Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

1997_mula Januari_Edisi 060_seni:
Seperti apa seni KONTEMPORER Indonesia?

Sulit sekali menentukan dengan pasti batasan dari Seni Kontemporer. Sampai-sampai ada anggapan bahwa keragaman batasan atau definisi yang disodorkan merupakan bagian dari semangat seni komtemporer itu sendiri. Lalu, bagaimana kita bisa memahami sebuah Seni Kontemporer? Untuk mencari jawabannya, mungkin kita harus merunut munculnya istilah komtemporer dalam seni rupa modern di Indonesia. Kata kontemporer pertama kali diperkenalkan oleh Gregorius Sidharta  Soegiyo pada pameran patungnya di Jakarta. Ia menjelaskan beberapa karyanya yang sudah tidak lagi dikategorikan sebagai modern. Namun, setelah itu istilah kontenmporer tidak masuk dalam perdebatan yang lebih luas, baru pada tahun 1975 muncul lagi kepermukaan bersamaan dengan munculnya gerakan seni rupa baru. Gerakan seni rupa baru ingin menentang pendekatan materi pengajaran di ITB dan ISI-Yogyakarta yang dirasakan lebih menekankan pada prinsip-prinsip seni modern sementara mengabaikan kepedulian terhadap kondisi sosial di Indonesia. Selain itu, gerakan seni rupa baru juga mengajukan konsep pluralisme dalam kesenian, mematahkan dikotomi high art-low art. Dengan semangat itu, muncullah seni instalasi, kerja seni kolaboratif, dan performance art. Namun, ketika kita melihat karya dari sebuah seni instalsi, misalnya, tetap saja kita tidak dapat memperoleh sebuah batasan tentang seni kontemporer. Karya tersebut hanya menjadi contoh dari karya dan pemikiran yang muncul sebagai dampak dari gerakan seni rupa baru. Dalam keadaan tanpa batasan yang jelas, bukan sesuatu yang aneh bila muncul ragam pemahaman tentang seni kontemporer. Karya tersebut hanya menjadi contoh dari karya dan pemikiran yang muncul sebagi dampak dari gerakan seni rupa baru. Dalam keadaan tanpa batasan yang jelas, bukan sesuatu yang aneh bila muncul ragam pemahaman tentang seni kontemporer dalam wujud galeri-galeri alternative. Salah satunya adalah Cemeti Gallery Contemporaray Art di Yogyakarta. Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana galeri yang didirikan oleh Mella Jaarsma dan Nindityo Adi Purnomo ini menentukan pilihan atas karya-karya seni kontemporer? Bagaiaman sebuah karya dapat mereka pilih untuk dipamerkan? Menurut Nindityo. Ketika ia memilih sebuah karya, hal penting untuk dipahami adalah kecenderungan pemikiran yang dekat dengan ralita kehidupan sekarang. Dengan kata lain, karya tersebut harus dapat mengungkapkan persoalan-persoalan yang timbul dalam kehidupan modern secara fisik maupun mental. Dengan demikian, sebuah karya seni   kontemporer dituntut untuk memberikan solusi terhadap persoalan suatu masyarakat di suatu jaman tertentu. Selain itu, Nindityo pun harus melihat kejujuran seniman untuk menyatakan alasan pemilihan media ekspresinya dan persoalan yang diangkat dalam keseniannya, sehingga alasannya bukan karena suatu trend. Dengan demikian, ia dapat bertanggung jawab terhadap publik atau penikmat seni bahwa seniman yang tampil di galeri Cemeti akan tetap konsisten terhadap keseniannya. Tentunya ini bukan pekerjaan mudah. Pemahaman terhadap karya menjadi lebih penting dari pada wujud lahiriahnya. Karena itu, Cemeti tidak menolak untuk memamerkan karya dengan media tradisional, seperti wayang. Hanya saja, karya tersebut harus dapat diiterpretasi dengan cara pemikiran masa kini. Seni kontemporer memang sulit sekali dicari batasannya, tetapi keberadaannya justru memancing eksplorasi bentuk-bentuk baru dan ragam pemikiran.

Sumber:
1. Hasil wawancara dengan Nindityo Adi Purnomo
2. Supangkat, Jim, “A Brief of Indonesian Modern Art” dalam Tradition And Change. Contemporary Art of Asia and the Pacific. Ed. Caroline Turner. University of Queensland Press: 1993.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *