Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

2002_Februari_Edisi 131_Sekitar Kita:
Putu Oka Sukanta; Peluncuran Buku & Orasi Kebudayaan
Ade Tanesia

Rambut putihnya menandakan usia yang tak lagi muda Namun Putu Oka Sukanta (63 tahun), sastrawan asal Singaraja, Bali, tak pernah berhenti berkarya. Pada 5 Januari 2002, kumpuln cerpen berjudul “Keringat Mutiara” diluncurkan di Rumah Seni Cemeti, Jogjakarta. Ini merupakan kumpulan cerpen Putu yang dibuatnya antara tahun 1978-1990. Sebelumnya buku ini pernah diterbitkan pula oleh Kalyanamitra pada tahun 1991, dan kini dicetak ulang oleh Lumbung Press.

Lima cerpen dalam “Keringat Mutiara” mengangkat cerita kehidupan kaum marjinal yang selalu menjadi korban penindasan kekuasaan. Kisah-kisah dalam buku ini seakan fragmen perjalanan hidupnya sendiri. Sepuluh tahun (1966-1976) menjadi tahanan politik akibat keanggotaannya di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) telah menyisakan pengalaman getir yang bisa terasa dalam karya-karyanya. Kegetiran pula yang membuatnya lebih bijak dan sangat terasa dalam orasi kebudayaan berjudul “Sastra dan Seni Mendorong Terjadinya Perubahan.”

Salah satu pemikirannya yang menarik bahwa tidak ada seni universal yang bisa dinikmati oleh semua orang, sehingga segmen pasar juga berlaku dalam memfungsikan sastra dan seni. Juga dalam diskusinya, Putu Oka Sukanta memberikan kesaksian sejarahnya, bahwa tidak ada permusuhan esensial antara Lekra dan Manikebu. Apa yang terjadi sebenarnya adalah kedua kubu ini memang direkayasa seakan-akan bermusuhan oleh militer. Orasi kebudayaan ini menjadi sebuah renungan awal tahun 2002, betapa bangsa ini belum selesai membenahi sejarahnya.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *