2000_April_Edisi 111_seni:
Studio Seni
Ade Tanesia/Rohman Yuliawan
Studio bagi seorang Picasso adalah ruang pribadi yang tidak sembarang orang boleh memasukinya. Seluruh benda di studionya dibiarkan berceceran, sengaja tidak dibuang, karena menurutnya bisa menjadi sumber inspirasi bagi karya seninya. Berbeda dengan Picasso, banyak seniman Indonesia yang tidak hanya menjadikan studionya sebagai ruang kerja pribadi. Entah disebabkan masih kuatnya budaya komunal di Indonesia, mereka juga ingin memberikan studionya pada masyarakat luas. Di situlah karya-karya seninya lahir, berinteraksi dengan banyak orang dan diapresiasi. Sehingga dirinya menjadi lebih dari sekedar “ada.”
Studio Hanafi
Di atas tanah seluas 900 meter di bilangan Parung Bingung, studio pelukis Hanafi tegak berdiri dengan lengkungan atap studionya merupakan potongan dari sebuah bulatan penuh. Simbol ini mencerminkan pemikirannya bahwa dalam hidup kita tidak perlu rakus untuk memperoleh semua yang diinginkan. Sehingga apapun yang kita dapat, walaupun itu hanya separuhnya, harus dimaksimalkan.
Makna filosofi bangunan ini tentunya tidak dimengerti oleh masyarkat di sekitar studionya. Bagi mereka, bangunan studio ini dianggap aneh, sehingga Hanafi membutuhkan waktu 2 tahun untuk mensosialisasikan tujuh dari studionya. “Wajar saja, awalnya mereka curiga, bangunan ini untuk simpan apa? Tapi saya mendekati mereka pelan-pelan dan juga memberikan tempat ini untuk pertemuan kampung, pengajian, sehingga nantinya mereka juga merasa memiliki,” ungkpa pelukis asal Purworejo ini.
Bagi Hanfi, sudah sejak lama ia memimpikan sebuah studio besar. Tidak heran jika ia rela menghabiskan biaya 200 juta rupiah untuk membangunnya. “Studio ini bukan untuk saya sendiri, tapi juga ruang apresiasi dan belajar bagi seniman siapapun, baik itu dari bidang seni rupa, pertunjukan, musik, atau apapun. Bahkan nanti ada kamar untuk menampung seniman yang mau menginap dan berproses di sini, seperti artis residency ‘lah,’ lanjutnya sambil tertawa. Rencana ini tentunya merupakan berita baik bagi kalangan seniman, setelah banyak sanggar di Jakarta yang berguguran. Sebagai ruang berkesenian, studio Hanafi sudah pernah memulainya, yaitu dengan adanya kolaborasi antara dirinya dan tarian di atas sungai oleh Maxine Happner dari Canada. Dan pada tahun ini studionya akan kedatangan seniman dari Jerman unutk membuat workshop dengan seniman Indonesia. “Silahkan….kalau ada seniman yang mau pakai studio ini atau bikin program, saya senang sekali. Nggak ada prosedur macam-macam, apalagi pakai bayar-bayar,” Ujarnya menutup pembicaraan.
Studio Kua Etnika
Kampung Kersan yang terletak di daerah Bantul Yogyakarta, akhir-akhir ini agak berbeda. Sebuah studio untuk seni pertunjukan dan musik yang digagas oleh pemusik Djaduk Ferianto dan teaterawan Butet Kertaradjasa berdiri di tengah kampung, dikenal dengan sebutan Studio Kua Etnika.
Menurut Butet, pemikiran awal pendirian studio Kua Etnika tak lepas dari kebutuhan akan ruang latihan dan memelihara proses berkreasi. Studio ini bukan hanya menjadi tempat latihan Kua Etnika, tapi juga komunitas lain yang seatap seperti Gandrik, Orkes Sintern Bemen serta Butet Kertaradjasa dikala menggarap naskah-naskah monolognya.
Berawal di tahun 1998. Saat itu Djaduk menemukan rumah tua yang kondisinya sangat mempriha
tinkan. Banyak bagian dari setiap atap bangunan dan dindingnya yang runtuh. Bangunan yang konon telah berusia ratusan tahun dan dimiliki oleh sebuah keluarga kaya raya di masa lalu ini ditinggali oleh salah satu pewarisnya, yaitu Mbah Karto Sepi. Kemudian Djaduk dan komunitas Kua Etnika memutuskan untuk mengontrak tempat tersebut. Selama 15 tahun. Bangunan tua itu dikontrak hanya dengan nilai 6 juta rupiah. Setelah terjadi kesepakatan, langsung saja dilaksanakan pembenahan-pembenahan dan pemugaran, walaupun ada beberapa bagian gedung yang tetap dipertahankan sesuai aslinya.
Pada bagian halaman terdapat pondasi lantai yang menurut penuturan penduduk merupakan bekas pendapa yang konon kerap dipakai untuk pementasan-pementasan kesenian, terutama ketoprak di tahun 1950-an. Oleh pihak Kua Etnika, bagian tersebut kembali didirikan suatu pendapa dengan sentuhan arsitektur modern garapan Ir. Eko Prawoto. Tiang-tiang pendapa yang jamaknya berada di tengah, kini ditempatkan di pinggir dan terbuat dari beton cor. Konstruksi atap yang cukup unik dengan kerangka dari bamboo dan atap dari jalinan rumbia memberi sentuhan tradisional pada bangunan yang nantinya akan dijadikan ajang latihan dan pementasan ini. Pada rumah induk, dibuat ruang secretariat yang penuh dengan poster-poster dan buku-buku. Selain itu, juga dirancang studio kedap suara yang sempat beberapa kali dipakai rekaman. Pada halaman depan, persis di pinggir jalan umum, dibangun WC yang dapat dimanfaatkan warga sekitar maupun pelintas. Untuk membenahi seluruh bangunan ini biayanya sebagian ditanggung oleh kocek pribadi Djaduk dan Butet, sementara yang lainnya dari teman-teman serta tabungan hasil “ngamen” mereka selama ini. Kelak kalau masa kontrak sudah habis, bangunan dengan segala bentuk pembenahannya menjadi hak pemilik rumah.
“Pendapa itu seperti open studio lah. Masyarakat sekitar bisa menyaksikan latihan dan bebas memberikan apresiasinya berupa celotehan atau komentar atas polah atau ucapan pemain yang kemudian ditimpali balik oleh pemain, ujar Butet. Di pendapa yang sama, setiap hari pasaran Wage ada pertemuan yang disebut “Jagongan Wagen” ajang bagi masyarakat dan para pelaku seni dapat berbagi pengalaman. Forum tersebut semakin berkembang sesuai komitmen Kua Etnika untuk membuka studionya bagi seniman lain yang ingin memanfaatkan fasilitas atau ruang yang ada. “Pemanfaatan ruang ini tidak dikenakan biaya sama sekali, tapi yah monggo….dengan fasilitas yang bisa kami adakan,” ungkap Djaduk merendah. Beberapa bulan lalu rombongan seniman dari Perancis mementaskan karya mereka di studio ini dan pada media maret 2000 akan ada pementasan dari kelompok Rumah Putih pimpinan Mas Prapto. Masyarakat sekitar juga diberikan kesempatan untuk memanfaatkan studio, misalnya untuk latihan kulintang ibu-ibu setiap Senin sore dengan guru yang didatangkan oleh Kua Etnika. Djaduk mengungkapkan bahwa upaya meminimalkan jarak antara seniman dengan masyarakat adalah bagian dari komitmen kesenimanannya. Berdasarkan pemikiran ini, mulai Januari studio Kua Etnika mulai menggelar kegiatan-kegiatan untuk masyarakat secara tetap. Apresiasi masyarakat serta antusiasme mereka seakan memberikan darah baru serta sumber inspirasi bagi seniman.
Studio Syahrizal Pahlevi
Berbeda dengan studio Hanafi dan Kua Etnika yang cukup luas, studi pelukis Syahrizal Pahlevi-yang dikenal dengan sebutan Levi-adalah kamar kos berukuran 7x 4 yang ditempatkan sejak tahun 1996. Bau cat langsung saja menyeruak di lantai ruang yang penuh dengan tumpukan lukisan. Tube-tube cat, kaleng tinta, kuas dan potongan-potongan pigura tampak berserakan di lantai penuh bercak-bercak cat. Di ujung ruang, terdapat sekat dari triplek yang memisahkan ruang selebar 1 x 3 m untuk dijadikan tempat tidurnya. Di sisi lain, terdapat ruang berukuran 1,5 x 6 m yang semestinya diperuntukkan untuk dapur, tapi akhirnya dimanfaatkan untuk menumpuk lukisan.
Levi ragu menyebut kamarnya studio, walaupun dia berkarya di situ, secara bergurau ia menyebutnya sebagai ‘kamar sekaligus studio’ atau malah studio kamar. Bagi Levi, gambaran studio yang diinginkannnya adalah sebuah ruang terpisah di mana dia mencurahkan segenap perhatian dan waktunya untuk berkarya. Saat ini dia harus puas dengan studio yang merangkap kamar, tempat berkarya sekaligus tempat tidur dan mendapati dirinya berhadapan langsung dengan karya-karya yang masih menunggu goresannya. Dia tidak merasa terganggu dengan bau cat – mungkin sudah terbiasa – dan suasana berantakan yang ada di kamarnya. Levi pernah mencoba untuk merapikan barang-barang yang ada di kamarnya, namun lama kelamaan semuanya berantakan kembali. Dia tidak membuat tempat khusus untuk menyimpan karya maupun alat-alat lukisnya, malah kayaknya lebih santai. Kalau ada ide lebih mudah, langsung saja menggelosot di lantai untuk menuangkan ekpresi,” ujar pria alumnus ISI ini. Meskipun sempit, Levi tetap membuka pintu ruangnya untuk dipakai seniman lain, baik yang ingin berkarya atau sekedar ngobrol. Sekar jati, pelukis wanita yang kebetulan satu kos dengan Levi, kerap membuat karya lukisannya di kamarnya. Seperti seniman lainnya, Levi tentunya mengimpikan sebuah ruang luas sebagai ajang berkarya dan berinteraksi dengan siapapun.
Baik Hanafi, Levi ataupun teman-teman dari studio Kua Etnika nampaknya tidak membuat garis pemisah yang tajam dengan lingkungannya. Kalau dikatakan seniman merupakan makhluk asing di tengah masyarakatnya, maka anggapan itu mungkin peru dipertanyakan. Mungkin inilah perbedaan banyak seniman di negeri ini yang tetap merindukan kehangatan dengan lingkungannya. Studio mereka bukannlah gunung es, malah sangat cair.
Leave a Reply