Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

Sebuah Bangunan Tua Tangerang..

Written in

by

Di Hari Kamis sore yang mendung itu, aku bersama pak Dharmawan dan pak Dipo, mengunjungi sebuah bangunan tua yang berada di salah satu pojok Kota Tangerang.

Beberapa pekerja sedang berberes, merapikan, dan menyusun batu-batu terakota hasil pencopotan dari lokasi yang bertepi dengan Kali Cisadane itu.

Sebuah rumah bergaya kolonial yang sudah kusam dan ditopang seadanya, menyambut sewaktu aku memasuki lokasi tanpa pagar itu.

Berjalan ke belakang, rumah besar bergaya Tionghoa terlihat sudah ‘dipreteli’ (hampir) habis. Beberapa kayu dan besi penopang sudah tertumpuk di halaman.

Hik.. sebuah bangunan tua kembali mengalami penjarahan, menghilangkan jejak sejarah, untuk kemudian dijadikan sebuah mall (katanya) sebagai tempat main bagi orang-orang tanpa akar.. hiks

Untuk banyak foto, seorang kenalan bernama Yoan menampilkan mereka di sini.

Untuk sedikit ulasan sejarah yang dimuat di Harian Kompas, bisa dibaca di sana.

Ada sedikit ulasan oleh David Kwa (david_kwa2003@yahoo.com) di milis  Budaya Tionghoa & Sejarah Tiongkok. Dec 3, 2008 9:21 pm (PST).

Sebagai tambahan mengenai Gedung Kapitan Cina Oey Djie San (masa jabatan 1907-1916) di Karawaci Bedeng ini.

Karena status kepemilikannya sebagai kediaman pejabat Tionghoa yang diangkat Belanda (Chineesche Officieren) dalam hal ini Kapitan Cina, bangunan itu diperbolehkan mempunyai sepasang singa batu (cioq- sai), bukan kilin, di depannya serta bentuk bubungan atap bergaya Ekor Walet (Yanbue heng). Bentuk atap ini ditandai dengan kedua ujung bubungannya yang mencuat ke atas macam ujung bubungan atap kelenteng.

Seperti yang mungkin pernah saya singgung sebelumnya, di masa lalu, hingga akhir dinasti Qing (1644-1911), berlaku ketentuan: sepasang singa batu dan atap bubungan bergaya Ekor Walet merupakan privilege dan hanya boleh dipakai pada bangunan pemerintahan, kediaman pejabat pemerintah, serta bangunan peribadahan (kelenteng dsb). Rumah rakyat biasa tidak diperkenankan. Mereka hanya boleh memakai atap bubungan bergaya Pelana (Bepue Heng) dan tidak memakai sepasang singa batu. Bentuk atap seperti ini banyak kita kita jumpai pada rumah- rumah-toko (ruko) Tionghoa yang masih tersisa di sepanjang Angke, Jembatan Lima, Patekoan, Jiq Lak Keng, Kongsi Besar, Tongkangan, Petak Baru, Pasar Pagi, Pasar Gelap, Toko Tiga-Toko Tiga Sebrang, Blandongan, Pintu Kecil, Gang Burung, Jembatan Batu, Pinangsia; juga di Jatinegara. Yang di kawasan Tanah Abang dan Senen sudah musnah semasa orde babe berkuasa. Yang bergaya Ekor Walet bisa dihitung dengan jari: Gedung Majoor Khouw Kim An (Candra Naya) di Gajah Mada yang sudah rusak, Gedung Luitenant Souw Thian Pie (masa jabatan 1848-1860) dan kedua putranya Luitenant Titulair Souw Siauw Tjong — (masa jabatan 1877-1898) dan Luitenant Souw Siauw Keng (masa jabatan 1897-1913) di Patekoan (sejak orde babe: Perniagaan), gedung yang kini dijadikan bangunan gereja Santa Maria de Fatima di Toasebio (sejak orde babe: Kemurnian III) dan tentunya Gedung Oey Djie San ini. Selain itu juga, gedung sekolah negeri di Pejagalan (atapnya terlihat jelas dari jalan layang Jembatan Lima-Pintu Besar Utara), gedung seputar (depan?) Pertokoan Chandra di Pancoran, yang hanya bisa terlihat jelas dari lapangan parkir di belakangnya, dan Toko Lautan Mas di Toko Tiga. Dua yang disebut terakhir ini rupanya oleh pemiliknya sengaja dipatahkan. Ekor Waletnya yang ujungnya terbelah dua, supaya terkesan mirip Pelana, yang sebenarnya lebih rendah status sosialnya.

Oleh sebab sangat sedikitnya bangunan bergaya atap ekor Walet, selain kelenteng-kelenteng , di Jakarta, masyarakat lebih mengenal bangunan bergaya Ekor Walet sebagai bangunan kelenteng, sehingga ada beberapa pihak yang alergi kalau rumahnya dibilang mirip kelenteng. Akibatnya terjadilah: ujung bubungan atap Ekor Walet sengaja dipatahkan agar tampak mirip dengan Pelana!!! Ironis, bukan?

Selain itu, paseban yang terletak di muka gedung ini, bukan belakang yang menghadap kali Cisadane mempunyai ukiran cukup indah, meski barangkali masih di bawah ukiran paseban Candra Naya, yang juga sudah lenyap. Itulah sebabnya, pasebannya dipereteli dengan hati-hati, untuk kemudian dipindahkan ke lahan entah kolektor barang antik mana di Jakarta Selatan… Memasang kembali kerangka kayu sebuah paseban memang mudah, entah bagaimana dengan memasang kembali atap Ekor Waletnya yang terbuat dari semen. Bila kita perhatikan Ekor Walet sebuah bangunan tradisional, misalnya Gedung Keluarga Souw, maka akan kita dapati Ekor Waletnya membentuk busur yang luwes, bukan sebuah garis lurus yang tiba-tiba dicuatkan kedua ujungnya begitu saja! Berbeda jauh dengan kebanyakan Ekor Walet buatan sekarang, yang tampak kaku, sebab bukan dikerjakan oleh ahlinya.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *