2000_April_Edisi 111_peduli:
trotoar
Ade Tanesia
Siapa kuat dia menang, siapa lemah dia kalah. Demikianlah riwayat pejalan kaki di kota-kota besar Indonesia yang selalu menerima kekalahan di jalan raya. Trotoar yang seharusnya diperuntukkan bagi mereka, malah dianggap sebagai wilayah fromtice, yaitu ruang kosong tak bertuan yang dapat diduduki dan dikuasai oleh siapapun. Padahal kalau kita sepakat bahwa ruang kota adalah untuk seluruh manusia yang tinggal di dalamnya, maka pejalan kaki pun pantas merebut haknya untuk memperoleh trotoar yang nyaman.
Awalnya…
Keberadaan trotoar di jalan-jalan di Indonesia tidak lepas dari kebijakan pembangunan trotoar atau kaki lima pada abad ke-19, tepatnya ketika Napoleaon sedang sibuk melebarkan sayap kekuasaannya di Eropa (sekitar 1811-1816). Di daerah-daerah koloni Belanda yang berada di bawah administrasi Inggris-termasuk Indonesia atau Hindia Belanda-juga melaksanakan kebijakan untuk menyediakan ruang bagi pejalan kaki ini. Ketika Sir Thomas Standford Rafles menjadi Gubernur Jenderal do Indonesia, dia memerintahkan pembangunan sarana untuk pejalan kaki di tepi jalan dengan ketentuan, tinggi sekitar 31 cm dan lebar sekitar 15 cm atau five-feet. Dari perkataan five-feet inilah muncul istilah kaki lima (Schoch, 1983,3)
Bukan untuk pejalan kaki
Anehnya, walaupun trotoar sudah ada sejak jaman Belanda, pembangunan jalan raya di negeri ini rupanya kurang mempedulikan manusia. “ Setahu saya, Bina Marga secara resmi memang tidak memiliki standar trotoar, sehingga di Bina Marga pun belum ada hukum yang mengatur bahwa ketika sebuah jalan dibangun, maka harus ada trotoar dengan lebar sekian meter,” ungkap Ir. Yudi Nirwana Yoga dari Kelompok Studi Arsitektur Lansekap Indonesia (KESALI).
Rebutan “lahan”
Kalau pun Danau PU telah menyisakan ruang 1,5 meter di kedua sisi badan jalan, maka ruang itu menjadi hak bagi berbagai Dinas Pemda lainnya, yaitu Dinas Pertamanan, Dinas Penerangan Jalan Umum (PJU), Dinas Fasilitas Umum yang membuat saluran untuk Telkom, PAM, dan GAS. Yang menyedihkan, tidak ada koordinasi yang cukup baik antara dinas tersebut, akibatnya sering kita jumpai galian-galian di trotoar. Keburukan koordinasi ini diperparah lagi ketika jalan sekecil itu menjadi lahan basah untuk memperoleh penghasilan tambahan.
Jika gaya para pengambil keputusan sudah semacam ini, agak sulit juga untuk mensosialisasikan sebuah disiplin. Yang kerap dipersalahkan adalah para pedagang kaki lima, mereka dicap tidak disiplin. “Inti persoalan bukanlah karena bangsa ini tidak disiplin, mana mungkin bangsa ini bisa berhasil sebagai petani atau pelaut yang baik. Tapi kita memang belum selesai berembuk untuk menentukan apa mau kita terhadap para pejalan kaki dia trotoar itu. Artinya belum ada koordinasi yang baik antara berbagai kepentingan instansi, “ungkap Marco Kusumawijaya dari Masyarakat Lingkungan Binaan.
Kenyamanan pejalan kaki
Mawujudkan kenyamanan bagi pejalan kaki memang bukan hanya membangun fasilitas fisik dan meletakkannya sebagai kosmetik kota. Dalam buku berjudul “City”, William H. Whyte malah mengingatkan perlu mempertimbangkan sifat manusia ketika berjalan kaki, misalnya pejalan kaki umumnya memandang ke depan dan mengamati siapa yang berjalan ke arahnya. Pada jarak sekitar setengah meter, mata mereka saling bertatapan. Di sinilah keputusan untuk menyapa, tersenyum, curiga atau menghindar terjadi. Kewaspadaan merupakan sifat pejalan kaki, sehingga jika trotoarnya sempit, mereka tidak bisa mengantisipasi kemungkinan buruk yang akan terjadi pada dirinya. Standar ukuran trotoar biasanya didasarkan atas 3 orang yang berpapasan di trotoar tersebut dan masing-masing orang mempunyai sisa jarak 10 cm ke kanan dan kiri. Belum lagi kerusakan di trotoar yang sering mengakibatkan warga enggan berjalan kaki.
Menurut Ir. Yudi Nirwana Yoga, pemecahan masalah trotoar harus dimulai dari seluruh pihak yang berkepentingan. Pemda harus memperbaiki koordinasinya, warga pun harus sadar akan haknya untuk memperoleh keselamatan dan kenyamanan berjalan kaki, dan hukum perlu ditegakkan. Kalau berani menerapkan tiga hal ini, maka kota yang lebih manusiawi akan akan terwujud dan bukan sekedar impian. Bukankah kaki manusia lebih berharga daripada seonggok mesin motor atau mobil?.
Leave a Reply