Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

2002_Maret_Edisi 132_Tuing:
The Voice, dari Indonesia untuk Amerika
Ikranegara

Satu karya-karya sejak “Topeng” (1972) umumnya tergolong dalam gerakan Teater Nasional Kontemporer. Sementara karya-karya sebelum itu, tergolong dalam Teater Nasional Awal.

Gerakan Teater Nasional Awal bermula pada 1920-an, ketika konstruksi sebuah bangsa, nusa dan bahasa, yang disebut “Indonesia”, menjadi impian kita bersama. Kata “nasional” merupakan sebuah kata kunci baru. Karena itu wajarlah jika di dunia teater pun kata ini digunakan sebagai pembeda dengan teater yang telah ada sejak berabad lalu, termasuk teater yang tumbuh di Abad 20 namun masih menggunakan bahasa daerah atau dialek bahasa Melayu.

Teater Nasional Indonesia, baik yang Awal maupun Kontemporer, telah menggunakan Bahasa Indonesia, salah satu dialek daerah suku bangsa. Dan kata “Teater Nasional” pun kemudian menjadi semakin popular terutama stelah kemerdekaan kita capai.

Maka, apa yang disebut Teater Indonesia adalah Teater Nasional. Bahkan akademi teater, yang didirikan di Jakarta pada awal 1950-an, dengan tegas menyebut dirinya sebagai Akademi Teater Nasional Indonesia (AINI). Kata “nasional” lantas menjadi sinonim kata “Indonesia”, yang membedakannya dengan kata “daerah” dan “sukubangsa”. Semangat ini pun terlihat di Akademi Seni Drama Indonesia (ASDI) di Yogyakarta, yang tidak mengajarkan bagaimana seseorang menjadi dalang wayang kulit atau aktor ketoprak, misalnya, melainkan mengajarkan teater moderen yang berorientasi ke Barat. Pada dasarnya, estetika dan pultika yang diajarkan baik di AINI maupun ASDI adalah realisme. Jadi, ada tiga kata kunci yang bisa dijadikan cirri Teater Nasional Awal, yitu realism, moderen, dan Barat.

Ini berbeda dengan gerakan Teater Nasional Kontemporer, yang tidak lagi berorientasi ke Barat dalam masalah estetika maupun puitikanya. Gerakan ini diawali oleh Rendra dan Arifien C.Noer pada 1967. Ketika itu, Rendra menampilkan Teater Mini Kata dan Arifien C. Noer melahirkan “Mega-Mega”.

Rendra mengakui, Teater Mini Kata terlahir setelah ia menyaksikan Teater Kecak di Bali, teater daerah yang tidak mengandalkan kata dalam penampilannya, namun sangat dominan aspek visual pertunjukannya. Karenanya teater ini dapat dengan mudah dinikmai oleh siapa saja tanpa harus, menguasai Bahasa Bali. Elain itu, Teater Kecak pun tidak berangkat dari realism, malah menampilkan sesuatu yang non-realis dan realitas fantastis teaterikal (theatrical fantastic reality). Dan itulah yang ditampilkan Rendra dalam pertunjukan Teater Mini Kata yang berjudul “Bip-bop”.

Di sinilah tampak jelas hubungan antara Teater Mini Kata dengan (salah satu) akar budaya kita. Sedangkan “Mega-Mega” Arifien sempat membuat banyak orang teater pada waktu itu bingung bagaimana harus mementaskannya, terutama untuk Babak Kedua. Ini disebabkan karena para dramawan pada waktu itu hanya bermodal, pengetahuan teater yang realis saja.

Padahal di Babak Kedua itu, Arifien menggunakan konvensi dolanan (permainan anak-anak), yang menggiring penonton untuk membayangkan sendiri ralitas adegan ini sebagaimana saat kita menykasikan dolanan. Ini berarti Airifien, seperti juga Rendra, telah memilih untuk berorientasi kepada khazanah budaya Jawa atau Cirebon yang dikenalnya sejak kanak-kanak. Konvensi yang non-realistik ini kemudian digunakan sebagai titik tolak dan dikembangkan keika menciptakan kemungkinan realitas fantastis teaterikal lebih jauh, di samping memanfaatkan beberapa bentuk teater daerah anatara lain lenong (Jakarta), tarling (Cirebon), dan kecak (Bali).

Secara singkat, ada enam kata kunci terpenting dalam gerakan Teater Nasional Kontemporer ini, yaitu non-realistik, teater visual, teaterikal fantastis reality, akar budaya, inter-kultural, dan experimental. Jadi, berbeda sekali dengan gerakan Teater Nasional Awal, yang hanya mempunyai tiga kata kunci, yaitu realism, moderen, dan Barat.

Dengan pemahaman seperti itu, maka karya terbaru saya, “the VOICE” yang baru saja tampil di Athens, Ohio, Januari kemarin , tergolong ke dalam Teater Nasional Kontemporer, bukan Teater Nasional Awal. Meskipun dalam karya terakhir ini saya menggunakan Bahasa Inggeris. Itu karena ditampilkan di Amerika Serikat. Tentunya, bila saya tampilkan di Indonesia, saya harus menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia terlebih dahulu. Judulnya pun tentulah “Suara”.
Kehadiran saya di AS tahun 2000 memang bertujuan untuk menampilkan karya Teater Nasional Kontemporer di panggung Negara ini. Dalam misi itu, akan ditampilkan pula karya Rendra, Arifien, Putu Wijaya, Riantiarno, Akhudiat, dan lain-lain. Sebuah dambaan yang akan membawa saya jauh dari tanah air untuk waktu yang lama.

Dua “the VOICE” merupakan salah satu cerita dalam khazanah repertoire “The Rite of the Mask #3.” Sedangkan “The Rite of The Mask” sendiri telah berjumlah tujuh. Pertama saya ciptakan untuk pertunjukan di TIM sedangkan ketujuh untuk pertunjukan di Bali.

“The Rite of the Mask #1” berangkat dari sebuah karya berjudul “Ahimpompong”, yang pernah ditampilkan di Davis, California pada 1974. Saat itu saya diminta menjadi dosen teater di Universitas California untuk program latihan “Workshop Toward a Performance”. Dengan metode latihan yang saya susun, program ini memperlihatkan bagaimana pertunjukan dilahirkan lewat sebuah lokakarya sei peran.

Pertujunjukan berjudul “Mantra and other theatrical pieces”. Sedang untuk kepentingan publikasi ditekannkan bahwa pertunjukan ini merupakan “Experimental theathre – an Eastern opproach”.

Metode latihan yang saya perkenalkan saat itu berangkat dari Yoga, tepatnya bagian “Pranayama” (untuk teknik pernafasan) dan “Asanas” (untuk posturnya). Karena dimulai dengan latihan yoga yang konvensional, suasana di studio menjadi khusyuk seperti dalam sebuah upacara ritual. Itulah dasarnya atau titik tolaknya. Selanjutnya, mulailah terjadi pengembangan. Pranayama berkembang menjadi gerak, baik yang stilisasi maupun yang mendekati tarian (dance-like movements). Setiap peserta akhirnya harus sampai kepada irama pernafasan Pranayama-nya masing-masing. Mereka pun bebas menciptakan sendiri postur Asanas sesuai dengan daya kreasi masing-masing.

Metode ini lahir secara bertahap. Saya termasuk pendiri “Teater Kecil” pimpinan oleh Arifien C. Noer, sebelum kemudian mendirikan sendiri “Teater Saja”. Selain sebagai aktor, dan kemudian sempat jadi sutradara., di Teater Kecil saya adalah pelatih untuk “latihan rutin”, yaitu latihan yang tidak dimaksudkan untuk menggarap sebuah pertunjukan, melainkan untuk mematangkan calon actor maupun actor sekalipun. Selain latihan vocal, olah tubuh serta expresi, dihadirkan juga para seniman lain untuk berdiskusi maupun memimpin langsung latihan. Wayan Diya, Sardono, Frans Haryadi, Oesman effendi, Darmanto Jatman, adalah sebagian nama yang pernah mengisi “latihan rutin” kami itu.
Sebagai actor, saya membangun “latihan rutin” pribadi, yaitu setiap pagi sebelum mandi. Saya mengasah vocal dan gerak tubuh dengan menggunakan pernafasan Pranayama dan Asanas. Perkenalan dengan yoga dimulai ketika saya masih menjadi murid Sekolah Rakyat di Bali. Saat itu, ayah sahabat saya yang adalah seorang dalang wayang kulit kerap member penjelasan tentang latihan yoga dan bagaimana melakukannya. Saya ingat betul kata-katanya tentang latihan yoga yang penting untuk menjaga suara dan stamina. Nasihat itu saya mulai menekuni yoga dan memanfaatkannya untuk kepentingan vocal, gerak dan stamina.

Berangkat dari yoga pua saya menyusun metode latihan sebagai proses kreatif untuk melahirkan pertunjukan teater, yang saya tawarkan kepada Departemen Teater di Universitas California pada tahun 1972. Nereka tertarik, tapi masih harus mencari dana dan waktu yang tepat. Akhirnya baru tahun 1974, lokakaryanya berhasil diselenggarakan.
Kembali ke tanah air, saya menawarkan model lokakarya tersebut kepada Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta untuk diterapkan di seluruhGelanggang Remaja di Jakarta. Wahyu Sihombing sangat antusias. Kemudian disusunlah program untuk itu. Saya pun mulai berkeliling ke semua Gelanggang Remaja. Ia meminta saya memberikan lokakarya serupa bagi kelompok-kelompok teater di kota tersebut. Bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta, undangan tersebut dapat terpenuhi. Setelah itu, metode tersebut saya berikan pula untuk seniman teater di Singapura dan Papua Nugini.
Metode latihan atau proses kreatif inilah yang kemudian saya beri nama “From Ritual to Theatre – a process creative”, yang telah dilaksanakan dibeberapa kampus di AS dan telah pula melahirkan tujuh karya “The Rite of Mask” serta “Era of the Bat”.

Tiga sudah ada beberapa cerita yang saya tampilkan sebagai isin untuk “The Rite of Mask #3”, tapi biasanya tidak pernah saya tuliskan. Dia lahir spontan dan improvisatoris. Tapi khusus untuk “the VOICE”, saya tuliskan naskahnya.
Naskah itu pada dasarnya merupakan deskripsi pertunjukan di Athens Januari lalu. Tapi, karena dalam bentuk naskah, ada beberapa perubahan dan tambahan di sana sini. Apalagi set-up-nya pun sudah berbeda. Set-up minimalis pada bulan Januari berganti menjadi set-up multimedia pada naskah yang saya selesaikan bulan Februari. Kan ada music, efek suara dan penanyangan slide sendiri. Dua karakter yang ditampilkannya pun tidak berubah, dengan dan tanpa topeng.
Sumber ceritanya pun tidak berubah, yaitu salah satu cerita dalam novel trilogy “Abad Demi Abad” yang sedang saya garap. Ini merupakan buku kedua berjudul “Tarian Sepanjang Lima Belas Abad”. Buku pertama yang berjudul “Nenekmoyang” dan terdiri dari sebelas bab sudahlah rampung. Sementara buku ketiga nanti akan berjudul “Para Pewaris Kita”. Menulis adalah kegiatan utama saya sekarang agar sesegera mungkin dapat menyelesaikan novel trilogy ini.

Penulis cerita “the VOICE” sebenarnya didorong oleh rencana pembuatan film dokumentasi pertunjukannya. Marissa Haque yang tengah belajar pembuatan film di Athens, berhasrat membuat film dokumentasi setelah menyaksikan pertunjukan “the VOICE”. Ia ingin film tersebut dapat ditampilkan di festival film independen di AS, selain untuk dijual ke berbagai kalangan, terutama kalangan kampus sebagai karya contoh Teater Nasional Kontemporer Indonesia. Niat dan tujuan yang mengembirakan ini tentulah saya ambut dengan bersemangat. Karena itu saya memutuskan untuk menyusun naskahnya agar mempermudah pengambilan gambarnya nanti. Tapi rupanya saat menulis, kreativitas saya terus berjalan. Saya menghasilkan sebuah naskah yang “agak beda” dari yang sudah ditampilkan sebelumnya.

Pertunjukan “the VOICE” ini akan segera saya jajakan ke bebepa tempat. Untuk tampil di panggung tahun depan… dari Indonesia untuk Amerika Serikat.

Bloomington, IN, 20 Februari 2002.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *