1998_Juli_Edisi 092_peduli:
Tro-To-Ar
Apa yang terjadi jika tidak ada trotoar? pejalan kaki tidak memiliki ruang-pejalan kaki tidak nyaman – bisa terserempet kendaraan. Dan apa yang terjadi jika ada trotoar? pejalan kaki tetap tidak memiliki ruang-pejalan kaki tetap tidak nyaman-dan tetap bisa terserempet kendaraan. Itulah yang sering terjadi di kota besar di Indonesia, karena trotoar yang fungsinya sebagai tempat para pejalan kaki bisa beralih fungsi. Trotoar dipakai oleh kendaraan bermotor yang hendak mencari jalan pintas di lampu merah, atau dipakai oleh para pedagang. Bahkan tidak jarang pula, meskipun ada trotoar, pejalan kaki tetap berjalan di badan jalan.
Sebut saja kota Bogor, Pemdanya pun menyetujui jika trotoar digunakan oleh para pedagang kaki lima, sehingga pejalan kaki harus “turun” ke jalan dan dihadapkan dengan motor, becak, sepeda, mempermacet lalulintas plus resiko tersenggol. Pemandangan ini dapat ditemui di Jl. Kapten Muslihat, Jl. Merdeka, Jl. Dewi Sartika yang trotoarnya dilindungi tenda kuning untuk pedagang kaki lima. Trotoar di Indonesia nampaknya memang menjadi lahan perdagangan sektor informal yang sebenarnya posisinya marjinal di pusat perekonomian nasional. Tidak heran kalau lahan kerja mereka pun berada di pinggiran sehingga pejalan kaki pun tersingkir. Tentunya kondisi ini merupakan kehidupan pejalan kaki dan juga pedagang kaki lima. Kini bagaimana harus mengatasi hal tersebut? Mungkin salah satu caranya adalah memperluas lahan trotoar. Seperti di Malioboro Yogyakarta, pejalan kaki dan pedaganga masih bisa hidup berdampingan. Bahkan kapling trotoarnya menjadi lahan jual beli antar pedagang kaki lima yang konon di tahun 1996 seharga Rp. 9 juta sampai 15 juta per kapling yang luasnya sekitar 1,5 meter persegi. Tidak hanya digunakan pedagang, trotoar juga kerap dipakai sebagai lahan berkesenian. Misalnya Paris di jalan raya Champs Elyses, Pris, terdapat trotoar yang cukup luas. Di trotoar itulah di adakan eksposisi 49 patung diantaranya karya-karya Cesar, Picasso, Miro, Rodin, Calder, Dubuffet, Zadkine, Leger, Hepworth, Marx Ernst dan lain-lain. Namun disini, pejalan kaki tetap memperoleh kenyamanan, bahkan dpat langsung kontak dEngan berbagai karya seni patung tersebut. Di Indonesia sendiri tidak banyak trotoar untUk lahan berkesenian-kalaupun ada hanya sedikit misalnya di Yogyakarta kerap tampil pertunjukan jatilan di trotoar Malioboro.
Walaupun fungsi trotoar sudah beralih fungsi, namun nampaknya pejalana kaki tetap tidak protes. Selama tidak terjadi kecelakaan,banyak pejalan kaki menganggap ganggun di trotoar merupakan hal biasa dalam kehidupan keseharian mereka. Yang menjadi pertanyaan adalah “apakah toleransi ini bisa dibenarkan ?”. Di beberapa kota, para polisi dihimbau agar menindak tegas para pedagang di trotoar, tetapi banyak masyarakat yang membela pedagang kaki lima. Sungguh kedisiplinan masih menjadi barang langka di negeri miskin, karena warganya akan mencari celah nafkah untuk hidupnya. Trotoar menjadi refleksi pertaruhan hidup pedagang kecil dan pejalan kaki. Keduanya semestinya saling mengerti agar pertaruhan itu tidak membawa bencana.
Leave a Reply