Sepenggal pengalaman perempuan berhadapan dengan kebijakan diskriminatif dan tindak intoleransi atas nama agama dan moralitas
Aturan busana
“Saya hanya pakai kalau di kantor saja, karena risih saja… Ketika saya tidak pakai jilbab, saya sering dijauhi …Misalnya, mereka sering bisik-bisik di belakang, mereka bergaul dengan saya tapi seperti jaga jarak, tidak mau jalan dengan saya. Ada-ada saja alasannya, atau ada yang langsung beralasan karena saya tidak pakai jilbab. Padahal moral seseorang itu tidak diukur dengan jilbab.” (Perempuan, pegawai negeri sipil, Dompu)
Berbusana sejatinya adalah bagian tidak terpisahkan dari ekspresi jati diri seseorang sesuai dengan hati nuraninya. Dalam berbusana, seseorang dapat menentukan apakah ia mau mengekspresikan atau tidak latar belakang budaya, agama ataupun keyakinannya.
Namun, setidaknya ada 60 kebijakan daerah yang mewajibkan cara busana tertentu untuk mendukung pencitraan daerahnya sesuai dengan agama mayoritas di tempat itu. Aturan itu sebagian besar ditujukan kepada pegawai dan pelajar. Namun, dalam kenyataannya juga menjadi aturan bagi masyarakat luas.
Aturan busana sebagian besar ditujukan baik bagi perempuan dan laki-laki. Namun, dalam implementasinya, perempuan yang menjadi target dimata-matai, dirazia, dan dihukum. Ini disampaikan bukan untuk menuntut agar laki-laki juga dimata-matai, dirazia dan dihukum. Sebab, apa sih enaknya tinggal di sebuah kota dimana setiap kali hendak keluar rumah kamu was-was bahwa caramu berbusana dapat dianggap melanggar hukum? Atau, kamu harus kucing-kucingan dengan aparat penegak hukum yang melakukan razia busana sebab kamu tak ingin berbusana sebagaimana yang diwajibkan? Atau, kamu harus berbusana yang katanya sesuai dengan tuntutan ajaran agamamu, meskipun bukan itu yang kamu yakini, demi mempertahankan pekerjaan?
Aturan busana memang ditujukan untuk orang dari agama tertentu. Bagi penganut agama tersebut pun ada rasa dipaksakan, sebab tidak semua sependapat bahwa itu satu-satunya cara berbusana yang tepat dalam praktik beragamanya. Meski aturan busana ditujukan hanya bagi orang dengan agama yang dimaksud, namun yang merasakan akibatnya juga dari kalangan agama berbeda. Mereka dituntut untuk “menyesuaikan diri”, dan jika tidak ikut dalam menggunakannya maka ia akan merasa diasingkan dari yang lain.
Kriminalisasi perempuan
“Pas kejadian ini, dia [ibu] tuh merasa takut, …mau ke warung aja takut, mau keluar saja takut… maunya di rumah aja… kadang-kadang [diminta] anterin ibu yuk keluar… saya temenin… shock pokoknya shock beratlah trauma banget.” (Robby, putra alm. Lilis, Tangerang)
Pernyataan di atas adalah kesaksian dari Robby, putra alm Lilis Lilis Lisdawati, seorang perempuan korban salah tangkap. Lilis adalah seorang karyawan sebuah restoran dan suaminya, Kustoyo, adalah seorang guru sekolah dasar. Pada malam hari tanggal 27 Februari 2006, Lilis ditangkap oleh petugas ia saat sedang menunggu kendaraan umum. Ia dicurigai sebagai “bukan perempuan baik-baik” dan karenanya ia dituduh telah melanggar Peraturan Daerah Tangerang No. 8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Saat itu Lilis sedang hamil 2 bulan.
Saat ini ada 96 kebijakan atas nama agama dan moralitas yang mengkriminalkan perempuan lewat kebijakan daerah tentang pemberantasan pelacuran/prostitusi dan/atau pornografi. Dalam aturan serupa ini, perempuan potensial dikriminalkan karena dari cara ia berpakaian, keberadaannya di ruang dan jam tertentu, serta ada tidaknya pasangan muhrim ketika berpergian di malam hari. Misalnya, Perda Tangerang Pasal 4 Ayat 1 menyebutkan bahwa:
“Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah.”
Dalm aturan serupa ini, petugas bisa menangkap seseorang terutama perempuan, semata-mata atas dasar kecurigaan bahwa orang tersebut adalah pekerja seks. Meski telah menyampaikan bahwa ia bukan pekerja seks, Lilis tetap ditahan dan dihukum. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman 8 hari penjara dan denda Rp 300ribu. Lilis berada dalam tahanan selama 4 hari sebelum akhirnya dibebaskan setelah suaminya membayar denda tersebut.
Lilis menggugat walikota Tangerang karena menjadi korban salah tangkap. Gugatan ini ditolak Pengadilan Negeri Tangerang. Gugatan Lilis semakin tidak mendapat perhatian setelah Mahkamah Agung menolak permohonan uji materi oleh masyarakat Tangerang atas Perda tersebut. Alasannya bahwa Perda itu telah dirumuskan sesuai dengan proses yang disyaratkan. Pemerintah Kota Tangerang juga tidak melakukan upaya untuk merehabilitasi nama baik Lilis.
Lilis mengalami keguguran pasca peristiwa ini. Ia juga dikeluarkan dari pekerjaannya. Suaminya keluar dari pekerjaannya karena tertekan dengan tudingan bahwa ia beristrikan pekerja seks. Tekanan juga datang dari masyarakat sekeliling. Di tengah keterpurukan ini, Lilis dan keluarganya mulai terlilit hutang dan hidup berpindah-pindah. Lilis akhirnya meninggal dunia di penghujung tahun 2008 dalam kondisi depresi.
Kasus serupa, salah tangkap berbuntut kematian, kembali terjadi pada tahun 2012. Kali ini, seorang remaja putri berusia 16 tahun di Aceh diwartakan bunuh diri karena tak sanggup menahan beban psikologis akibat dituduh sebagai pekerja seks. Ia ditangkap oleh polisi syariah di Aceh (Wilayatul Hisbah- WH) saat menonton pertunjukkan musik di malam hari. Meski tidak ada aturan yang secara spesifik mengatur soal prostitusi, aturan-aturan moralitas seperti busana dan larangan khalwat (bersungi-sunyian/mesum) kerap mendorong aparat dan masyarakat melakukan razia, memata-matai, dan menangkap perempuan (dan pasangan) yang dianggap melanggar syariat Islam. Sebelumnya, di tengah tahun 2011, seorang perempuan ditahan atas tuduhan khalwatkarena sedang berada berdua-duaan dengan lawan jenis untuk melakukan pemotretan. Atas nama Syariat Islam pula, pada akhir tahun 2011 pemerintah kota Banda Aceh menahan puluhan punk. Pada tengah tahun 2012, pemerintah kota Banda Aceh juga melarang pementasan Barongsai dan Lion, serta orasi dari narasumber non muslim, dalam perayaan hari damai Aceh.
Penyingkiran kelompok minoritas agama
“Saya tidak pernah berani untuk mengatakan saya orang ahmadiyah saya tidak pernah berani mengatakan itu… setelah tamat sma keinginan untuk kuliah itu sangat tinggi untuk saya, saya kepingin sekali kuliah melanjutkan sekolah saya, saya kadang berpikir kalau seandainya kejadian Lombok timur itu tidak terjadi mungkin untuk cuma sekedar biaya kuliah orangtua saya bisa menanggung semuanya… karena kuliah tidak bisa segala macam tidak bisa, mungkin dengan menikah orangtua saya bebannya bisa berkurang karena ada seorang laki2 yang sudah ada kewajibanya menjaga saya.”(Nurhidayati, 19 tahun, Jemaat Ahmadiyah, Lombok Timur)
Dari 282 kebijakan diskriminatif, ada 31 kebijakan diskriminatif memberangus hak warga negara atas kemerdekaan beragama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, paling banyak terhadap Ahmadiyah. Adanya hak bagi negara untuk menyatakan mana aliran sesat dan mana yang legitimate menempatkan negara sebagai aktor aktif dalam mengucilkan dan menghukum kelompok minoritas agama
Dalam situasi ini, kerap sekali dampaknya pada perempuan tak cukup diperhatikan. Padahal, di dalam serangan, perempuan menjadi target kekerasan. Pada serangan terhadap Ahmadiyah di Mansilor, 2005, Komnas Perempuan mencatat adanya ancaman perkosaan. Pasca serangan, perempuanmengalami pelecehan seksual dan kesulitan untuk menikah karena dipaksa untuk keluar dari Ahmadiyah bila hendak dicatatkan perkawinannya. Peristiwa Cikeusik, 2011, mengakibatkan perempuan kehilangan pasangannya dan menjadi orang tua tunggal- tiga orang jemaah Ahmadiyah meninggal dunia akibat serangan di Cikeusik, 2011. Cukup banyak perempuan muda yang kehilangan mimpinya, misalnya untuk bisa sekolah. Sampai hari ini masih ada lebih 30 keluarga Ahmadiyah yang tinggal di pengungsian dengan fasilitas yang begitu minim dan kekuatir sewaktu-waktu mereka dapat diserang.
Sikap intoleran terus menguat, baik dari segi jumlah maupun sebaran wilayah. Dalam kasus penyegelan gereja yang jelas-jelas berdasarkan hukum memiliki hak untuk berdiri, misalnya GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, perempuan terus menyampaikan betapa mereka was-was setiap kali akhir pekan. Kemungkinan terjadinya kekerasan menyebabkan mereka kuatir. Sejumlah di antaranya bahkan mempersiapkan anak-anak mereka untuk kemungkinan terburuk, yaitu terbunuh di dalam insiden kekerasan saat melakukan ibadah. Perempuan juga menyampaikan kekuatirannya tentang rasa benci dan dendam yang tumbuh di dalam hati anak-anak mereka; sebuah rasa yang menyebabkan mereka menjadi penuh kekerasan dan tak lagi menghormati keberagaman di dalam masyarakatnya.
“Saya bilang ke anak-anak agar jangan ikut ke gereja. Biar mamak dan bapak saja. Jika ada apa-apa terjadi dengan kami (jika kekerasan terjadi saat mereka ibadah), ia sudah tahu harus ke mana. Namun kadang saya kuatir, dia akan tumbuh dengan dendam. Sebab setiap minggu ia lihat, betapa sulitnya kami… dan orang-orang itu sambil menyebut nama Tuhan melakukan kekerasan kepada saudara-saudaranya yang beribadah.” (Perempuan, jemaat HKBP Filadelfia, Bekasi)
Andy Yentriyany
Leave a Reply