Loket di Stasiun Kereta Palmerah, seperti jendela sebuah penjara yang diberi papan nama yang mengingatkanku dengan sirkus jaman dulu.
Pengusaha sektor informal ada dimana-mana, walau ada papan larangan sebesar meja biliar.
Kereta Dieselku tiba dari Utara, kata speaker besar yang tergantung di sudut tiang. Hari mulai gelap. Demikian pula suasana dalam gerbong. Gelap gulita. Sulit bernafas, namun tidak perlu berpegangan, karena badan sudah tertahan dan menahan badan-badan yang lain. Sekali-kali, pedagang Jamu Tolak Angin atau anggur permisi untuk lewat. Mereka berhasil lewat, walau tadinya aku pikir: mustahil. Satu dua penumpang membeli anggur bewarna merah. Dengan cekatan pengusaha gigih itu merobek mulut sebuah ‘sachet’, menuangkan isinya ke sebuah kantung plastik bening, dan membuang kemasannya, entah kemana. Termos berkalung barang dagangan yang ia kalungkan, memiliki sebuah tombol di bagian bawah. Tombol bertemu jempol yang menekan. Air, yang mungkin hangat, mengucur darinya. Tangan kiri berisi kantung terjun bebas menampung air tadi. Agak penuh, tangan kanan mengambil sebuah sedotan plastik dan menjebloskannya ke dalam air yang sekarang bewarna merah gelap.
Leave a Reply