Tegal Pakel Jaya adalah sebuah warung makan sederhana yang terinspirasi oleh semesta untuk menggabungkan teori² (Karl Marx, Gramsci, Paolo Freire, Theodor Adorno, dll.) dengan praktik-praktik konkrit dari warmindo. Kami percaya bahwa praxis ini adalah cara yang lumayan cerdas untuk membayangkan, sambil ikut mendorong, bagaimana gerakan sosial bisa tumbuh dari ruang sehari-hari.
Warmindo, sebagai ruang mikroekonomi rakyat, dapat menjadi titik awal membentuk ‘hegemonik kultural baru’ tentang pangan, kerja, dan kehidupan yang bermartabat.
Sebagai gambaran, berikut ini adalah strategi gerakan sosial (berbasis teori Gramsci), dimulai dari warmindo sebagai ruang sosial dan ekonomi:
1. Bangun Kesadaran Kultural melalui Pangan Sehari-hari (War of Position)
Strategi:
Sandingkan menu instan (produk industri kapitalisme global) dengan menu lokal sederhana (nasi, telur, tauge, tahu, tempe).
Mendorong narasi bahwa makan sehat itu bukan barang mewah, melainkan bagian dari martabat rakyat kecil.
Ini merupakan bagian dari ‘war of position’, yaitu pertarungan nilai dan makna dalam kehidupan sehari-hari.
Praktik:
Pada menu: tambahkan keterangan kecil:
“Menu sehat, murah, dan penuh tenaga dari bumi sendiri”
Menceritakan asal-usul bahan (misal: telur dari peternakan yang dibangun sendiri secara kecil-kecilan, atau tauge yang ditanam dan dipanen dari kebun sendiri, atau dari teman peternak atau petani di sekitar warung,
Menggunakan estetika yang membumi, tidak menggurui, tapi mengajak berpikir.
2. Ciptakan Aliansi Sosial Lintas Kelas (Blok Historis Mikro)
Strategi:
Menggunakan warmindo sebagai ruang temu antara
– Pekerja urban/proletar: ojek online, buruh pabrik, mahasiswa, dll.,
– Borjuis kecil lokal: pemilik warmindo, petani pemasok, pemasok telur, pebisnis berkesadaran, dll.,
– Intelektual organik: mahasiswa, seniman, aktivis komunitas yang berkesadaran.
Gramsci menyebut pentingnya membangun ‘blok historis’, yaitu koalisi kelas-kelas dengan visi perubahan yang sama.
Praktik:
– Mengadakan obrolan ringan soal makanan lokal, kerja sehat, dan hidup bermartabat,
– Melibatkan pemasok lokal dan pelanggan dalam penentuan menu,
– Warmindo jadi ruang yang ‘merakyat tapi reflektif’.
3. Produksi Pengetahuan dan Narasi Alternatif (Hegemoni Kultural)
Strategi:
Menggunakan makanan dan pengalaman di warmindo untuk menggugah kesadaran tentang sistem pangan dan kerja.. Obah Mamah.
Tujuannya untuk membentuk hegemonik alternatif terhadap budaya instan dan konsumsi tak sadar.
Praktik:
Mencetak selebaran sederhana tentang tauge, misalnya, atau tentang bagaimana nasi, singkong, ubi dll. itu lebih baik dari mi instan, dll.
Menyodorkan visual sederhana yang menggambarkan hubungan antara petani, buruh, dan pangan.. Obah Mamah.
Mengajak seniman atau penulis lokal untuk membuat karya tentang warmindo.
4. Kembangkan jaringan (warung sebagai gerakan perubahan sosial sederhana)
Strategi:
Warmindo adalah titik awal. Tapi visinya harus menjalar:
Membentuk ‘jaringan warmindo alternatif’,
Terhubung dengan komunitas petani, koperasi pangan, dan kampus rakyat.
Praktik:
Nantii.. bikin semacam ‘warmindo kolektif’ yang berbagi bahan dari sumber yang sama, karena lingkungan yang berdekatan,
Menggunakan media sosial untuk memperluas narasi dan dokumentasi aksi.
Kesimpulan
Warmindo bisa menjadi ‘sekolah hegemoni’: tempat belajar bersama, makan bersama, dan membayangkan masa depan yang lebih sehat dan adil secara kelas.
Dengan menerapkan strategi war of position, membangun ‘blok historis’, dan menciptakan ‘intelektual organik’, gerakan sosial dapat lahir dari tempat yang paling akrab, seperti warung makan rakyat yang hidup secara berkelanjutan karena adanya kesadaran dan ‘cuan’.
Leave a Reply