2002_Februari_Edisi 131_Bahas:
Slow Down, Mengartikan Kembali: Biar Lambat Asal Selamat.
Ukke R. Kosasih
Cepat-cepat, nanti keburu telat! Dan anak-anak pun harus membuang jauh keinginan sarapan pagi yang lezat untuk digantikan oleh seduhan keripik gandum dan susu. Begitulah kira-kira gambaran keluarga masa kini dalam sebuah iklan produk yang bersemboyan ‘minum makanan bergizui’ (hmm, bahkan makanan pun harus dijadikan minuman karena desakan waktu).
Dari hari ke hari, rasanya kita makin sering mendengar keluhan, “andai satu hari bisa lebih dari 24 jam”. Tidak tahu lagi berapa cepat kita berlari, tidak tahu lagi berapa kebahagiaan kita abaikan agar dapat lebih cepat, semua Nampak tidak pernah dapat mengejar waktu. Ibaratnya, kita tengah terjebak dalam sebuah pacuan menuju garis akhir yang tidak pernah dapat kitacapai.
Padahal, sekitar 40 tahun yang lalu, Orang Amerika (yang katanya bila berjalan pun seperti Orang Indonesia berlari) masih berandai-andai bahwa dengan segala penemuan teknologi, yang akan mempermudah segala pekerjaan, mereka akan memiliki cukup banyak waktu untuk hal yang lebih berarti dalam kehidupan yaitu, friends, family, fun. Namun, yang terjadi malah kebalikannya. Ketika berbagai produk penghemat waktu tercipta, sebut saja di antaranya computer, internet, ATM, drive through restaurant, turbo jet, makanan beku, kita justru semakin masuk dalam perangkap waktu. Ragam penemuan tersebut malah mendorong kita untuk lebih dan lebih cepat lagi melakukan hal lain. Kita merasa perlu menyekolahkan anak pada usia 1,5 tahun, merasa dapat membaca Al-Qur’an melalui metode dua jam, merasa cukup mampu menurunkan berat badan hanya dengan menelan sebutir kapsul, merasa berdosa bila tidur saja di hari Senin!.
Satu hal yang menarik untuk dicermati dari gejala meningginya kecepatan hidup masyarakat adalah sebesar apa pun keluhan kita tentanf kesibukan dan beratnya beban kehidupan moderen, ternyata kecepatan (waktu) masih dinilai sebagai hal yang positif. Kecepatan masih dianggap dapat memperkaya kehidupan kita. Para pewarta, pengusaha, politisi, dan cendikiawan masih terus menjejali kita dengan gambaran visi tentang tatanan dunia baru yang akan sangat mengandalkan kecepatan. Kereta dengan kecepatan 400 mil per jam dipercaya akan mengurangi polusi, segitu pula teknologi modem yang diyakini dapat membantu terpenuhinya hak asasi manusia…semacam itulah keunggulan kecepatan digambarkan.
Tapi, apa yang terjadi setelah itu? Kualitas hidup seperti apa yang kita dapat dalam kecepatan seperti itu?
Saat ini gejala di sebagian kecil masyarakat kota, terutama yang telah merasakan seaknya jeratan waktu, untuk member arti lebih pada kata slow down. Seorang ekonom dari Harvard, Juliet Schor, memberikan gamnbaran hasil risetnya bahwa, “jutaan Orang Amerika memulai untuk menjalani bentuk kehidupan baru, di mana mereka melakukan perdangan uang untuk waktu”. Jenuh dengan jadwal yang selalu padat, makin banyak orang Amerika kini beralih profesi menjadi sukarelawan meski karenanya mengurangi penghasilan mereka. Selain itu, makin tumbuh pula kelompok-kelompok yang giat melisankan bahwa “slow is beautiful”. Menurut mereka, lebih cepat tidak selalu berarti lebih baik. Kita harus lebih member perhatian pada dampak terhadap kejiwaan, lingkungan, dan politik dari kehidupan serba cepat ini.
Dalam kutipan di Utne Reader (www.utne.com). seorang pegiat lingkungan, Jeremy Rifkin yang menulis buku “Time Wars” pada tahun 1987, menyebutkan bahwa, “Kita mempercepat laju kehidupan hanya untuk menjadi tidak sabar. Kita makin terorganisir namun makin kehilangan spontanitas dan keceriaan. Kita makin cakap merencanakan masa depan namun makin kehilangan kemampuan untuk menikmati masa kini dan bercermin dari masa lalu”.
Kehidupan terus melaju, tapi seorang Rifkin mengingatkan kita bahwa kecepatan telah mengumpulkan indera kita bahwa kecepatan telah melumpuhkan indera kita untuk merasakan denyut bumi. Batas-batas waktu mekanik dan atifisial yang diciptakan manusia telah menghilangkan ikatan kita dengan pasang dan surutnya air, terbit dan tenggelamnya matahari, serta perubahan musim. Kita pun semakin menjauh dari alam yang menjadi sumber kehidupan kita. Sampai di sini, kita mungki mulai merasakan adanya sebuah kejanggalan. Bila kecepatan telah menjauhkan kita dari sumber kehidupan, lantas, kehidupan macam apa yang tengah kita jalani?
Slow down, you move too fast.
You got to make the mornin’last.
Just kickin’ down cobblestones.
Lookin’ for fun and feelin’ groovy.The 59 Street Brigde Song. Paul Simon, 1966
Leave a Reply