2001_Januari_Edisi 120_jelajah:
wajah sebuah gang (catatan dari warung mbak Mar)
Joni Faizal
Warung itu berada dalam rumah petak berukuran 3 x 3 meter dengan dapur berukuran sama dan sekaligus menjadi ruang tidur. Atapnya yang rendah menjadikan ruangan itu pengap dan panas. Namun dari kesumpekannya, ada sesuatu yang paling berharga; perasaan nyaman bahwa hari ini tidak akan ada yang kelaparan.
Itulah warung Mbak Mar (38 tahun), sebuah warung di lingkungan slum Kecamatan Pela-Mampang, Jakarta Selatan. Dari priuk nasinyalah para pekerja kontrak dan buruh bangunan itu menyambung hidup. Ia tidak memberikan hutang makan, namun tidak jarang memberi pinjaman tunai untuk ongkos berangkat kerja.
Sebagai daerah slum, lingkungan Mbak Mar memenuhi segala bentuk yang menandainya. Jika pagi tiba, 2 pompa air yang terletak di tengah-tengah lingkungan hampir 40 kepala keluarga itu akan disesaki ember-ember air yang antrian mandi. Hanya terdapat 4 kamar mandi dan 3 kakus untuk melayani sekitar 130 anggota keluarga. Lebih memprihatinkan kamar mandi itu hanya ditutupi seng dan juga berfungi sebagai tempat buang air kecil.
Beranjak siang, deretan-deretan rumah itu akan tampak sepi. Orang-orang berangkat kerja sebagai buruh, sopir taksi, pengemudi bajaj, pedagang keliling hingga tukang kredit. Ada pula yang tinggal atau belum mendapat kerja, atau pekerja malam. Dan banyak pula yang menjadi binatu dengan mencuci pakaian orang lain. Hingga tengah hari, pompa tangan itu akan tetap berderit, sampai cucian itu berderet dijemur pada gantungannya.
Sepanjang hari itu Mbak Mar belum berhenti dengan pekerjaanya. Dibantu seorang anak dan seorang keponakannya, pekerjaan memasak terus berlangsung hingga siang. Sementara 3 anak-anaknya yang lain yang duduk di sekolah dasar, masih bermain menunggu waktu berangkat sekolah.
Mbak Mar bukanlah orang yang memiliki modal besar untuk warungnya. Tapi dari warungnya itu, setidaknya para tetangga yang belum menerima upah atau masih menganggur dapat mencatat sendiri melalui buku panjang yang menyimpan nama-nama dan sederet catatan rupiah. Dan bukan sekali dua kali catatan itu ditinggalkan oleh mereka yang tidak membayar, ada kalanya mereka yang tercatat namanya tak pernah kembali karena masuk bui, atau terpaksa pulang kampung karena kecelakaan kerja.
Ketika sore tiba, para pekerja akan pulang dan langsung menemukan makan. Seperti rumah lainnya, keterbatasan ruang telah menjadi bagian hidup yang harus dilalui. Dapat dipastikan setiap rumah yang memiliki petak 3 x 3 itu dihuni paling sedikitnya 3 anggota keluarga. Dan di kelompok “bujangan”, sebutan untuk mereka yang bekerja di bangunan yang tidak memiliki keluarga, ruangan itu kadang disesaki mencapai 8 orang.
Pada malam hari, segala beban dicampakkan. Bermain kartu, berjejal nonton “Mak Lampir” atau sekedar ngobrol tentang hari-hari lalu sambil melepas lelah. Obrolan itu bisa berupa kisah panjang Mbak Ho, pedagang kue tetangga mereka yang tak pernah lagi kembali setelah menang togel 30 juta. Atau cerita Bang Jack yang ditembak polisi di wilayah Polsek Taman Puring. Bahkan yang masih segar dari ingatan, mereka tragedi Jum yang menggantungkan lehernya dengan tali setelah putus asa karena merasa rendah diri lama tidak bekerja. Semua kisah itu hanya berjarak selangkah kaki dari warung mbak Mar.
Malam lelap. Orang-orang tidak ada lagi yang membutuhkan makan. Mbak Mar menutup warungnya. Cak Ali (47 tahun), suaminya yang bekerja sebagai penjual tiket bus mendekap anak-anaknya kecil dalam kamar yang sempit sebelum mata mereka terpejam. Dalam doa dan harapan, semoga anak-anaknya akan bernasib lebih baik. Mimpi malam itu mungkin indah, tapi besok hidup harus direbut.
Leave a Reply