B. Dharmawan Handonowarih
Kehadiran Taman Surapati (Burgemeester Bisschopplein) tidak dapat dilepaskan dari Menteng, sebuah kota taman pertama di Indonesia, yang dibangun oleh P.A.J. Moojen (1879-1955). Dalam buku ‘Menteng’ (Adolf Heuken dan Grace Pamungkas, 2001), disebutkan Taman Suropati merupakan pusat Menteng. Ini adalah tempat pertemuan poros timur-barat dan utara-selatan. Seperti kita ketahui, poros utama Menteng adalah jalan Teuku Umar.
Sebagai kota taman, selain Taman Suropati, Menteng juga mempunyai 23 taman yang lain dalam ukuran besar dan kecil. Terdapat hal-hal menarik yang terjadi di sekitar Taman Suropati. Misalnya, sedikitnya terdapat 4 gedung kuno, yang sampai sekarang masih bertahan di sekitar taman ini. Yang pertama adalah Gedung Bappenas. Gedung ini ditempati Bappenas sejak 1967. Menurut buku ‘Menteng” (2001), gedung ini dirancang oleh Algemeen Ingenieursen Architecten Bureau (AIA) sekitar tahun 1925. Sebelumnya, gedung ini merupakan tempat pertemuan vrijmetselaar, organisasi internasional yang merahasiakan sebagian kegiatannya. Salah satu anggotanya adalah Bisschop. Ia menjadi walikota Batavia (1916-1920). Namanya kemudian dijadikan nama taman ini.
Gedung tua yang lain adalah kediaman resmi Duta Besar Amerika Serikat, yang terletak di sudut jalan antara jalan Imam Bonjol dan jalan Taman Suropati. Pada mulanya, rumah bertingkat dua ini merupakan rumah direksi perusahaan Inggris, Wellenstein Krausse and Co, pengekspor teh Jawa Barat. Gedung ini dirancang oleh arsitek J.F.L. Blankenberg (1926-1939). Arsitek yang sama juga merancang rumah di jalan Taman Suropati No. 3 – yang masih terawat – yang kini dihuni oleh pejabat Kedutaan Besar AS. Satu gedung lainnya adalah kediaman resmi Gubernur Jakarta, di pojok jalan Taman Suropati dan jalan Besuki. Rumah Duta Besar India, terletak di samping kediaman Gubernur DKI, yang awalnya dibangun untuk konsul Italia.
Sampai tahun 1980-an, Taman Suropati menampilkan wajah taman yang “tertutup”. Seluruh taman berpagar. Dan di balik pagar terdapat tanaman yang padat rimbun. Terdapat pintu masuk dari jalan Teuku Umar dan jalan Diponegoro. Kursi-kursi, seluruhnya terbuat dari semen dengan sandaran. Pada pagi hingga sore, di samping pagar pembatas, terdapat penjual lukisan yang menderetkan lukisannya pada pagar pembatas taman. Umumnya menampilkan lukisan pemandangan, flora dan fauna, dalam pigura-pigura besar. Dari sini dikenal istilah “seni lukis Taman Suropati”. Pada pagi hari, warga Menteng jogging keliling taman ini.
Sejak tahun 1980-an, lahan di Taman Suropati diisi pula dengan sejumlah patung ASEAN. Pada tahun 1990-an, taman ini menjadi tempat markas tentara dalam tenda-tenda, yang menjaga kawasan Cendana, karena demonstrasi mahasiswa yang terus menerus terjadi, menentang Soeharto. Pada tahun 2005, Gubernur Sutiyoso memindahkan patung RA Kartini, dan menggantinya dengan patung Pangeran Diponegoro. Patung Kartini merupakan pemberian pemerintah Jepang pada tahun 1963. Sutiyoso pada waktu itu berkeinginan setiap jalan protokol di Jakarta yang menggunakan nama pahlawan, dihiasi patung yang sesuai dengan nama jalan tersebut. Patung Diponegoro dibuat oleh Munir Pamuntjak, berdasarkan lukisan Hendra Gunawan. Patung ini merupakan hibah dari perusahaan Grup Ciputra dengan nilai Rp10milyar. Akan halnya patung Kartini, kemudian dipindahkan ke Monas sektor timur. Tahun 2013, sejalan dengan perbaikan taman di jalan-jalan protokol, Dinas Pertamanan DKI menambah tanaman-tanaman semak, seperti keladi, palem kuning, heleconia, di bawah pohon-pohon besar yang sebelumnya ada. Sementara itu, semakin banyak warga kota yang datang dengan kendaraan bermotor maupun kendaraan umum, ke taman ini, melakukan berbagai aktivitas.
+++
Data diambil dari buku ‘Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia’ (Adolf Heuken dan Grace Pamungkas), Cipta Loka Caraka, 2001
Leave a Reply