Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

takut yang merajalela

Written in

by

2001_Februari_Edisi 121_bahas:
takut yang merajalela
Ade Tanesia

Jika ada alat pengukur rasa takut, mungkin saat ini presentase ketakutan yang dialami masyarakat kita meningkat tajam akibat berbagai ragam teror di ruang publik. Diliputi rasa takut yang memang sungguh menakutkan, karena kita tak mampu berbuat apapun. Bayangkan, sekarang banyak orang yang takut ke mal, takut melakukan perjalanan kereta api, takut ke rumah ibadah, takut naik taksi. Selain kegiatan bisa terhambat, kerja otak pun bisa mandul alias tidak kreatif. Kalau yang terakhir ini sudah menjadi budaya masyarakat kita. Sejak kecil kita diajar untuk takut berekspresi, takut bercita-cita yang lain dari yang sudah ditawarkan orang tua. Apalagi buat kaum perempuan, banyak ditanamkan rasa takut di segala bidang kehidupannya. Sekarang mana yang lebih menyeramkan, takut mati diancam bom atau takut otaknya melempem? Keduanya sama-sama mematikan. Tak ada jalan lain, rasa takut yang berdampak negatif harus dikikis.

Walaupun tak ada kurikulum resmi, namun dari hari ke hari, seorang anak kecil diajari untuk takut. Entah itu guru, orang tua, atau kakak, mempunyai cara menakut-nakuti yang beragam. Bisa berupa ancaman, dipermalukan, menciptakan ilusi makhluk halus, sampai pada hukuman badan. Menciptakan rasa takut dengan cara membuat rasa malu, dapat mengurangi kepercayaan diri anak dan menjadikannya sebagai peniru serta tidak mau berbuat hal yang berbeda atau baru.

Tumbuhnya rasa takut
hukuman fisik juga sebuah metode yang sangat memprihatinkan perkembangan anak di masa depannya. Sabetan sapu lidi atau ikat pinggang yang mendarat di tubuh anak-anak tidak begitu saja terhapus dalam benak, melainkan sungguh membekas dan membentuk kepribadian anak. Neil A.S. Summerheil, penulis asal Amerika yang menulis “A Radical Aproach to Children Rearing”, mengatakan bahwa hukuman fisik dapat membuat anak frustasi. Bahkan karena anak merasa bahwa menerima hukuman badan tidak terhindarkan, maka mereka menjadi resisten (kebal) terhadap hukuman aktifitas dengan baik. Sebaliknya, anak akan cenderung membiarkan dirinya dihukum daripada melakukannya.

Riset ahli lain, Leonard D. Eron, menunjukkan hukuman fisik dikhawatirkan malah mendorong anak untuk bertingkah laku agresif. Lebih parah lagi, orang tua sering kali malah bereaksi terhadap agresivitas ini dengan menggunakan cara yang salah, misalnya dengan meningkatkan frekuensi hukuman badan. Tidak heran kalau anak kemudian malah meniru tingkah laku agresif orang tua atau orang dewasa yang menghukumnya. Disini secara tidak sadar orang tua telah mengajarkan anak untuk berperilaku agresif dan mereproduksi kekerasan.

Di samping itu ada efek psikologis jangka panjang seperti merasa dendam yang mungkin sampai bertahun-tahun. Untuk mengantisipasi efek negatif hukuman badan terhadap anak, sudah saatnya kita berpikir dua kali untuk menerapkan metode ini. Anak tidak perlu diajar untuk takut, tapi mengerti konsekuensi dari setiap tindakannya.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *