2001_Juli_Edisi 126_Bahas:
bebaskan hambatan bagi penerbit.
Ade Tanesia
Raden Mas Tirtoadisuryo namanya. Pria asal Blora kelahiran tahun 1880 ini lah yang meletakkan fungsi utama penerbitan Indonesia, sebagai cara untuk mendidik bangsanya mencapai sebuah kemajuan. Di masanya ia harus berhadapan dengan Pemerintah Hindia Belanda. Perjuangannya jelas, melawan pemerintah yang tentu saja bermental “tidak ingin mencerdaskan bangsa jajahannya”. Tapi, apa yan akan diperbuat olehnya bila setelah kemerdekaan diraih pun, penerbitan di Negara ini masih saja harus bersiteru dengan pemerintah, yang tidak lain adalah orang-orang sebagsa dan setanah air.
Mungkin karena hakekatnya sebagai media pembuka wawasan, penerbit dan terbitannya selalu saja jadi pantauan favorit bagi pemerintah, apalagi pemerintah yang bertindak sebagai penguasa. Padahal, sejarah sudah membuktikan bahwa pemberangusan penerbit dan karya-karyanya tidak pernah benar-benar berhasil, bahkan sering berakhir dengan hasil yang sebaliknya.
Pada jaman Belanda, meskipun telah diterapkan politik etis yang ingin mempedulikan aspek pendidikan pribumi, toh berbagai bacaan dan Koran yang diterbitkan oleh para tokoh pergerakan nasional telah dicap sebagai “bacaan liar”. Adalah Rinkes, direktur Balai Poestaka , memberikan label “bacaan liar” bagi berbagai terbitan yang dibuat oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional, yang isinya dianggap membahayakan kekuasaan pemerintah kolonial. Bacaan liar tumbuh di tahun 1920-1926 seiring dengan merebaknya semangat pergerakan national di pentas politik. Salah satu tokohnya yaitu RM. Tirtoadisuryo, seorang pengelola terbitan maupun jurnalis untuk Pemberita Betawi, Soenda Berita, Medan Priyayi, Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia, Sarotomo, Soeara 8.0.W., Soera Spoor dan Tram, Soearaurna.
Nyatanya pembangunan ini tak pernah berhasil mematikan bacaan liar. Sejarah mencatat bahwa bacaan inilah yang malah punya andil besar dalam pembentukan kesadaran kebangsaan di kalangan bumi putera. Kalau hasil penerbitan ternyata berhasil mengantarkan sebuah bangsa ke alam kemerdekaan, sangat ironis bila setelah kemerdekaan diraih masih saja terjadi pembredelan buku dan penerbitan. Memang di tahun 1958 sudah keluar UU Nasionalis no. 86/1958 yang menasionalisasi seluruh penerbitan Belanda di Indonesia. Tercatat penerbit-penerbit milik Belanda J.B. Woltersm, W. Versluys, Noordhof Kolff, H. Stam dilebut menjadi P.N. Pradnya Paramita. Pemerintah pun menegaskan sejak Repelita II bahwa pengembangan perbukuan sebagai salah satu sarana penting dalam pengembangan kebudayaan nasional. Tokoh pendidik Moh. Said dalam risalah Kongres ke V IKAPI tahun 1966 juga menegaskan bahwa penerbit dan pengarang harus memenuhi tugasnya sebagai alat pendidikan bangsa. Dan yang ikut bertanggung jawab untuk hal itu adalah Pemeritah, pengarang, penerbit dan pendidik untuk menciptakan iklim dan kondisi yang sebaik-baiknya bagi pengarang, penerbitan dan penyebaran buku yang bermutu dan berguna.
Sungguh sangat ideal jika segala semua terencana pemerintah maupun harapan masyarakat di atas dapat terlaksana. Namun dalam penerapannya diketahui, bahwa pelarangan buku masih saja terjadi, bahkan hingga kini di era reformasi. Penerbit Hasta Mitra yang berdiri tahun 1980 dan selalu berada di belakang penerbitan buku-buku Pramoedya Ananta Toer, adalah salah satu penerbiit yang tidak pernah jera meskipun buku-bukunya dibrendel pemerintah yang sangat menyedihkan, hingga tahun 2001 ini nyatanya masih terdapat 199 buku yang dialarang beredar oleh Kejaksaan Agung dengan alasan bahwa buku tersebut dapat mengganggu ketertiban umum. Menurut Munir dari Kontras sampai hari ini belum ada definisi tentang ketertiban umum, sehingga tak ada ukurannya yang jelas. Data dari Kejagung menunjukkan bahwa barang cetakan ini biasanya menyangkut masalah politik seperti mempersoalkan pemerintah di jaman orde baru, sara, komunisme.
Saat ini, sudah sepantasnya Kejagung mencabut pelarangan buku seperti yang dikatakan direktur komite kebebasan penerbit internasional dari Ikatan Penerbit Amerika Serikat, Wedny Welf, bahwa pelarangan buku sudah seharusnya dihentikan sehingga para penulis, wartawan, pengajar dan penerbit tidak lagi dibayangi ketakutan dalam menyampaikan pendapatnya. Tentunya kekuatan semacam ini akan berdampak pada proses kemajuan pendidikan bangsa ini. Gejala paling mutakhir saat ini adalah isu penyapuan dan pembakaran buku-buku “kiri” oleh sekelompok masyarakat yang menyebut dirinya AAK (Aliansi Anti Komunis). Dengan memakai alasan hukum, maka mereka bisa melegitimasi tindakannya yang merugikan masyarakat ini. Oleh karena itu, UU pelarangan barang cetakan penerbit yang belum dicabut oleh Kejagung bisa dimanfaatkan oleh siapapun untuk menghambat proses pendewasaan berfikir bangsa ini. Dan mungkin Raden Mas Tirtoadisuryo akan berkata…perjuangan belum selesai bung, masih perlu dibangun jalan bebas hambatan untuk penerbitan.
Leave a Reply