1997_awal Juli_Edisi 072_bahas:
starbucks
Kalau ada kedai kopi yang berhasil beroperasi di sekitar 1.000 tempat dan tersebar di Amerika Serikat , Kanada, serta Jepang, pasti yang dimaksud adalah Starbucks. Dibuka unutk pertama kali di Seatlle tahun 1971, kedai kopi ini telah berhasil menjadi usaha dengan 893-148 pengunjung per minggu (jumlah ini hanya yang tercatat dari 343 toko saja).
Menyuguhkan beraneka ragam kopi dari Guatemala, Meksiko, Costa Rica, Kenya, Tanzania, dan Zimbabwe, Starbucks adalah salah satu bukti bahwa kopi adalah komoditi yang menjanjikan. Tidak saja karena rasanya, tapi juga karena keberhasilannya menjadi bagian dari gaya hidup. Di Amerika, kegandrungan masyarakat pada kopi mencapai puncaknya pada tahun 1963. Waktu itu, masyarakat Amerika rata-rata menghabiskan tiga cangkir kopi setiap harinya. Baru pada tahun 1993, ada penurunan jumlah konsumsi kopi hingga menjadi satu sampai satu setengah cangkir per orang per hari. Soft drink dan teh disinyalir menjadi pilihan yang juga diperhitungkan sebagai minuman sehari-hari.
Sebagai kedai kopi, Starbucks mungkin sangat berhasil menjerat konsumen. Penurunan konsumsi kopi seperti tidak terlalu berarti bagi mereka. Namun, sayangnya Starbucks tidak punya kepedulian yang cukup besar pada lingkungan. Hal ini terlihat dari cara mereka bersikap terhadap usaha untuk menghapuskan penggunaan bahan kimia berbahaya dalam penanaman kopi dan penerapan sistem sertifikat bagi kopi organic. “Negara seperti Indoneisia (dalam penanaman kopi), mereka bahkan tidak pernha mendengar adanya pergantian bahan kimia,” selebihnya Scott Price, seorang ahli kopi dari Starbucks menambahkan. “para petani di negara-negara itu tidak mempunyai uang untuk membayar sertifikat, lagi pula mereka tidak melihat keuntungannya.”
Tentunya, sikap Price sangat disayangkan terlebih bila mendengar pernyataan Keren Cebreros dari Elan Internasional bahwa, “lebih dari 70% kopi di dunia disemprot dengan bahan kimia, termasuk di dalamnya dengan DDT dan malathion yang sudah lama dilarang penggunaannya.” Dipakainya bahan kimia seperti itu memang belum terbukti berdampak pada kesehatan peminum kopi. Biji kopi yang terlindungi di dalam buah seperti cherry menyebabkan bahan kimia yang disemprotkan tidak dapat masuk, selain itu pengolahan kopi yang memerlukan suhu tinggi dapat melenyapkan efek dari bahan kimia yang tertinggal. Tapi, tentunya keamanan seperti itu bukan alasan yang kuat untuk tetap menggunakan bahan kimia berbahaya dalam penanaman kopi. “Walaupun tidak berakibat langsung pada kesehatan peminum kopi, penyemprotan bahan kimia seperti itu tidak saja berakibat buruk bagi kesehatan para petani, tapi juga pada ekosistem,” papar Paul Katzeff dari Thanksgiving Coffe Company, yang telah menerapkan sertifikat “organic” pada produknya. “Perkebunan organic tidak hanya akan memperbaiki kondisi tanah, tapi juga dapat melindungi kesehatan manusia dan hewan,” tambahnya.
Penolakan Strabucks pada sistem sertifikat “organic” dapat dipahami dari sisi bisnis. Penambahan biaya, tentu saja mengharuskan mereka menaikkan harga jual kepada konsumen. Tapi, Starbuck mungkin seharusnya tidak berkecil hati akan kehilangan konsumen bila harga kopi mereka manjadi semakin tinggi. Masalahnya, pada saat ini semakin banyak orang yang menyadari bahwa “hidup terlalu singkat untuk meminum kopi yang buruk”.
Leave a Reply