2000_Agustus_Edisi 115_bahas:
Sekilas Hutang Luar Negeri Indonesia
Ade Tanesia/Rohman Yuliawan
Hapus hutang Indonesia
Selama 30 tahun, Indonesia telah menjadi anak manis, yang selalu tepat membayar cicilan hutang berikut bunganya. Sehingga sangat wajar jika Indonesia memperoleh keringanan berupa penghargaan 10% dari total hutang luar negerinya. Pasalnya tanpa penghapusan hutang, maka Indonesia akan terjerumus dalam krisis besar hutang luar negeri. Hal ini pernah terjadi pada Filipina dan Meksiko yang juga sempat mengalami krisis moneter. Bahkan Jerman yang baru bangkit dari kehancuran dimasa akhir PD II pun pernah mendapat keringanan berupa penghapusan 50% hutang luar negeri. Ada beberapa alasan wajar yang memungkinkan Indonesia untuk mohon penghapusan hutangnya. Selain selama ini telah sangat patuh bayar hutang. Indonesia juga sedang dalam keadaan krisis. Juga yang penting pengakuan Bank Dunia perihal kebocoran dana-dana bantuan proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia sebesar 30% merupakan alasan kuat karena berarti sebagian dari utang tersebut tidak pernah dinikmati rakyat Indonesia, penghapusan sebagian hutang luar negeri Indonesia. Menurut Lembaga Swadaya Masyarakat German Watch “Setiap hari puluhan ribu anak-anak di negara berkembang mati kelaparan, dan selama itu pula uang mereka sebaliknya dipakai untuk membeli makanan, bukan untuk mencicil hutang luar negerinya”.
Sekilas Hutang Luar Negeri Indonesia
1949: Tepat pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 949, melalui Konperensi Meja Bundar (KMB), diperdebatkan mengenai penyerahan kedaulatan RI dari Pemerintah Belanda termasuk juga beban hutang Indonesia. Dalam “kompromi” tersebut Indonesia menerima pembebanan hutang sebesar 4,3 milyar gulden dengan perincian: hutang internal 3 milyar gulden, eksternal 871 juta gulden kepada Belanda, dan hutang eksternal sebesar 420 gulden ke pihak ketiga.
1956: kabiner Ali-Roem mempersoalkan hutang Belanda yang dihibahkan ke Indonesia melaui KMB dan membatalkan hutang tersebut. Indonesia kemudian mendapat pinjaman dari Blok Timur atau Sosialis. Sebanyak 50% dari hutang ini digunakan bagi anggaran militer Indonesia untuk merebut Irian Barat.
1966: nama Orde Lama maish meninggalkan hutang US$ 2,2 milyar sementara itu Orde Baru mendapat pinjaman untuk membangunan dari lembaga-lembaga donor negara-negara Industri kepitalis sebesar US$ 100 miyar.
Para Pelepas Uang
Pada masyarakt Jawa, hutang dianggap sebagai perilaku sosial yang negatif dan cenderung tabu untuk dibicarakan. Seseorang yang berhutang akan menelanjangi ketidakmampuan finansialnya dan menurunkan posisinya dalam kehidupan sosial. Warga yang terpepet uang, haruslah bersembunyi-sembunyi mencari pinjaman. Meskipun demikian, dalam masyarakat tumbuh profesi yang bekerja dengan cara memberi hutang. Profesi ini disebut pelepas uang atau rentenir. Data statistik pada masa pemerintahan kolonial menyebutkan bahwa 21,447 orang yang terdiri dari 64% pribumi, 8% Eropa, 24% Cina dan 3% lainnya bekerja sebagai pelepas uang. Mereka biasanya memberikan pinjaman kredit jangka pendek tanpa menggunakan jaminan pasti. Bungan relatif tinggi dan selalu berusaha melanggengkan hubungan kredit dengan nasabahnya. Sebagian besar pelepas uang beroperasi di pasar-pasar desa atau keliling dari rumah ke rumah. Di berbagai kebudayaan, profesi pelepas uang dianggap pekerjaan berdosa karena menarik bunga tinggi di atas kesusahan orang lain. Bahkan profesi ini dijadikan stereotip terhadap etnik tertentu, seperti Yahudi di Eropa, India di Asia Timur, Ibos di Afrika Barat, dan orang-orang asal Timur Tengah di Amerika Latin.
Konotasi negatif dari masyarakat tidak serta merta dimaknai sama oleh para pelepas uang. Bagi mereka, menjadi pelepas uang bukanlah profesi tercela, melainkan sama seperti bisnis jasa untuk masyarakat. Walaupun demikian ada kode etik di antara pelepas uang agar tidak kebangetan menekan nasabahnya. Bahkan nasabah diberi kelonggaran untuk menawar system kerdit mana yang akan diambil sesuai dengan kemampuannya. Di sisi lain, keberadaan pelepas uang juga dibutuhkan oleh sebagian masyarakat. Bayangkan saja, kadang pedagang kecil harus terpaksa nyebrak (mencari utangan) atau seorang ibu rumah tangga yang belum mendapat gaji dari suaminya harus lari ke para pelepas uang. Sebenarnya jika kode etik pelepas uang bisab dikontrol maka keberadaan mereka tidak perlu dicela.
Peomage
Istilah peomage muncul di Meksiko, Amerika Latin sebagai system perbudakan di abad ke-16. Peomage berkembang dari system encomeienda, sebuah system yang memberikan hak pada para conquistador Spanyol untuk mengklaim kepemilikan atas penduduk asli Amerika yang berada di tanah hadiah dari Raja spanyol, Lalu muncul system reportimeiento, yaitu pekerja pribumi Amerika diharuskan bekerja selama setengah tahun di setiap tahunnya untuk pemeintah kolonial. Peon yang artinya hamba harus berhutang barang kebutuhan hidup serta uang pada tuan tanahnya. Sebagai pembayarannya mereka wajib bekerja di pertambangan atau perkebunan hingga hutangnya dianggap lunas. Seringkai nilai hutangnya dilipatgandakan sehingga pelunasannya harus ditanggung turun temurun. Di Amerika Serikat, sebelum masa perang saudara, beberapa bentuk peonage pernah terjadi di New Mexico dan daerah Arizona serta kawasan Selatan. Bahkan di daerah tersebut peonage diterapkan pada kalangan miskin yang terdiri dari orang kulit putih dan kulit hitam. Sesuai perang saudara mulai diberlakukan amandemen ke-13 UUD Ameriak Serikat yang diantaranya melarang praktek perbudakan paksa.
Leave a Reply