2001_Januari_Edisi 120_bahas:
umumnya toilet
Ade Tanesia
Namanya juga umum, maka banyak cerita yang terjadi di toilet yang diperuntukkan bagi publik ini. Sekelumit ceritanya dipaparkan oleh teman-teman dari Lembaga Etnareftika Yogyakarta yang menyajikan serangkaian karya etnofotografi yang memperlihatkan bahwa toilet umum dimaknai berbeda oleh masyarakat. Tidak sekedar sarana buang air, tapi bisa beralih fungsi sesuai kehendak pemakainya.
Pakaiannya dicuci, dijemur… di toilet
Di salah satu sudut pasar sentul Yogyakarta, para pedagang dan kuli-kuli pasar yang sedang “lembur” kadang mencuci dan menjemur pakaiannya di lokasi sekitar toilet. Setelah mandi dan berganti pakaian, maka pakaian kotor dicuci, dijemur di tower penampungan air dekat toilet.
Mereka menyebutnya “kantor”
Dari pagi hingga malam, toilet umum di depan Tourist Information Center, Malioboro, memang berfungsi sebagaimana mestinya. Tapi mulai di atas jam 9 malam beralih fungsi menjadi markas dan tempat janjian anak jalanan Malioboro. Malah mereka menyebutnya “kantor” dengan adanya papan tempat pengumuman bagi komunitasnya. Penunggu toilet umum di sebelah “kantor” tanpa atap itu sudah sangat hapal jadwal tak tertulis “meeting” komunitas asesori di Malioboro dan sekitarnya, mereka biasanya duduk-duduk sambil mengobrol, makan, dan minum di “kantor”nya.
Ada kebebasan di sana!
Sebagaimana semangat khas anak kampus, maka toilet kampus juga diwarnai oleh aksi-aksi tulisan bermuatan politik. Di toilet kampus fakultas Sastra UGM, maraknya grafiti politik memuncak semasa represi paka kasus 27 Juli 1996. Toilet umum menjadi salah satu alternatif mengekspresikan aspirasi politik. Segala hujatan yang ditujukan pada rejim orde baru dilontarkan, saat itu ekspresi semacam ini sangat riskan dilakukan di depan publik. Bahkan toilet itu menjadi ajang berbalas-balsan seperti sebuah kalimat: Hidup Harto, Aku tetap mendukung dan terus mendorongmu agar segera sampai di pintu neraka !!”. Kali berikutnya seorang penulis yang lain menambahkan kata “ tidak” di depan kata “hidup” dan “mendukung”, sehingga bunyinya: “Tidak hidup Harto. Aku tetap tidak mendukungmu dan terus mendorongmu agar segera sampai di pintu neraka”. Di toilet memang ada kemerdekaan, karena sesuatu yang tidak bisa dilontarkan di publik seperti kata “bajingan”, “asu” dapat muncul di dinding WC kampus. Dan orang merasa nyaman, karena meski dilakukan di publik, privasi pembikin hujatan tetap terjaga alias tidak ada yang tahu.
Sudah Macet, Kebelet Pula….
Dalam sebuah data BPS tahun 2000 disebutkan, DKI Jakarta hanya terdapat angka 258 untuk jamban sendiri (private toilet), angka 2 untuk jamban bersama (shared toilet) dan 5 untuk jamban umum (public toilet). Bandingkan dengan Aceh yang memiliki jumlah 1676 untuk jamban sendiri, 120 untuk jamban bersama dan 660 untuk jamban umum. Lalu apa artinya jumlah tersebut bagi warga Jakarta? Menurut Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Jakarta seperti yang disebutkan Kompas, baru 70 persen warga Ibu kota yang menggunakan MCK (mandi, cuci, kakus). Sisanya barangkali membuang hajat di kali atau diselokan sehingga cara ini beresiko menimbulkan penyakit diare.
Toilet bergerak….
Minimnya toilet memicu pemerintah daerah untuk menyewakan toilet boks yang bisa mondar-mandir mencari keramaian. Di Jakarta saja, terdapat 20-30 lokasi toilet boks bekas penyelenggaraan PON. Toilet ini baru muncul setelah kerusuhan Mei 1998. Namun ternyata pengelolaan toilet boks ini masih bermasalah karena berbagai instansi walikota juga turut mengambil alih pengelolaan. Sedangkan dalam undang-undang juga tidak jelas instansi mana yang harus mengelola.
Pemdakah atau kantor walikota.
Pihak swasta juga mengelola saranan serupa atas ijin Pemda, khususnya instansi Pembuangan Air Kotor (PAK). Penempaan lokasi akan dikonfirmasikan walikota dan aparat setempat. Penempatan akan dilakukan oleh PAK sebulan sekali dengan menetapkan keharusan toilet tersebut terawat kebersihannya. Sementara untuk urusan pihak setempat, urusan panjaga dan penyediaan air bersih diserahkan sepenuhnya kepada pengelola. Pemda mewajibkan pembayaran restribusi kekayaan negara sebesar Rp. 325.000,- per toilet per hari menurut aturan Perda No. 3 tahun 1999 tentang restribusi daerah yang berlaku sejak 6 Nopember 2000.
Di Yogyakarta, toilet box semacam ini relatif murah. Layanan yang diberikan oleh Kantor Dinas Kebersihan dan Pertamanan ini hanya memiliki 4 buah mobil yang bisa disewa denegan tarif Rp. 250.000,- per hari (untuk kegiatan sosial) dan untuk kegiatan komersil lebih mahal sedikit. Biasanya yang menyewa adalah panitia atau penyelenggara acara yang melibatkan banyak massa.
Berceloteh di Toilet…….
Selalu kotor, selalu bau! Demikian keluhan yang paling sering diungkapakan seseorang tentang toilet di masyarakat kita. Begitu banyaknya kritik yang dilontarkan tetap saja tak merubah kondisi toilet. Nampaknya pemaknaan masyarakat terhadap toilet yang menjadi musababnya. Ia tak sekedar menjadi buangan terakhir kotoran tubuh manusia, tetapi juga buangan ekspresi seseorang tentang politik, seks, cinta, humor, umpatan dan kemarahan, dalam bentuk tulisan-tulisan di berbagai sudut ruangnya. Di toilet pula, seseorang dapat membuang rasa cemas atas penampilannya, sehingga disanalah ia membenahi dirinya dengan menyisir, meratakan lipstik di bibirnya, menyeka kulit wajahnya dengan tissue agar tak berminyak atau membetulkan kancing bajunya. Ada pula yang menggunakan toilet sebagai tempat menjemur pakaian, tempat mandi. Ya..ya.. toilet punya banyak fungsi, intinya ia telah menjadi oasis bagi segala kepenatan, ketika seseorang tak perlu lagi berpura-pura, hanya untuk beberapa menit saja.
Banyak Puisi Tak Dikenal
Ingin melihat puisi anonim? Datanglah ke toilet, sekujur temboknya banyak tulisan yang menarik, Jorok memang…tapi seru! Misalnya di sebuah MCK umum di belakang kantor Kecamatan Pela Mampang, Jakarta Selatan banyak tulisan lucu, bahkan ada yang berbalas-balasan kuiz, isinya: Vijai datang lagi dengan Kuizz yang baru! Hayo…tebak…hitam, gede, tinggi, ada kuning2nya? Jawaban kirim melalui wesel ke rumah berpagar hijau dekat lapak! Namun tak perlu menjawab, apalagi mengirimkan wesel. Di bawah tulisan itu ada tanda panah yang memberikan penjelasan kemana pembaca akan mendapat jawabannya. Rupanya, panah terputus-putus itu harus diikuti sampai ke kamar lain di sebelahnya. Tepat di pojok pintu di akhir tanda panah terdapat sedikit petunjuk: besok vijai akan datang lagi dengan kuizz baru!
Seperti hitungan metode lidi dalam pemilihan umum kita, di toilet umum stasiun Kalibata-Duren Tiga pernah terdapat tulisan yang menggelikan: Danny, berak , kencing , dibawahnya: Ocha, Berak , kencing Hendrik, berak , kencing , di bawahnya lagi: Yanto, berak 0, kencing 0 (malah, maaf-red, onani, ). Yang tidak kalah seru tentu saja yang sedikit berbau rasis seperti yang ditulis di toilet umum di belakang Kecamatan Pela Mapang ini: Zainuddin MZ – Betawi, Benyamin S juga Betawi, Mandra Betawi, Bokir Betawi, Moudy Betawi, Rhoma Irama Betawi… Betawi jujur-jujur!!!…Jawa? ya..ya.. banyak puisi anonim di Toilet. Ia telah menjadi kolase kata yang merefleksikan wajah masyarakat kita.
Menyoal Bersih
“Kebersihan” sering merupakan ungkapan yang dibaliknya tersembunyi gagasan-gagasan tentang sebuah kenyamanan; kenyamanan mata dan yang paling penting kenyamanan hidung. Yang bersih itu tidak mengotori mata dengan mencoret-coret dan yang bersih itu tidak mengotori hidung dengan bau-bauan yang tidak enak. Hal ini mungkin karena WC/toilet itu tempat membuang hajat (kotoran) maka harus kelihatan bersih karena yang bersih itu higienis.
Semua perilaku kita selain diatur oleh namanya sopan santun ditambah lagi dengan norma kebersihan. Ada ungkapan mengenai ini, “Bersih itu bagian dari iman”. Jika dibalik, bisa jadi kalau tidak bersih ya tidak beriman. Bentuk-bentuk pendisiplinan kebersihan memang bisa bermacam-macam. Tersebut misalnya mashab psikoanalisa yang punya istilah “toilet-training”. Dengan itu dimaksudkan bahwa anak sekitar usia 2 tahunan sudah mulai diajar untuk buang air secara “’baik dan benar”. Disiplin kebersihan pun dimulai dari taraf ini. Tubuh orang mulai dilatih untuk membedakan tempat yang benar untuk melakukan buang air. Kesadaran atas ruang mulai dibina melalui pendisiplinan tubuh. Perasaan-perasaan seperti mengendalikan diri, menahan diri untuk bisa buang air pada waktunya dan ditempatnya adalah hal-hal yang dibiasakan sejak masa kecil. Ada juga pandangan yang mengatakan; “Untuk menjaga kebersihan kita serahkan pada kesadaran orang-perorang, hal ini terlaksana jika setiap orang merasa memiliki terhadap WC/Toilet umum”. Konsep tentang hak milik bersama semacam itu bisa jadi dianggap ngelantur. Sekarang yang jelas konsep tentang bersih itu bagi setiap orang berbeda-beda dan inipun tidak perlu dibuat sama. Orang melihat WC/toilet umumpun berbeda-beda, ada yang semata-,mata untuk buang air besar/kecil sampai bersifat bisnis.
Spelhuisje, open Bassin hingga Waschbalie of Bad
Mirip seperti kaum inlander yang terbiasa mandi di kali, masyarakat indo (keturunan belanda) juga membangun tempat mandinya di tepi sungai, yang disebut speelhuisje, yaitu rumah-rumahan kecil terbuka. Selain di tepi sungai, toilet untuk orang terhormat terletak di dalam halaman rumahnya sendiri, seperti rumah di Molenvliet West No. 11 (sekarang jalan Diponegoro), terdapat ruangan bilik kecil yang tertutup dan berdinding tembok bata sehingga orang bisa mandi sekaligus berganti baju. Lewat jenjang tangga, maka seseorang dapat turun ke kuip (kulah atau jambangan). Kuip ini terbuka bagian atasnya dan terletak dekat sumber air.
Selain itu, juga dikenal istilah open Bassin, yaitu tempat mandi yang seuruhnya terbuka tanpa atap dan dikelilingi dinding dengan teras ke kali. Tempat mandi ini terletak di sebuah rumah Cina dekat kawasan Glodok. Kamar mandi di dalam rumah sudah dikenal orang pada tahun 1870 dengan bentuk sangat sederhana yang disebut waschbalie of bad, yaitu sebuah tong besar dan orang dapat mandi dengan menggunakan gayung.
No Leering… No Camparing!
Dalam festival seni di Edinburgh, seniman Otto Bercham menggelar karya instalasi perihal konsep maskulin di toilet umum pria. Tidak tanggung-tanggung, ia langsung membuat instalasinya di sebuah toilet yang disimbolkan sebagai salah satu ajang ritus kaum pria. Di bawah tulisan “Mens Toilet”, Bercham membuat sederetan teks tentang etiket di toilet pria yang berisi “No Loitering [dilarang mondar-mandir]; No Leering [dilarang lirak-lirik]; No Laughing [dilarang tertawa]; No Touching [dilarang menyentuh]; No Comparing [dilarang membanding-bandingkan]; No Excessive Shaking; Please Ignore Flatulence; When Finished, Wash Hands”. Selain itu, di ruang dalam toilet, Bercham menambahkan teks yang diletakkan persis di atas kloset. Teks itu berisi tentang sulitnya para pria mengontrol kebiasaan “curi-curi pandang” saat sedang buang air kecil. Pesan apa yang ingin disampaikan Bercham melalui instalasinya ini? “Saya hanya ingin mengatakan bahwa setiap pria pasti punya rasa takut dan tidak nyaman berada dalam toilet umum,” ungkapnya. Gagasan Bercham tentunya sangat menarik, karena ia telah mementahkan istilah “maskulin” yang dimaknai awam, yaitu pria jantan, macho, pemberani. Ternyata saat berurusan dengan toilet umum, konstruksi citra laki-laki maskulin bisa runtuh.
Leave a Reply