2001_Maret_Edisi 122_revital:
bekas hotel toegoe yang perlu dirawat
Ade Tanesia/Rohman Yuliawan
Setiap datang ke Yogyakarta, Ibu yang telah berusia 77 tahun itu selalu minta diatur ke Toegoe. Setiap melintasinya, bayangan masa lalu yang indah langsung saja terbesit dibenaknya. Selama satu tahun, bersama suaminya pahlawan nasional Iswahyudi yang namanya diabadikan sebagai lapangan terbang Madiun- ia pernah tinggal di hotel Toegoe pada tahun 1945. Kini bangunan tua yang sarat muatan sejarah itu nampak semakin tak terurus. Kabar-kabar tentang rencana perobohannya sempat marak di tahun 2000. Di tahun-tahun mendatang, masihkah bangunan ini berdiri kokoh….sehingga sang Ibu tersebut tetap bisa mengenang masa lalunya di bangunan tua itu.
Sekilas sejarah
Tak ada yang pasti, kapan bangunan Hotel Toegoe dibangun. Namun diperkirakan pada awal abad XX semasa pemerintahan Hamengku Buwono VII. Sejak semula bangunan ini memang berfungsi sebagai hotel, bahkan dalam buku Mooi Jogjakarta, Hotel Toegoe diiklankan sebagai hotel terbaik untuk beristirahat. Di pertengahan tahun 1920, dilaporkan bahwa hotel ini diresmikan oleh Sultan HB VIII sebagai restoran. Hotel Toegoe ini terdiri dari tiga kompleks bangunan yang memadukan unsur arsitektur kolonial dan tradisional Jawa.
Awalnya Hotel Toegoe tertulis atas nama Namloose Vennootschap Grand Hotel de Jogja yang kemudian diubah menjadi Namloose Venootshap marba pada tanggal 2 Maret 1973. Pada masa agresi Belanda II, bangunan ini digunakan sebagai markas tentara Belanda, dengan komandannya Kolonel DBA Van Langen. Lalu pada peristiwa serangan umum 1 Maret 1949, bangunan ini menjadi sasaran penyerangan para pejuang Indonesia yang berbasis di stasiun Tugu. Setelah berakhirnya perang pasca kemerdekaan dengan Belanda, maka Hotel Toegoe sempat dijadikan markas tentara yang juga menyimpan beberapa informasi militer. Di tahun 1960-an, KODIM menggunakan bangunan ini sebagai markasnya, Hal ini dapat dilihat dari relief-relief di dinding bangunan utama. Relief yang menceritakan perjuangan kemerdekaan Indonesia tersebut dibuat pada tahun 1963. Di tahun 1982, Hotel Toegoe diberika kepada PT EXPRA Baru. Selanjutnya tanggal 16 Mei 1992, bangunan ini dijual kepada Haji Probosutejo. Semenjak itulah, Hotel Toegoe menjadi milik H. Probosutejo hingga kini. Adanya perpindahan pemilikan menyebabkan Hotel Toegoe dikenal dengan nama lain, yaitu gedung KMK dan Bank Jakarta.
Isu akan dirombak
Pada bulan Agustus 2000, para pemerhati bangunan tua di Yogyakarta pantas heboh saat mendengar adanya informasi rencana pembongkaran bangunan hotel Toegoe dari IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) melalui mailing list JPI. Kabarnya bangunan bersejarah itu akan dihancurkan pemiliknya dan hendak dijadikan Malioboro Trade Center. Padahal bangunan ini sudah masuk dalam daftar Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY, yang artinya dilindungi oleh UU Cagar Budaya no. 5/1992. Namun kekuasaan dan uang seringkali mengorbankan peninggalan sejarah, sehingga para pecinta pusaka kota yang tergabung dalam Yogyakarta Heritage Society mulai bersuara untuk mementahkan rencana tersebut. Selain mengajak berbagai elemen masyarakat, YHS pun melayangkan protesnya ke DPRD. Akhirnya walaupun tidak ada pernyataan resmi dari pihak pemilik, bangunan bersejarah Hotel Toegoe tidak jadi dibongkar. “Menurut seseorang dari partai Golkar, Probo tidak meneruskan rencana hak bangunan, sementara hak milik tanahnya masih dipegang Kraton. Sehingga akan rugi jika harus membuat bangunan baru di tanah itu”, ungkap Anggi dari YHS. Agak disesalkan bahwa kesadaran untuk tidak merobohkan bangunan tua itu sama sekali bukan berdasarkan kecintaan pada peninggalan sejarah, sehingga kemungkinan untuk dirombak masih terbuka. Saat ini, Hotel Toegoe masih ada bersama masyarakat Yogya, namun perlu itu dirawat dengan sebaik-baiknya, tidak terlantar dan roboh dimakan waktu.
Leave a Reply