Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

2001_Mei_Edisi 124_Seni:
Sulitnya Menjadi Koreografer
Ade Tanesia


Rini menari dengan sungguh-sungguh. Gerakannya yang begitu lentur, telah terlatih sejak kecil. Selepas sekolah menengahpun, ia memasuki institut tari. Namun apakah dirinya bercita-cita menjadi seorang koreografer tari? “Saya belum tahu, memang bisa mengarah ke situ, tapi tidak mudah”, jawabnya dengan mata menerawang.
Tidak banyak koreografer yang muncul di Indonesia. Kita bisa menghitungnya dengan mudah, sebut saja nama Sardono W. Kusumo, Baging Kussudiarjo, Gusmiati Suid,Boy G. Sakti, Deddy Luthan, Tom Ibnur, Bimo Wiwohatmo, Miroto… mungkin tidak mencapai ratusan orang. Rini, seorang penari yang sangat profesional, sekali pun masih berpikir bahwa profesi koreografer adalah sebuh proses panjang yang masih samar.

Menjadi koreografer memang mengharuskan banyak syarat cukup berat untuk dipenuhi. Hal yang paling mendasar saja, yaitu memproduksi pertunjukan tari, harus mempunyai dana yang cukup besar. Kegelisahan seniman saja tidak cukup, tapi dibutuhkan kepiawaian mencari sponsor yang sangat sulit di Indonesia. Itu sebabnya, seseorang tidak berani memproduksi pertunjukan tunggal, karena resiko ruginya sangat tinggi. Kalau mau sangat profesional, seorang koreogrfer harus membayar penari, kru musik, kru panggung, kru lampu, gedung, dan segala hal keperluan latihan.
“Kita tidak seperti dunia teater, di mana satu kelompok bisa melakukan proses pengolohan bersama. Daam dunia tari, seseorang menari biasanya akan bertanya…ini untuk apa?, Jadi kebanyakan mentalnya cari job-job,” ujar koreografer Bimo Wiwohatmo.

Dalam pengalaman Bimo sendiri, ia selalu terus terang mengenai hal keuangan dengan para penari yang diajak ikut dalam pertunjukan. “Kalau dijelaskan dari awal, mereka mengerti dan tetap disiplin dalam latihan. Cuma saya tidak bisa menahan mereka, jika dalam proses latihan tiba-tiba ada job lain yang lebih menjanjikan. Jadi harus ditunggu saja dulu,” lanjut pria yang mempelopori festival tari INTERACTION di Yogyakarta ini.
Mental “cari uang” dalam tari di Indonesia ini tidak lepas dari perjalanannya sendriri yng berawal sebagai kesenian kiangenan para Raja. Kini tarian yang tumbuh di kalangan Kerajaan itu telah berubah menjadi aset pariwisata. Sehingga yang dominan tercipta adalah situasi mencari uang dengan menari. Setelah ada institut tari, seharusnya tari sebagai ekspresi seni bisa lebih berkembang, namun rupanya mental tersebut belum bisa hilang. Misalnya di ISI Yogyakarta saja, kebanyakan mahasiswa tari tidak selalu bercita-cita muluk untuk menggeluti dunia tari. Masuk sekolah hanya sebuah formalitas untuk memperoleh gelar sarjana, lulus dan mencari uang. Jika ditanya apa cita-citanya, maka banyak sekali yang belum berani menjawab,karena orientasinya bukan pada profesi melainkan sekedar mencari nafkah.

Di samping faktor modal dan proses yang kurang kondusif, menjadi koreografer juga harus memiliki kebiasaan manajerial dan kepemimpinan. Seperti yang dikatakan oleh penari Kuncung Budiawan, bahwa kesulitan utama dari koreografer adalah mengembangkan penarinya. Seorang koreografer yang baik seharusnya tidak hanya menjadikan penari seorang robot, tetapi juga dapat mengolah potensi gerak penari atau memanusiakan penari . Hal ini tidak akan diperoleh di sekolah, tetapi berdasarkan jam terbang seseorang.
Jika begitu banyak hambatan untuk menjadi koreografer, lalu sekuat apakah orang-orang yang kemudian berhasil dalam bidang koreografi? Tentunya mereka termasuk orang yang memounyai cita-cita, komitmen, pengorbanan, dan kecintaan dalam dunia tari.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *