1998_Mei_Edisi 090_peduli:
Sekolah
Dalam bukunya yang controversial “Bebas Dari Sekolah”, Ivan Illich berpendapat bahwa hak manusia untuk belajar telah dihancurkan oleh kewajiban lembaga bernama sekolah. Nampaknya pendapat ini telah terjawab melalui buku “Toto Chan”, pengalaman seorang guru Jepang yang justru menerapkan konsep “Sekolah bebas” yaitu sekolah yang dilakukan dimana saja, kontekstual, dan membebaskan anak untuk berkreasi. Walhasil “sekolah bebas” mampu mengembangkan anak-anak dari yang termiskin, terbandel. Bagaimana dengan sekolah di Indonesia? Seorang pakar pendidikan Indonesia, Peter J. Drost Sj pun mengecam system sekolah yang terjadi di negeri ini, “Semangat belajar murid dirusak, mereka frustasi. Mereka tidak diberi kesempatan belajar sesuai dengan kemmapuan intelektual mereka”. Melihat system sekolah yang morat marit-mahalnya biaya-kurangnya fasilitas. Apatis tentu bukan sikap yang dianjurkan. Karena banyak tokoh sejarah yang pernah merasakan kepahitan sekolah, tapi mereka tetap mampu berperan dalam pengembangan peradaban. Atau menengok pengalaman pendidikan negeri ini, ternyata banyak semangat yang dapat diserap ke masa sekarang. Dan ternyata begitu banyak usaha untuk memberikan alternatif belajar bagi masyarakat tanpa harus muluk-muluk berbicara soal pemerataan.
Tidak heran jika sampai saat ini Yogyakarta terkenal dengan sebutan kota pendidikan-karena tradisi belajar telah ditanamkan sejak berdirinya Keraton Yogyakarta pada tahun djawa 1628 atau 1757 M. Di saat Keraton Yogyakarta tegak berdiri, maka didalamnya dibangun gedung sekolah yang disebut Sekolah Tamanan dan pengajarnya adalah para abdidalem Keraton. Materi pelajarannya menyangkut pemahaman tentang budaya Jawa berikut tata negara Keraton. Misalnya Bahasa, Kesusasteraan Djawa Baru serta kawi dan sejarah Keraton di tanah Djawa-diajarkan oleh Reh Kawedanan Kapundjanggan. Kemudian pelajaran menembang [menyanyi] diajar oleh para presiden, abdidalem Kawedanan Reh Karawitan. Materi tata negara, Undng-Undang Sepuluh dan Angger Pradata lan angger pidono [hukum perdata dan hukum pidana] diberikan oleh para Djaksa dan Suragama.
Beberapa mata pelajaran lain dikategorikan dalam empat bidang yaitu agama Islam, ketentaraan, kebudayaan dan pertanian. Materi ketentaraan misalnya memilih dan menunggang kuda : latihan berperang setiap hari sabtu di alun-alun utara ; latihan melepas anak panah. Sedangkan materi kebudayaan mencakup pelajaran menari bagi kaum puteri dan pengeran, menatah dan menyungging wayang, membuat dan melaras gamelan. Dan yang terakhir adalah materi pertanian, seperti memelihara segala tanaman, sawah, perkebunan ; saluran pengairan dan bendungan untuk pertanian rakyat.
Mencermati materi pelajarannya, maka bisa terlihat bahwa sekolah sangat dekat dengan konteks kehidupan muridnya. Misalnya penguasa Keraton sangat tahu bahwa tipe daerahnya adalah agraris, sehingga sejak dini disiapkan para ahli pertanian. Mungkin hal ini bisa menjadi semangat bagi pendidikan jaman ini agar membuat kurikulum yang lebih dekat dengan lingkungan kehidupan anak.
Sayangnya sejak tahun 1930 banyak materi pelajaran sekolah yang dikurangi, hanya akhirnya hanya bisa bertahan hingga akhir tahun 1900-an, yaitu di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.
Leave a Reply