1999_Desember_Edisi 107_hidup:
suku kubu, meratapi hutan yang kian sempit
WARSI
Bagi suku Kubu yang merupakan masyarakat pengembara di kawasan Sumatera Selatan dan Jambi hutan adalah segala-galanya. Hutan menjadi tempat tinggal mereka sekaligus sumber pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Merayu adalah cara mereka mencari apas aja di hutan untuk kebutuhan hidup. Mislanya berburu babi hutan, menangkap ikan labi-labi bahkan binatang liar lainnya. Aktivitas lain adalah mencair hasil hutan seperti damar, rotan, buah-buahan getah jelutung dan madu. Hasil hutan ini kelak mereka barter dengan benda korek api, rokok, kopi, garam, gula, yang dimiliki oleh “orang luar”. Namun tidak berarti bahwa orang Kubu mengeksploitasi hutan secara berlebihan. Dari beberapa penelitian mengungkapkan bahwa apa yang mereka lakukan hanya sebatas untuk mempertahankan hidup , bukan mencari keuntungan.
Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah mereka, namun di propinsi Jambi tercatat 763 KK atau meliputi 3.153 jiwa suku Kubu yang tersebar di 15 lokasi di tiga kabupaten yakni, Batanghari, Sorolangun Bangko dan Bongo Tebo. Sedangkan di Sumatera Selatan terdaat di Banyuglicir, Musi Banyuasin dan Sungai Rebah, Musi Rawas. Adanya ijin pengelolaan konversi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang kian meluas, pembukaan areal perkebunan, mengaibatkan semakin menyempitnya lahan sumber nafkah mereka.
Di Sungai Rebah, orang Kubu atau sering di sebut Suku Anak Dalam, kini banyak dimanfaatkan oleh para pendatang. Keluguan mereka seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu dengan berbagai dalih. Tak jarang, jerih payah orang Kubu dari hutan ditukar dengan barang yang tak seimbang. Belum lagi eksploitasi tenaga mereka yang dikuras untuk berladang dengan upah yang sangat rendah.
Hal semacam ini tidak akan pernah terjadi jika hutan sebagai tumpuan hidup mereka terjaga kelestariannya. Akibat tidak adanya lagi sumber-sumber untuk menunjang hidup mereka di hutan, pada akhirnya orang-orang Kubu harus meratapi nasib dengan mengandalkan pendatang atau orang yang dapat memanfatkan mereka. Padahal, sumber-sumber penghasilan mereka selama ini merupakan sumber non-hutan, seperti madu, damar, getah jelutung dan lain-lain. Hutan yang menyempit, tentu saja menghilangkan sumber pendapatan mereka.
“Diakui, bahwa kini sulit mengandalkan hidup dari merayau. Sumber-sumber makanan yang dahulu mudah didapat di hutan kini menjadi barang langka. Orang kubu yang sangat arif pada hutan pun akhirnya harus menerima tudingan bahwa merekalah perusak hutan. Para cukong, touken dan aparat yang memanfaatkan mereka, telah meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Tragis…
Leave a Reply