Awal Industri Kreatif adalah dari peninjauan kembali atas aspek Ekonomi Kebudayaan (Cultural Economic) di suatu negara. Pada 1990-an ditemui pergeseran pasar yang mengakibatkan perpindahan lokasi produksi dan perubahan jalur distribusi. Hal ini mengakibatkan banyak lokasi industri, termasuk bangunan-bangunan pabrik dan gudang, ditinggalkan, terbengkalai, dan membutuhkan fungsi baru. Industri kreatif dianggap sebagai obat manjur untuk memperbaiki kualitas kota dan masyarakat yang cenderung menurun. Industri kreatif dimaksudkan untuk mendorong perbaikan kehidupan yang berkelanjutan di dalam masyarakat.
Industri kreatif mengandalkan kreatifitas individu untuk menghasilkan berbagai komoditi yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Di Indonesia, sebuah negara yang masih dapat dianggap belum sepenuhnya meninggalkan budaya kolonial, masih tergagap menghadapi era modern – apalagi pascamodern – industri kreatif didorong oleh pemerintah, melalui Badan Ekonomi Kreatif, – tanpa terlihat sadar tentang berbagai kekurangannya. Toleransi, sebagai satu dari beberapa sumber munculnya kreativitas, masih dianggap sebagai hal yang masih perlu diperjuangkan di Indonesia. Kontradiksi ini dapat dilihat dalam dua pengakuan yang berbeda. Dalam satu pengakuan internasional, lembaga dunia Perserikatan Bangsa-bangsa mencatat kota Bandung bersama 44 kota lain di dunia, sebagai anggota kota kreatif dunia. Di peiode waktu yang kurang lebih sama, Bandung dinobatkan sebagai kota intoleran nomor enam dari 94 kota di Indonesia, oleh Institut SETARA. Bagaimana mungkin kontradiksi ini terjadi? Sebagaimana diketahui umum, toleransi adalah satu dari banyak aspek untuk mengembangkan kreativitas.
Krisis Fordisme – metode produksi ban berjalan yang diawali oleh perusahaan mobil Ford – di mana perilaku produksi konvensional sudah tidak aplikatif dan mendorong munculnya Industri Kreatif yang dianggap sebagai sumber inovasi yang memberi solusi. Perubahan gaya hidup dari masyarakat industri menjadi publik yang memiliki banyak waktu luang (pengangguran), mendorong individual berpemikiran liberal, sekular, dan membuka berbagai konsep kreatif yang baru.
Setiap negara, wilayah, kota memiliki kebudayaan, sejarah, ekonominya masing-masing, yang mana semestinya menjadi dasar dalam menentukan kebijakan Industri Kreatif masing-masing. Harapan dalam mengadopsi Industri Kreatif di samping untuk memperoleh pendapatan ekonomi secara langsung dan perbaikan pada citra kota, adalah: menjadi diskursus penting yang dapat memperbaiki suatu wilayah secara internal, memproyeksikan berbagai kemajuan pada pihak eksternal – soft power.
Sejarah terminologi industri kreatif dimulai pada Oktober 1994 saat pemerintah Australia menerbitkan dokumen kebijakan kebudayaan berjudul Creative Nation. Munculnya dokumen tersebut mendorong Inggris membentuk komisi industri kreatif di 1997 di bawah Department of Media, Culture, and Sport (DMCS) untuk mendefinisikan Industri Kreatif versi Inggris.
“Those industries which have their origin in individual creativity, skill and talent which have a potential for job and wealth creation through the generation and exploitation of intellectual property.”
Definisi untuk industri kreatif ini pula yang digunakan oleh Kementrian Perdagangan Republik Indonesia.[1] Tujuan Indonesia mendorong Industri Kreatif, tertulis:
- Memberi kontribusi ekonomi yang signifikan,
- Menciptakan iklim bisnis yang positif,
- Membangun citra dan identitas bangsa,
- berbasis kepada dumber daya yang terbarukan,
- Menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa, dan
- Memberi dampak sosial yang positif.
Industri Kreatif di Indonesia baru mulai diusahakan dengan terbitnya Studi Industri Kreatif Indonesia 2009 keluaran Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Laporan studi itu antara lain menyatakan bahwa pendekatan Statistik Budaya UNESCO – yang digunakan di Australia, Selandia Baru, dan Kanada – tidak tepat bagi pembuat kebijakan dalam memetakan industri kreatif: “Pendekatan ini tidak akan digunakan dalam studi ini karena kecenderungannya yang dapat melahirkan kontradiksi terhadap tujuan studi, yaitu untuk mengukur kontribusi industri kreatif terhadap perekonomian bangsa. Beberapa aktivitas dalam pendekatan ini, seperti cagar budaya dan lingkungan, berusaha untuk “menghilangkan” kontribusi ekonomi di dalamnya. Alasan lainnya adalah sifat kolektif dari industri budaya dan kurang mengakomodasi perkembangan industri kreatif kontemporer (h. 13).”
Dalam studi yang sama, definisi Industri Kreatif di Indonesia sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. (h. 33)
Industri kreatif tidak (atau belum) tercatat di dalam industri yang diakui negara (h. 37), sehingga untuk mengetahui besaran dampak dari industri kreatif terhadap perekonomian Indonesia, digunakan beberapa indikator utama sebagai alat ukur. Indikator‐indikator yang digunakan adalah berbasis pada: (1) Produk Domestik Bruto (PDB); (2) Ketenagakerjaan; dan (3) Aktivitas Perusahaan, serta (4) Dampak terhadap sektor‐sektor lain. (h. 35). Rata‐rata kontribusi periode 2002‐2006 sebesar 104,637 triliun rupiah atau dengan rata‐rata persentase kontribusi periode 2002‐2006 sebesar 6,28%. Secara rata‐rata kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB), Industri kreatif memberikan kontribusi lebih tinggi dari sektor: (1) pengangkutan dan komunikasi; (2) Bangunan; dan (3) listrik, gas, dan air bersih. (h. 47).
Industri kreatif ternyata tidak berhasil di kota Noosa, 130 kilometer dari kota Brisbanne, Australia tenggara. Industri yang mengandalkan kemampuan kreatif untuk mengembangkan ekonomi kota, ternyata tidak melibatkan mayoritas warga.
Creative industries turned out not to be so inclusive after all. They failed to soak up all those unemployed dirty industry workers and were reliant on educated workers willing to work their way up on low pay and high debt.[2]
Industri kreatif masih dianggap sebagai kegiatan bagi kelompok yang tidak inklusif dan hanya dapat menjawab kulit terluar dari permasalahan yang ada.
The right to the city is far more than the individual liberty to access urban resources: it is a right to change ourselves by changing the city. It is, moreover, a common rather than an individual right since this transformation inevitably depends upon the exercise of a collective power to reshape the processes of urbanization. The freedom to make and remake our cities and ourselves is, I want to argue, one of the most precious yet most neglected of our human rights.[3]
Pertanyaan yang mendasar yang perlu diajukan adalah: apakah kreativitas dapat berkontribusi dalam perkembangan keunikan lokal dan kemaslahatan warga?[4] Sebagai contoh yang lebih spesifik untuk mengkaji hal ini, kita dapat melihat kota Bandung, ibukota provinsi Jawa Barat, Indonesia.
Setelah pemerintah bersama komunitas kreatif di kota Bandung mengusahakan selama tidak kurang dari tiga tahun, di 2015 kota Bandung berhasil tercatat sebagai anggota dari sebuah jaringan kota kreatif dunia yang beranggotakan 44 kota dari 33 negara. Kota Bandung tercatat sebagai anggota jaringan kota kreatif dunia dalam kategori desain. Dengan keberhasilannya ini, Ridwan Kamil, walikota Bandung berharap masyarakat Bandung dapat berorientasi pada desain karena telah mendapatkan pengakuan tingkat dunia.
Ridwan Kamil berharap warganya tetap mengedepankan desain unik dalam membuat karya atau inovasi kreatif. “Artinya segala unsur kehidupan di Kota Bandung harus punya nilai tambah, disain progresif. Enggak boleh membuat sesuatu yang biasa-biasa aja. Standarnya harus kelas dunia,” bebernya.[5]
Sedikit melegakan bahwa Ridwan menyadari bahwa kondisi yang kondusif demi tumbuhnya kreatifitas adalah adanya toleransi di antara warga kotanya.
“Karena sering beraktivitas di luar, maka warga Bandung interaksi sosialnya baik. Oleh karena itu, warga Bandung tumbuh menjadi orang-orang toleran dan ramah,” jelas wali kota. Dengan cuaca yang sejuk pula, Ridwan mengungkapkan bahwa warga Bandung lebih kontemplatif. Oleh karena itu, banyak muncul gagasan-gagasan kreatif dari hasil kontemplasi tersebut. “Di sini kami mengedepankan industri kreatif. Kami tidak punya sumber daya alam. Makanya kita fokus ke sana dalam skala industri mikro, kecil, dan menengah”.[6]
Prestasi ini bertentangan dengan laporan Tolerant City Index 2015 yang diterbitkan oleh SETARA Institute, yang menyatakan bahwa kota Bandung adalah kota yang intoleran keenam setelah Bogor, Bekasi, Banda Aceh, Tangerang, dan Depok. Laporan ini mengunakan tiga indikator yang didasari oleh Indonesian Democracy Index (IDI) yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Nasional. Tiga indikator tersebut berupa peraturan dan tindakan pemerintah, serta tingkat ancaman kekerasan di suatu wilayah meneliti kondisi toleransi di 94 kota di Indonesia.
Di tingkat internasional, dalam Global Creativity Index 2015 yang diterbitkan oleh Martin Prosperity Institute,[7] Indonesia berada di urutan 115 dari 139 negara yang diteliti. Penelitian ini mengkaji tiga aspek penting suatu negara untuk dapat dianggap sebagai negara yang kreatif. Tiga aspek itu adalah: teknologi, talenta, dan toleransi. Persoalan toleransi dalam penelitian ini diperoleh dengan mengukur tingkat keterbukaan publik pada perbedaan suku dan agama minoritas, serta penerimaannya pada gay dan lesbian.
Industri kreatif memang dapat dijadikan satu di antara banyak jawaban bagi menurunnya kualitas hidup masyarakat di suatu kawasan. Richard Florida berhasil mencuatkan terminologi industri kreatif yang fenomenal itu. Banyak keberhasilan dan kegagalan dapat ditemukan dari proses berbagai negara yang mengadopsi pemikirannya. Sebuah cuplikan yang penting untuk diingat dari buku The Rise of the Creative Class yang ditulisnya:
“The rise of a new economic and social order is a double-edged sword. It unleashes incredible energies, pointing the way toward new paths for unprecedented growth and prosperity, but it also causes tremendous hardships and inequality along the way” (2012: xiii).
Kita perlu memahami hal-hal yang mendasari beroperasinya industri kreatif. Toleransi antara warga negara adalah dasar penting bagi tumbuhnya kreatifitas, yang secara otomatis akan mengembangkan industrinya. Berbagai kegiatan ekonomi yang dilakukan adalah untuk kemaslahatan warga. Pengakuan dunia dan berbagai prestasi yang dapat diraih dalam industri kreatif tidak akan bermakna banyak, bila ia hanya memunculkan kesulitan dan ketidaksetaraan dalam hidup berdampingan, tidak mendorong kehidupan yang baik secara berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Buku
Florida, Richard. 2012. The Rise of the Creative Class, Revisited. Basic Books, New York.
Florida, Richard; Mellander, Charlotta; dan King, Karen. 2015. The Global Creativity Index. Martin Prosperity Institute. Toronto, Canada.
Tim Studi. 2014. Ekonomi Kreatif: Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Jakarta.
Departemen Perdagangan RI. 2008. Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025: Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015.
Jurnal
Borén, Thomas dan Young, Craig. 2013. Getting Creative with the ‘Creative City’? Towards New Perspectives on Creativity in Urban Policy. International Journal of Urban and Regional Research. Volume 37.5.
Situs Internet
Rasaki, Iko. 17 Mei 2011. Di Bawah Kekuasaan Benda-Benda. https://goo.gl/YY8ULJ pada 30 Januari 2017, 12:30
Suriyanto dan Sarwanto, Abi. 16 November 2015 20:26. Setara: Tujuh Kota di Jawa Barat Intoleran. CNN Indonesia. Diunduh dari https://goo.gl/Z5sYyh pada 29 Januari 2017, 21:26.
Setara Institute. 2015. Tolerant City Index 2015. Diunduh dari https://goo.gl/27aTYC pada 29 Januari 2017, 12:59.
Tempo. 14 Desember 2015. Diunduh dari https://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/14/058727699/bandung-kota-kreatif-versi-unesco-ini-target-ridwan-kamil pada 29 Januari 2017, pukul 21.04.
Pikiran Rakyat. 22 November 2016. Diunduh dari http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2016/11/22/ridwan-kamil-cuaca-sejuk-bandung-bikin-warganya-kreatif-385537 pada 29 Januari 2017, pukul 21.21.
[1] Sedangkan definisi Industri Kreatif bagi Amerika adalah segala macam bentuk industri yang berkaitan dengan hak cipta (copyright).
[2] O’Connor, Justin dan Andrejevic ,Mark. 12 Juni 2017. Creative City, Smart City.. Whose City is It? Diunduh dari http://theconversation.com/creative-city-smart-city-whose-city-is-it-78258
[3] Harvey, David (September–October 2008). “The right to the city”. New Left Review. New Left Review. II (53): 23–40.
[4] If ‘creativity’ could contribute to urban growth and wellbeing, paralleling efforts to promote an increased appreciation of forms of ‘vernacular’ creativity (Edensor et al., 2010a; 2010b), to use different indices to link creativity with liveability and sustainability (Lewis and Donald, 2010) or to address issues of equality.
[5] Dikutip dari https://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/14/058727699/bandung-kota-kreatif-versi-unesco-ini-target-ridwan-kamil pada 29 Januari 2017, pukul 21.04.
[6] Diunduh dari http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2016/11/22/ridwan-kamil-cuaca-sejuk-bandung-bikin-warganya-kreatif-385537 pada 27 Januari 2017, pukul 21.21.
[7] Index ini merupakan hasil penelitian yang dibuat oleh Richard Florida bersama Charlotta Mellander dan Karen King atas nama lembaga Martin Prosperity Institute, Rotman School of Management, University of Toronto dimana Richard adalah satu direktur di sekolah manajemen tersebut. Richard juga seorang editor senior untuk situs The Atlantic yang fokus pada persoalan urban dan perkotaan. Richard di 2002 menerbitkan buku berjudul The Rise of the Creative Class yang digunakan oleh pemerintah di banyak negara, termasuk Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia di 2014.
Leave a Reply