2000_Desember_Edisi 119_bahas:
translokasi gajah
Roy Candra Yudha#723
Setelah melewati saat tegang, bagaimana kelanjutan cerita perjalanan tim WWF di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh untuk merelokasi gajah. Banyak kisah menarik tentunya, dan inilah bagian terakhir dari sekilas perjalanannya.
Cerita Penduduk Setempat
Berbagai petualangan seru yang kami rasakan dengan gajah mungkin tak sebanding dengan pengalaman langsung yang dialami penduduk setempat. Pak Agus, seorang petani menuturkan kisahnya tantang seekor gajah liar yang kini sering mengamuk. Menurut beliau kemarahan gajah liar semakin merajalela dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan semakin padatnya penduduk serta bertambah buasnya lahan pertanian sehingga ruang gerak gajah semain sempit. Walhasil lahan yang baru ditanami dan yang akan dipanen ludes dilahap para gajah liar. “Jadi saya sudah kapok untuk berladang dan menaki (manyadap) karet,” ujar bapak beranak 3 ini.
Lalu kami bertemu dengan Pak Ibrahim, yang bercerita panjang lebar soal asal mula kenapa desa ini dinamakan Air Badui. Pada zaman dahulu terjadi peperangan antara raja Riau dan Johor. Salah seorang raja yang terluka pada kelingkingnya, mencipratkan darahnya ke raja lawannya sehingga mata lawannya terkena hingga menjadi buta dan akhirnya mengalami kelumpuhan pada separuh badannya. Raja yang terluka pada kelingkingnya juga mengalami hal yang sama maka keadaan menjadi seimbang maka disebut Air Badui. Menurutnya 5 tahun yang lalu pernah ada harimau didesa ini, tetapi sekarang menghilang entah kemana. Dan pada masa kemerdekaan sendiri ia sempat menghitung jumlah gajah didesanya sebanyak 138 ekor, tetapi jumlahnya semakin menyusut karena pernah ada perburuan dan terpencar-pencar akhirnya kini yang tertinggal hanyalah 16-22 ekor.
Lain lagi cerita Pak Umar, seorang kepala desa. Dengan suguhan kopi dan kue kering ia mulai bercerita mengenai gajah. Dahulu orang memanggil gajah dengan sebutan Datuk Gedang, Penduduk percaya jika ladangnya dimasuki gajah, maka mereka cuku berkata “Tolong jangan rusak ladang kami wahai Datuk Gedang,” maka gajah pun pergi. Dan masih ada beberapa gajah liar ini akibat lahan untuk makan dan jelajah mereka sudah habis, maka sebutan Datuk Gedang untuk mengusir mereka tidak digubris lagi. Penggalan cerita penduduk ini tentunya memperkaya pengetahuan kami, karena ternyata cerita gajah liar bisa dilihat dari berbagai sisi, seperti sisi legenda kisah nyata. Hal ini sebenarnya memperlihatkan bahwa manusia dan gajah mempunyai hubungan yang sangat dekat, tinggal bagaimana bentuk hubungan ini bisa diharmonisasikan kembali.
Matinya Gajah Amoy
Berita terbengkalainya seekor bangkai gajah yang dikerubuti lalat sungguh mengejutkan kami, dan ternyata itu adalah si Amoy dengan kayu pengikat yang masih menempel di lehernya. Menurut keterangan, ia mati pada jam empat subuh. Sebelumnya bergerak-gerak dan melenguh, yang mereka kira ada perkembangan setelah tidak sadar dari kemarin. Tetapi takdir berkata lain si Amoy mati dan dengan sangat terpaksa. Namun menariknya dari dalam truk. Bersama Pak Damsir, kami mengamati proses otopsi terhadap si Amoy. Dengan badan Amoy yang sudah bau dan lalat yang menggerubunginya, kami menyingkirkan dahan-dahan dan dedunan yang menutupi badannya. Pukul 17.15 Gerimis mulai turun, Pak Damsir dengan pisau bedah dan pinset segera memulai operasi dengan membedah bagian perut bawah dan mencoba merogoh ke bagian dalam badan si gajah. Kemudian Pak Damsir memotong bagian bawah untuk mencari celah yang lebih mudah tapi terbentur oleh torax dan tulang iga sehingga sulit sekali tanpa peralatan potong tulang atau gergaji. Mas Caca mencoba membantu dengan menyomot bagian rongga dada. Karena badan si gajah terlalu besar dan berat hal ini sulit dilakukan. Kami hanya bisa mendapatkan limpa dan hatiya setelah mengeluarkan isi perut untuk dikirim ke Pekanbaru. Kematian Amoy sungguh menyedihkan, karena cukup banyak kenangan yang kami rasakan bersamanya.
Melepas Gajah Liar
Inilah hari terakhir kami yang ditandai dengan pelepasan gajah liar. Berkilo-kilo kami berjalan menyusuri jalan yang menanjak dan menurun. Pak Damsir menembakkan senjatanya ke udara berkali-kali untuk memacu semangat anak buahnya. Si gajah liar mulai sempoyongan, tetapi berhasil ditarik oleh si Narun dan Indah. Pukul 11.00 kami beristirahat dibalik semak-semak untuk menghindari panansnya mencari dan sambil menunggu para tamu. Sementara sebagian pawang memberi minum dan mencari tempat untuk mengikat kedua gajah liar ini. Satu persatu para tamu berdatangan dengan motor. Agar dapat menyaksikan upacara pelepasan dapat terlihat dari jauh maka salah seorang pawang membuka jalur yang tertutup semak belukar.
Pukul 16.00 acara pelepasan dimulai, bersama gajah-gajah yang terlatih mereka menggiring masuk gajah-gajah liar ini ke dalam hutan belantara sementara kami hanya bisa melihat dari jauh bersama para tamu. Selamat jalan Ani dan Rini, itulah nama baru gajah liar yang tertangkap ini. Kamera terus menyala mengabadikan mereka, semoga mereka hidup dengan senang di tempat tinggal barunya. Terdengar letusan senjata 3 kali untuk mengusir gajah liar ini dari rombongan karena gajah yang kecil yang bernama Ani akan berniat kembali lagi.
Dua minggu sudah perjalanan kami dan tak terasa perpisahan sudah diambang mata, kulit yang tadinya bening kini menjadi hitam dan wajah yang mulus berubah menjadi berkumis dan berjenggot. Ituah perjalanan akhir kami dengan membawa kenangan yang tak terlupakan. Dan semoga proyek ini berhasil dalam bulan Desember untuk pengangkutan gajah yang diperkirakan tinggal 16-18 ekor lagi.
Leave a Reply