ingat Ibunda yang selalu siap dengan seragam dharma wanitanya yang berwarna merah jambu atau batik. Bukan sekedar atribut identitas, seragam itu juga menyimbolkan bagaimana para isteri diharuskan berperan sebagai seorang yang mengontrol seluruh keluarganya untuk patuh pada negara. Tak heran jika seorang teman dipaksa ibunya untuk memilih Golkar pada pemilu atau dilarang ikut demonstrasi. Dalam kehidupan mahasiswa pun seragam militer dalam rupa organisasi Resimen Mahasiswa diberlakukan. Tak perlu adanya polisi, cukup dengan Menwa, maka mahasiswa seakan dikontrol oleh mahasiswa sendiri.

Di bidang kebudayaan, dicanangkan konsep kebudayaan nasional yang prakteknya telah menghilangkan kekuatan budaya daerah, seperti yang terjadi pada Orang Dayak, kostum Tumenggung sebagai kepala adat telah diganti dengan batik korpri, karena dia memainkan dua peran, sebagai kepala adat dan kepala desa yang adalah perpanjangan tangan pemerintah. Sementara itu, untuk menunjukkan identitas nasional wanita Indonesia, dipilihlah kebaya Jawa sebagai simbolnya. Padahal ada banyak ragam pakaian tradisional wanita di Indonesia. Di bidang politik, sejak pemilu tahun 1982, satuan tugas (satgas) partai politik tak ketinggalan ikut-ikut mengenakan seragam loreng berwarna-warni.
Kini ketika keberagaman tengah dirayakan, telah ada upaya dari masyarakat untuk membongkar simbol-simbol seragam yang dirasa bernuansa represi. Partai PDI Perjuangan telah merubah seragam lorengnya denga pakaian hitam-hitam. Beberapa anggota DPR asal Bali ada yang tidak lagi mengenakan peci yang selama ini menjadi penutup kepala nasional, tetapi menggantinya dengan udeng, tutup kepala khas Bali. Juga yang menarik di daerah Ponorogo Jawa Timur, para pegawai negeri pria mencanangkan agar satu hari kerjanya dengan mengenakan pakaian warok sebagai lambang khas daerah Ponorogo. Satu demi satu simbol-simbol penyeragaman diri mulai dilepas. Identitas yang pernah dirampas, direbut kembali oleh pemiliknya. Tapi bukan untuk berubah menjadi fanatisme sempit, melainkan memampukan kita untuk menghargai dan menerima perbedaan.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *