[bigtext color=”#bd3b68″ align=”center”]Tunggu apalagi?[/bigtext]
[spacer]
Memaknai Perjuangan Mollo melalui Ningkam Haumeni
Dahulu kala, Mollo merupakan kerajaan. Netpala adalah kerajaan tertua di sana yang melahirkan kerajaan Numbena. Netpala meliputi kawasan desa Lelobatan, Fatukkoto, Bose, Sebab, Leloboko, Nefukoko, Anjabaki, Eyondasi, dan Obefi. Sedangkan Numbena meliputi desa Nifu Lilana, Tune, Bonleu, Fatumnasi, Kuonel dan Tunua. Desa-desa itu hingga kini masih berdiri dengan masyarakat yang rata-rata bekerja menjadi petani dengan beladang, berkebun, beternak dan memanfaatkan hutan mereka secara bijak (Siti Maimunah/2009).
Mollo sendiri terletak di wilayah teritori masyarakat di sekitar kaki gunung Mutis yang tersebar yaitu di Mollo Selatan dan Mollo Utara, di mana Nausus dan Anjaf adalah bagiannya. Gunung Mutis adalah gunung tertinggi di bagian barat Pulau Timor. Di sanalah asal muasal aliran air di Mollo dan segala hubungan kehidupan saling bersambung yaitu air, tanah, hutan dan bebatuan sekitarnya.
Bagi Orang Mollo, Nausus dan Anjaf adalah alam semesta kehidupan mereka yang sempurna. Sejak jaman nenek moyang, masyarakat Mollo biasa melepas ternak dan digembalakan di kawasan itu. Banyak Orang Mollo membuka ladang dan berkebun di sana. Segala kosmologi kehidupan Masyarakat Mollo berpusat di sana. Bagi orang Mollo, air, hutan, tanah dan batu adalah bagian dari identitas mereka. Oel nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu, naijan nam nes on sisi, fatu nam nes on nuif. (Air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, batu adalah tulang).
Gunung batu Nausus dan Anjaf adalah bagian identitas Orang Mollo berasal. Batu misalnya, dianggap sebagai fatukanaf yang adalah batu nama. Batu dianggap sebagai perumpamaan laki-laki karena dari sanalah marga-marga suku Mollo dikeluarkan ketika mereka sudah mulai berumah tangga. Batu dianggap kekuatan dan juga sebagai tulang punggung. Jika tidak ada batu, maka alam dianggap akan lumpuh, seperti halnya manusia yang tidak mempunyai tulang punggung. Selain Batu Nama, orang Mollo juga mempercayai Air Nama, Kayu Nama. Semuanya merefleksikan kayanya filosofi orang Mollo dalam menghargai alamnya.
Faktanya, data Walhi NTT menyebutkan, Gunung Mutis seperti halnya bebatuan karst lainnya di Timor, salah satunya Nausus dan Anjaf, tidak hanya sebagai identitas sosial, lebih dari itu kawasan ini memiliki fungsi strategis yaitu sebagai daerah tangkapan air bagi wilayah daratan Timor. Terutama di Mutis ada beberapa hulu sungai besar seperti Sungai Noelmina, Benanain, dan Oebesi yang bisa memenuhi kebutuhan air bagi sebagian besar masyarakat Timor. Kawasan ini juga dinilai mempunyai keanekaragaman hayati yang menyeimbangkan kehidupan alam di sana dan Timor secara keseluruhan.
Data penelitian yang dikutip CO Sakeng dalam tulisannya, Cagar Alam Mutis yang terusik tambang, menyebutkan, kawasan Gunung Mutis memiliki tipe vegetasi yang merupakan perwakilan hutan homogen daratan tinggi. Kawasan ini juga didominasi berbagai jenis ampupu (Eucalyptus urophylla) yang tumbuh secara alami dan jenis cendana (Santalum album). Selain itu di sini dapat ditemui berbagai jenis pohon lainnya seperti hue (Eucalyptus alba), bijaema (Elacocarpus petiolata), haubesi (Olea paniculata), kakau atau cemara gunung (Casuarina equisetifolia), manuk molo (Decaspermum fruticosum), dan oben (Eugenia littorale). Ada juga salalu (Podocarpus rumphii), natwon (Decaspermum glaucescens), natbona (Pittospermum timorensis), kunbone (Asophylla glaucescens), tune (Podocarpus imbricata), natom (Daphniphylum glauceccens), kunkaikole (Veecinium ef. Varingifolium), tastasi (Vitex negundo). Kemudian ada juga manmana (Croton caudatus), mismolo (Maesa latifolia), kismolo (Toddalia asiatica), pipsau (Harissonia perforata), matoi (Omalanthus populneu). Termasuk aneka jenis paku-pakuan dan rumput-rumputan.
Selain kaya dengan flora, kawasan wisata Mutis juga menyimpan aneka fauna khas Timor. Di sini pengunjung bisa menyaksikan rusa timor (Cervus timorensis), kus-kus (Phalanger orientalis), babi hutan (Sus Vitatus), biawak (Varanus salvator), biawak timor (Varanus timorensis). Di sana juga ada sanca timor (Phyton timorensis), ayam hutan (Gallus gallus), punai timor (Treon psittacea), betet timor (Apromictus jonguilaceus), pergam timor (Ducula cineracea), perkici dada kuning (Trichoglosus haematodus).
Kerusakan oleh investor dimulai
Namun pusat alam semesta Orang Mollo yaitu Nausus-Anjaf itu terampas, ketika perusahaan tambang yaitu PT Soe Indah Marmer Pertambangan dan PT Karya Asta Alam diijinkan masuk oleh penguasa setempat untuk mengeksplorasi tempat keramat Orang Mollo (1997-2001. Hingga perusahaan itu datang, beroperasi, tanpa masyarakat mengetahuinya. Penguasa tidak pernah menanyakan pendapat apalagi melibatkan masyarakat Mollo tentang rencana hadirnya dua perusahaan tambang tersebut. Mereka hanya tahu, sejak perusahaan tambang marmer itu datang, kehidupan mereka sudah tidak sama dengan sebelumnya.
Di dukung aparat keamanan yang direstui penguasa setempat, pihak perusahaan melarang masyarakat melakukan aktivitas di sana. Tidak boleh berladang, berkebun atau melepas ternak di sana. Kawasan itu dipagar. Bahkan situs-situs ritual adat sejak nenek moyang mereka telah ada di dalam hutan dan selalu dijaga serta dipelihara dengan baik pun dirusak. Lebih dari itu, Anjaf dan Nausus dibelah, didinamit, dan jati diri asal muasal Orang Mollo terampas sejak itu.
“Seperti halnya manusia. Kawasan ini dulu bentuknya utuh sempurna. Ada rambut yaitu hutan-hutan di sini, segala pohon yang melekat. Ada darah yang menghidupinya yaitu air-air yang tersimpan dalam tanah, ada kulitnya yaitu tanah-tanah yang menghidupkan, serta batu-batu yang menjadi tulang punggung sehingga menguatkan kawasan ini. Seperti itulah keindahan di sini dulunya. Rupanya sempurna seperti manusia, sebelum perusahaan tambang marmer datang dan merusak alam hidup di sini. Jadi coba bayangkan, jika itu manusia, kamu tidak punya alis, rambut, seperti apa rupanya?,” jelas Petrus Almet, 63, salah seorang tokoh adat dari desa Lelobatan, Kecamatan Mollo Utara, TTS.
Aleta Baun dan Lahirnya Ningkam Haumeni
Adalah Aleta Baun, 46, seorang ibu rumah tangga beranak dua, kemudian menjadi pemimpin pergerakan masyarakat adat Mollo dalam melawan arogansi perusahaan tambang dan para tentara yang mendukung kegiatan tambang yang merusak sumber hidup dan kehidupan mereka. Kendati dirinya, anak dan suaminya diancam akan dibunuh, bahkan anaknya sempat terluka ditimpuk batu oleh preman-preman. Namun Aleta tidak gentar. Atas kegigihannya, dia bersama warga Mollo yang peduli mulai melakukan perlawanan. Hingga akhirnya, hampir semua masyarakat Mollo bersama Aleta bersatu guna menyelamatkan Nausus-Anjaf.
Mereka tidak hanya melakukan aksi bersama ke kantor Bupati agar mencabut izin perusahaan dan meminta operasi tambang marmer dihentikan, tetapi juga mulai berjejaring dengan LSM lainnya yang peduli terhadap perjuangan mereka. Perjuangan masyarakat Mollo kemudian dibantu oleh saudara-saudara mereka dari Suku Amanatun dan Amanuban, yang dalam penyatuannya disebut sebagai Masyarakat Tiga Batu Tungku. Perlawanan mereka pada titik yang mengancam jiwa, yaitu nekat menduduki kawasan Nausus dan Anjaf bersama ratusan para mama yang melakukan aksi menenun di bawah ancaman tekanan dan todongan senjata para tentara yang melindungi kepentingan perusahaan. Selama setahun mereka melakukan “pendudukan” kembali atas Nausus dan Anjaf yang menjadi miliknya.
Tentu saja tidak mudah bagi Aleta Baun meyakinkan orang Mollo untuk tidak pasrah dan diam melihat kerusakan alam mereka, pada awalnya. Namun orang sangat percaya bahwa Aleta memang seorang pemegang amanat yang sangat peduli dengan kehidupan orang Mollo. Jauh sebelum kasus tambang dia juga dikenal sebagai orang yang menentang dipakainya lahan adat milik Perempuan Mollo diambil alih oleh Dinas Kehutanan. Dia bahkan sempat diseret ke pengadilan karena dianggap telah menyerobot tanah milik pemerintah. Namun hingga kini kasusnya tidak juga diteruskan sementara lahan itu lebih berguna untuk digunakan masyarakat Mollo dalam memenuhi kebutuhan hidup harian mereka. Sekarang lahan itu telah sudah sekian kalinya panen kacang merah.
Kembali ke perjuangan melawan tambang, maka hasil perjuangan mereka membuahkan hasil. Perusahaan tambang marmer menyerah dan angkat kaki dari kawasan keramat mereka. Namun tidak bisa mengembalikan wajah indah Anjaf seperti sebelum digerus perusahaan tambang. Kemenangan ini didengar saudara serumpun mereka Amanatun dan Amanuban yang teryata juga mempunyai persoalan yang sama. Mereka akhirnya menyatukan diri sebagai Masyarakat Tiga Batu Tungku, dan merayakan moment kemenangan Mollo sebagai kemenangan bersama di setiap tanggal 29 Mei, di Hari Anti Tambang Dunia. Mereka merayakannya dengan menggelar Festival Ningkam Haumeni yang pertama dilakukan pada tahun 2010.
Apa itu Ningkam Haumeni? Tidak ada yang tahu pasti benar definisi tepatnya. Jika pun diartikan dalam satu persatu kata mungkin agak sulit menemukan pemahaman umumnya. Kata Ningkam dalam bahasa Dawam artinya lilin madu, dan Haumeni artinya cendana. Cendana merupakan tanaman yang pada ratusan lalu mendominasi perbukitan seluruh pulau Timor, namun kini cendana menjadi sesuatu yang langka dan sulit ditemukan. Bukan karena masyarakat di sana serakah menebas cendana sembarangan, tetapi lebih disebabkan salah kebijakan dari pemerintah setempat yang memaksa warga untuk menjual cendananya kepada pemerintah. Pemahaman arti Ningkam Haumeni itu sendiri kemudian jadi beragam ketika ditanyakan ke satu persatu kepada tiga suku tersebut. Tapi semuanya mengarah hal yang sama, hormatlah kepada ibumu yaitu bumi yang telah menghidupkanmu dengan baik.
“Ningkam Haumeni bagi kami bukan saja mengenang merayakan kemenangan masyarakat Mollo dalam membela tubuhnya. Tetapi merupakan simbol persatuan kami, Amanatun, Amanuban dan Mollo. Kami harus teguh dalam membela dan menjaga alam kami. Masih banyak wilayah kami harus diselamatkan dari keserakahan yang mengedepankan uang dan bukan keselamatan alam tempat hidup kita, titipan tuhan,” jelas Tetua Adat Amanatun, Petrus Nenabu, 63, yang juga keturunan Raja Nenabu.
Dalam cuaca dingin dan selalu berkabut, jauh dari keramaian kota, tidak tersedianya listrik yang memadai, dan juga kurang dukungan dari pemerintah setempat, serta keterbatasan, namun masyarakat Tiga Batu Tungku tetap khidmat dan sungguh-sungguh menggelar Festival Ningkam Haumeni. Seperti yang telah disebut sebelumnya festival ini dilakukan di area adat yang dikeramatkan masyarakat adat Mollo, Nausus dan Anjaf, lokasi yang juga pernah dijadikan kegiatan operasi perusahaan tambang marmer yang telah merusak wajah Anjaf. Lokasi festival berjarak kurang lebih 140 km dari ibukota NTT, Kupang, atau bisa ditempuh selama dua jam dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Mereka juga mendirikan beberapa rumah khas adat yaitu Lopo. Para peserta diinapkan di lopo-lopo (rumah khas adat setempat) atau di rumah camp tersisa bekas tinggal karyawan tambang marmer. Kawasan itu dijadikan sebagai “rumah belajar” masyarakat Tiga Batu Tungku. Seperti berbagi informasi, mencari solusi atas berbagai persoalan di wilayahnya masing-masing. Tempat ini juga dijadikan tempat “workshop kecil” bagi mereka yang ingin menambah pengetahuan terkait dengan bertani atau bertenun. Lebih dari itu mengembalikan kembali citra diri mereka sebagai suku-suku berbudaya tinggi yang menjunjung keharmonian hidup dengan alamnya.
Meski serba seadanya, para masyarakat Tiga Batu Tungku mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam memeriahkan festival. Mereka memakai pakain dari tenun ikat khas terbaiknya. Dari tenun ikat ini pula, terutama dengan motif-motif yang dikenakan, satu dengan lainnya saling mengenal identitas asal suku mereka. Pada festival pertama dihadiri sekitar 500-an peserta. Para mama dari tiga suku ini memamerkan kebolehannya dalam menenun, dan memperlihatkan kecintaan mereka terhadap tenun ikat. Masing-masing suku juga saling menunjukkan budaya masing-masing. Dari bonet hingga tarian dan bermusik.
Festival kedua tetap dilakukan pada tanggal 29 Mei lalu dan dihadiri sekitar 3000-an masyarakat Tiga Batu Tungku. Saat itu jelas sekali festival digelar dalam suasana “prihatin”. Karena saat itu kebanyakan dari masyarakat Tiga Batu Tungku yang sebagian besar adalah petani mengalami gagal tanam jagung. Jagung merupakan tanaman pangan pokok masyarakat TTS. Hujan yang berkepanjangan membuat mereka sulit untuk menentukan musim tanam. Untuk kabupaten TTS yang memang kebanyakan adalah masyarakat Tiga Batu Tungku, tercatat ada 40 desa yang telah teridentifikasikan mengalami kerawanan pangan yang parah. Hingga September 2010, terdapat 1.481 desa di 201 kecamatan NTT mengalami resiko rawan pangan karena gagal tanam dan panen. Lahan pertanian yang gagal panen dan tanam, mencapai 94,395 Ha. Ada 746 desa mengalami risiko rawan pangan tinggi dengan jumlah 189.085 kepala keluarga (data Badan Ketahanan NTT, 2010).
Selain itu, telah terjadi musibah bencana longsor di beberapa desa di Amanatun. Salah satunya bencana longsor di desa Nenoat yang mengakibatkan 67 KK kehilangan kebun dan rumah, serta tiga orang tewas di tempat. Kendati demikian, sebagian besar warga Amanatun yang masih tinggal di pengungsian tetap antusias mengikuti Festival.
Peristiwa longsor di Amanatun menjadi keprihatinan dan kegelisahan tersendiri bagi masyarakat adat Tiga Batu Tungku. Mereka menganggap peristiwa itu sebagai kutukan dari tuhan. Karena tidak hanya Amanatun, Amanuban juga mulai “dikepung” usaha pertambangan. Sejak kehadiran perusahaan tambang itulah masyarakat menyebut segala bencana alam yang datang adalah kutukan karena desa mereka didatangi orang-orang luar serakah.
Bencana longsor yang terjadi di desa Nenoat, Amanatun adalah pertama kalinya. Belum pernah mereka mengalami bencana buruk bernama longsor sejak mendiami tanah Amanatun dari jaman nenek moyang mereka. Bahkan selain longsor, di desa Saihan, lahan seluas 680 Ha mengalami penurunan permukaan tanah secara signifikan dan tergerus gelombang air laut hanya dalam waktu semalam. Masyarakat menenggarai, peristiwa itu terjadi karena adanya percobaan seismic yang dilakukan PT Eni West, Sayangnya mereka memang tidak mempunyai kemampuan untuk membuktikan asumsi mereka.
Petrus Nenabu dan kebanyakan warga Amanatun lainnya menceritakan, tidak lama setelah kejadian longsor di desanya, ada sebuah helikopter berwarna putih berputar-putar di lokasi kejadian. Namun mereka juga tidak bisa memastikan darimana dan milik siapa helikopter yang meraung-raung di atas kejadian longsor tersebut.
Bagi mereka menghadiri Ningkam Haumeni sangat penting. Mereka bisa berbagi pengalaman dan bisa saling menguatkan dan mungkin mencari jalan keluar yang baik bagi masalah di suku mereka. Seperti halnya Amanuban, para peserta dari suku Amantun, datang ke lokasi festival dengan menggunakan truk barang. Mereka menempuh perjalanan selama kurang lebih lima jam untuk tiba ke lokasi festival. Dua truk digunakan mengangkut sekitar 100-an lebih orang. Dari orang yang telah lanjut usia, para remaja laki-laki dan perempuan, para mama bahkan anak-anak. Truk mereka bahkan nyaris tidak bisa melewati jalan yang terputus menuju kota. Hujan terus menerus membuat jalanan desa yang buruk dan sama sekali belum tersentuh pembangunan itu, tergenang air seperti kubangan besar, sehingga truk dan kendaraan apa pun sulit melaluinya. Di antara semua peserta, saat Festival Ningkam Haumeni II 29 Mei 2011 lalu, masyarakat Amanatun tiba paling malam dari peserta lainnya. Meski letih , mereka langsung bergabung dan menerima sambutan adat dari dua suku saudaranya, dalam satu adat Bonet lisan bernilai tinggi. Mereka pun dengan elegan juga memberikan cara penerimaan dengan baik menurut adat mereka.
Festival Ningkam Haumeni dirancang memang bukan hanya sekadar memamerkan nilai-nilai adat dan budaya masing-masing suku. Lebih dari itu Festival ini menjadi ajang pembelajaran berharga bagi tiga suku ini. Terutama terkait dengan makna-makna kehidupan mereka dengan alam yang untuk sebagian kecil generasi muda mungkin sudah melupakannya.
Saling berbagai pengalaman dalam Ningkam Haumeni menimbulkan semangat tersendiri bagi Masyarakat Tiga Batu Tungku. Terutama bagaimana mengembalikan cara pandang masyarakat Tiga Batu Tungku untuk kembali kepada kearifan lokal. Mendorong pengembangan ekonomi di wilayahnya dengan cara tidak merusak alam, demi memperoleh ketahanan pangan. Tenun juga menjadi pembahasan menarik di kalangan para mama yang menekuninya.
Dalam Festival dipamerkan pula berbagai produk-produk lokal terutama tenun ikat, tanaman lokal dari pisang, jeruk, dan berbagai jenis jagung lokal, kerajinan tangan dari anyaman. Ada sejumlah workshop yang digelar dalam festival yang dikemas membumi. Masing-masing peserta diminta memilih yang diinginkannya. Festival memang menjadi proses pembelajaran yang baik bagi masyarakat Tiga Batu Tungku, sehingga tidak ada lagi akar kearifan lokal terserabut dari sana melalui Ningkam Haumeni.
atau dapat pesan lewat 021.759.10687 di hari kerja,
atau dapat pesan dengan mengirimkan email ke info@obalihara.com.
jangan lupa sebutkan lokasimu, agar dapat segera dihitung biaya pengirimannya.
Leave a Reply