1997_akhir November_Edisi 081_bahas:
Taksi
“Dunia taksi adalah dunianya kaum pria” Begitu lama citra ini menempel dalam benak masyarakat awam. Dan ketika kaum wanita mulai ambil bagian dalam profesi ini bermunculan pula reaksi masyarakat. Ada yang memandangnya sebagai bentuk emansipasi wanita, tidak jarang pula menajdi objek pelecehan para penumpang pria atau penodongan. Umumnya, para sopir taksi wanita berkilah soal alasan ekonomi. Namun bagi beberapa wanita, profesi ini sangat menantang dan siapa pun berhak menikmatinya.
Diantara 11 supir yang pernah bekerja di perusahaan taksi JAS, kini tinggal ibu Tince yang masih bertahan. Bagi Ibu Tince, usia 51 tahun nampaknya bukan halangan untuk tetap menekuni pofesinya sebagai supir taksi. Tujuh tahun silam ia mulai memasuki dunia pertaksian yang lazimnya digeluti oleh kaum pria.
Waktu itu bulan Maret 1990. Ibu Tince sedang membaca salah satu Koran terbitannya Yogyakarta dan tiba-tiba matanya berhenti pada sebuah iklan lowongan pekerjaan…Perusahaan CITRA JAS Taxi Yogyakarta membutuhkan pengemudi taksi wanita, demikian tertulis di Koran. Langsung saja niat untuk melamar terlintas di benaknya, lalu ia mngikuti berbagai ujian hingga akhirnya resmi menjadi supir JAS Taxi. Tidak seperti supir taksi wanita pada umunya-keinginannya menjadi supir taksi disebabkan hobinya mengemudikan mobil. Kemahirannya menyetir mobil sudah dimuali sejak tahun 1961, kala itu Ibu Tince kerap meminjam jeep Willis milik ayahnya. Bahkan semasa tinggal di Marauke, Irian, ia satu-satunya wanita yang sering mengikuti motor cross. Sungguh menjadi supir taksi merupakan pilihan yang tepat karena dua kebutuhan bisa terpenuhi yaitu menyalurkan hobi sekaligus memperoleh penghasilan sampingan untuk keluarga.
“Saya sangat menyenangi profesi ini dan sama sekali tidak punya rasa malu,” ungkap Ibu Tince di kediamannya. Tidak aneh jika suaminya terheran-heran meihat dirinya bekerja tak kenal lelah, bahkan sampai membawa tamu ke luar kota. Kepiawainnya mengemudikan taksi tidak hanya terbatas pada kegesitannya menyetir mobil tetapi juga luasnya pengetahuan Ibu Tince tentang jalan-jalan di Yogyakarta. Ternyata sebelum menjadi supir taksi, Ibu Tince pernah bekerja di PT Tiga Raksa sebagai book advisor yang tugasnya harus mendatangi 80 pelanggannya di seluruh Yogyakarta. Sehingga tidak heran jika ia sangat hafal jalan-jalan kota ini sebuah pengalaman berharga yang sangat membantu profesinya sebagai supir taksi. Sebagai supir taksi wanita, Ibu Tince pun dituntut luwes menghadapi bermacam-macam karakter penumpang. Tidak jarang ia bertemu dengan penumpang pria yang usil, misalnya duduk di depan samping supir dan ikut ikutan pegang perseneling.
“Harus pintar-pintar menghadapi penumpang seperti ini, kita tidak boleh marah, tapi bagaimana caranya melawan dengan halus. Saya biasanya membawa ke suasana bercanda, saya bilang, “Wah, Pak, yang seharusnya pegang perseneling kan supirnya, bukan Bapak!” Nah, dia pun melepaskan persenelingnya pelan-pelan.” jelas Ibu Tince. Lain lagi dengan penumpang yang sedang mabuk, langsung saja ia buka pembicaraan, misalnya bercerita bahwa ia pun dulu kenal minuman. Buntutnya Ibu Tince diajak ikut minum, “Ya, saya bilang saja, ‘Nanti kalau saya ikut minum, siapa yang bawa mobil?’ Mereka jadi ketawa, dan nggak lama samapi ke tujuan,” lanjutnya. Pengalamannya lain yang menarik baginya adalah dicemburui ibu rumah tangga yang suaminya sering naik taksinya. Menghadapi ini Ibu Tince hanya bisa senyum-senyum, “Yang penting saya tidak mengganggu suami orang,” katanya.
Ada situasi tertentu yang membuatnya sulit menentukan sikap, yaitu ketika ia harus membawa wanita panggilan. Menurutnya, mereka senang memanggil taksinya, karena merasa aman dan warga kampung pun tidak terlalu curiga jika mereka keluar malam dengan supir taksi wanita. Bahkan Ibu Tince mempunyai pelanggan tetap yang hubungannya sudah seperti teman, wanita ini sering pergi ke hotel-hotel melakukan “bisnisnya”. Tapi kakaknya tidak tahu kegiatan adiknya. Padahal setiap keluar malam, kakakny sudah percaya menitipkan adiknya kepada Ibu Tince. Situasi inilah yang membingungkan dirinya; apalagi kalau ia ingat anak-anak perempuannya di rumah. Dilema ini diatasi dengan tugas utamanya, yaitu menjemput dan mengantar tamu, bukan ikut urusan pribadi pelanggan. Memang melalui taksinya, Ibu Tince telah menyaksikan berbagai macam potret kehidupan, dan kemampuan mengahadapi penumpang merupakan salah satu kunci untuk menghindarkan dirinya dari kemungkinan serangan perampok. “Untuk saya menjadi supir taksi lebih banyak sukanya dari pada dukanya,” tegas Ibu Tince. Bahkan anggapan masyarakat terhadap dirinya cukup positif, misalnya ada warga yang lebih senang dikemudikan supir taksi wanita.
Lebih dari itu, melaui jerih payah menjadi supir taksi, ia bisa membiyai sekolah anak-anaknya hingga dijenjang S-2. Juga menutupi biaya pernikahan anak perempuannya, dan memperoleh rekomendasi dari perusahaan JAS Taxi untuk kredit perumahan. Padahal penghasilannya tidak terlalu besar, dalam sutu hari ia bisa membawa Rp. 5.000,- samapi Rp. 15.000,-. Musim libur memang masa panen Ibu Tince, namun di hari biasa semakin sulit mendapatkan penumpang, karena begitu banyak pilihan taksi. Apalagi ia sudah cukup lama di JAS dan memperoleh nomor besar (125), hingga setiap harinya ia harus menyerahkan setoran sebesar Rp. 43.300,- plus membayar sendiri bensin. Sementara untuk taksi nomor kecil (50 ke bawah) setorannya sebesar 42.300,- rupiah. Menurut Ibu Tince, kebanyakan teman wanita seprofesi hanya berniat mencari uang, sehingga mereka tidak tahan menghadapi berbagai tantangan di dunia pertaksian. Lain dengan dirinya yang melakukannya karena hobi, sehingga sepahit apa pun ditelannya dan diolahnya menjadi pengalaman indah. Sejak pertengahan tahun, jam terbang mengemudikan taksi ia kurangi karena ia menderita sakit tulang belakangnya dan sempat menjalani fisiotrapi. Lucunya, setiap duduk di belakang setir, rasa sakitnya tidak terasa sama sekali, tetapi dokter tetap mengharuskan dirinya istirahat total. Selain sakit, Ibu Tince harus menjaga dua cucunya dibawa serta dan didudukkan dikursi depan. “Anak-anak saya menganjurkan supaya saya berhenti saja. Tapi saya tidak mau, nanti kalau sudah sembuh total saya mulai nyupir lagi,” kata bu Tince ketika mengakhiri ceritanya.
Sumber:
Wawancara dengan Ibu Tince, perumahan Condong Catur Jl. Cempaka No. 20 Yogyakarta
Leave a Reply