Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

Secuplik IB-17

Written in

by

Pustaka Bergerak Indonesia (PBI) adalah satu dari 54 kontributor ’17th Istanbul Biennale’. Sekedar catatan, adalah menarik untuk mengetahui tiga kurator perhelatan Ute Meta Bauer, Amar Kanwar, dan David Teh, menyebut pengisi kegiatan itu dengan kontributor, bukan seniman.

Muze Gazhane adalah hasil dari sebuah proyek revitalisasi kawasan tua seluas 3,2 hektar dan yang menjadi satu dari dua belas lokasi perhelatan Biennale Istanbul ke-17.

Di lokasi bekas pabrik gas yang dibangun pada 1891 itu, pameran relawan PBI menempati ruang bagian depan di bangunan dulunya adalah ruang pembakaran dan kemudian gudang penyimpanan batu bara.

Di dalam bangunan yang sama, ada empat pameran lain. Satu yang sangat menarik adalah presentasi dari Silence University. Sebuah universitas non formal yang digagas oleh Ahmet Ogut untuk menjadi ruang interaksi, belajar, dan mengajar bagi para imigran di seluruh dunia. Migrasi karena perang, pencarian suaka, dan lainnya sering memosisikan orang berpengetahuan untuk dianggap tidak memiliki kemampuan di tempat/negara yang baru. Hal ini sebabkan oleh stigma yang ‘ditempelkan’ pada pengungsi. Ruang yang Ahmet bangun itu percaya bahwa siapa pun memiliki kualitas untuk berbagi, khususnya pengetahuan yang diperoleh di masa hidupnya, di mana pun mereka berada..

Kemudian di gedung sebelah. Sebuah bangunan yang dulunya adalah gedung untuk pengukuran gas. Di dalam gedung itu, ada empat pameran. Satu di antara empat pameran yang paling menarik perhatian adalah karya berjudul ‘State of Displacement: Entangled Topographies’. Arazi Assembly dan Topological Atlas berkolaborasi dalam melakukan riset dan aksi terkait persoalan dispossession dan displacement di global south. Mereka mempresentasikan dengan sangat baik berbagai data dan narasi tentang dampak dari Kapitalisme Ekstraktif (extractive capitalism) dan geontopower (relasi kekuasaan antara fungsi infrastruktur dan struktur geologis) serta biopower.

Di dalam bangunan yang dulunya adalah ruang untuk proses pengukur gas, kolaborasi dari dua kelompok itu menampilkan banyak temuan terkait benda-benda bersejarah yang mereka dapatkan sejak 2015 dengan video, karya tenun, kartu spesimen, peta, dan lain-lain. Sangat menarik bagaimana mereka membuat berbagai catatan, dan kemudian mencetaknya dalan bentuk kartu berwarna-warni untuk tumbuhan lokal, bangunan tua, dan tradisi yang makin menghilang karena pembangunan merajalela yang mengakibatkan perubahan iklim.

Satu dari dua belas lokasi di dalam rangkaian program Istanbul biennale 17, berada di Pera Museum. Museum ini dulunya adalah hotel Bristol, di revitalisasi oleh sebuah yayasan, Suna and İnan Kıraç Foundation, menjadi museum yang utamanya untuk memamerkan koleksi privat berupa alat ukur dan timbangan zaman Anatolia, lukisan-lukisan oriental, dan keramik Kütahya. Selain koleksi privat, museum tersebut juga banyak bekerjasama dengan berbagai museum dan kegiatan seni, satu di antaranya adalah Istanbul Foundation for Culture and Arts (Istanbul Kültür Sanat Vakfi – IKSV) penyelenggara Istanbul Biennale ke-17.

Berikut ini dua intipan dari pameran di lantai tiga dan empat museum itu.

Karya Sim Chi Yin sangat mengispirasi di lantai tiga. Sebagai periset, jurnalis, dan fotografer, Sim mengungkap sisi lain dari sejarah formal yang tertulis di buku-buku tentang perang melawan komunis di Malaysia. Dalam bahasa Malaysia: Perang insurgensi melawan pengganas komunis. Dari proses riset yang ia lalui, muncul karya-karya seni foto dan video yang subyektif dan ekspresif. Karya berjudul Intervention menampilkan dua belas foto yang dicetak dengan metode pigmen dan foil pada dua belas lembar kaca berbingkai kayu, di susun menyandar pada dinding putih di atas sebuah papan kayu yang dicat putih pula. Sorotan lampu di langit-langit ruangan menampilkan bayangan dari foto yang semi transparan itu beserta bingkainya ke dinding. Karya itu seperti menyodorkan dua hal sekaligus. Hal yang tesurat dan yang tersirat dari arsip. Selalu ada penanda di samping tanda, pun demikian pula sebaliknya.

Di lantai empat, Tita Salina dan Irwan Ahmet menyodorkan karya video berjudul The Call of Fragility. Mereka merekam dan menampilkan dengan sangat baik audio dan video dari berbagai fenomena di Pantai Utara Pulau Jawa yang (ber)siap untuk musnah atau punah. Sebuah cuplikan dari video berdurasi 35 menit 6 detik yang memperlihatkan sebuah sekoci kecil – untuk satu orang, yang mereka buat selama masa pandemi, dengan dua penangkap suara berwarna merah yang menggantung di buritan, di dayung tanpa mencapai ke sebuah pulau di tengah laut Jawa, terlihat sangat impresif dalam menggambarkan ketidak-berdayaan manusia bila disandingkan dengan alam semesta.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *