1997_mula April_Edisi 066_gaya:
Pintu
Setiap pintu memiliki lapisan tertenteu tergantung kebutuhan atau keindahan. Misalnya kalau di tempat umum, pintu kaca memakai tulangan dari kawat, sedang pintu darurat dari metal. Untuk meredam suara, pintu bisa diberi double ‘teakwood’ dan sering terpecik air biasanya dilapisi aluminium sheet, formica, tacon (atau pelapis meja dapur) dan sebagainya. Kebanyakan memang pintu terbuat dari kayu, untuk daerah yang beriklim ekstrim, biasa menggunakan kayu yang kuat sekali.
Untuk ornamennya mulai dari engsel (alat gantung) sampai gagang pintu biasa menggunakan bahan dari metal (aluminium, tembaga atau besi) dan kadang dilapisi dengan bahan lain. Sedang untuk pintu tradisional (pasak, grendel dsb) menggunakan bahan kayu. Uniknya pintu tradisional memiliki elemen dasar yang menjadi dasar penciptaan elemen pintu modern. Misalnya ada semacam alat rahasia yang cuma diketahui pemiliknya untuk membuka pintu yang terkunci dari dalam. Dan biasanya lebih menonjolkan ornamen kebudayaan setempat.
Mulanya pintu digunakan di sekitar Mesopotamia. Saat itu untuk menutup ruang, masih digunakan kain atau kulit binatang. Kemudian pintu-pintu dengan material yang lebih permanen mulai bermunculan bersamaan dengan munculnya arsitektur monumental. Pintu batu biasanya disangga oleh pasak dan bisa ditemui di makam – makam kuno. Sedangkan pintu dari marmer atau pualam ditemukan di masa Kaisar Agustus di Pompei. Lalu kuburan Yunani, tepatnya di Langaza pada tahun 200 tarikh masehi, dijumpai pintu-pintu monumental.
Kita sering mendengar kata pintu hati. Apa hubungannya pintu dengan hati? Ada yang mengatakan bahwa melalui bentuk pintu, bisa terlihat seberapa besar seseorang membuka dirinya untuk berkomunikasi dengan orang lain?
Memang lebih dari sekedar gaya, pintu merupakan batas ambang yang menandai dimulai atau tidaknya sebuah komunikasi antar sesama manusia. Oleh karena itu, pintu dapat berdaun tunggal atau ganda, bisa terbelah menjadi daun atas dan bawah, atau bahkan seluruh tubuhnya terbuat dari kaca. Ada lagi dengan pintu kaca yang seperti cermin, hal ini menandakan posisi orang diluar pintu lebih lemah, karena yang didalam bisa melihat yang diluar, dan tidak demikian halnya dengan orang yang diluar.
Jika melihat pintu pada candi, maka cenderung berukuran sempit, hal ini menunjukkan bahwa candi adalah ruang suci sehingga tidak sembarang orang yang bisa masuk kedalamnya. Ketika berhadapan dengan pintu candi, masa seseorang disadarkan pula, “apakah dirinya sudah cukup suci untuk memasuki candinya?”. Dengan kesadaran itulah seseorang melewati pintunya untuk berkomunikasi dengan Khaliknya.
Contoh lain, pada masyarakat Bali, Pura merupakan tempat ibadah yang sakral. Sehingga dalam pura selalu terdapat candi bentar yaitu gapura yang terbuat dari batu bata berbentuk candi terbelah dua, langsing meninggi dengan hiasan ukiran-ukiran rumit. Fungsi candi bentar adalah batas ambang yang menghalangi pengaruh roh jahat yang berusaha masuk ke halaman pura. Bentuk candi yang terpisah merupakan symbol dari terpisahnya pikiran baik dan pikiran buruk, agar seseorang sebelum memasuki pura membersihkan pikirannya terlebih dahulu. Sebuah pura juga ditandai dengan adanya kori agung atau meru sebagai tengah gunung dan meru sebagai puncaknya. Bangunan kori agung terdiri dari pintu samping yang tidak serta memiliki anak tangga sehingga posisinya lebih tinggi. Pintu utama sengaja dibuat sempit sehingga hanya pas untuk diewati satu orang. Pintu utama inipun hanya dibuka saat para dewa penguasa sedang bersemayam disana. Diatas pintu utama biasanya dihiasi dengan ornamen kepala raksasa yaitu karang bhoma, sang penguasa hutan, putra dari Dewa Wisnu (air) dan Dewi pertiwi (tanah) yang juga berfungsi sebagai penjaga. Di daerah Bali Selatan, hiasan ornamen pintu biasanya diukir di sisi pintu gerbang. Dibanding dengan arsitektur Bali Selatan ya lebih sederhana, maka pintu gerbang dan tembok di daerah Utara dibangun dari batu paras dan memiliki dekorasi yang lebih menyolok. Misalnya ukiran bhuta kala dan makhluk-makhluk seram lainnya digambarkan sangat menakutkan, sehingga diharapkan dapat melawan serangan roh-roh jahat lainnya. Selain itu, terdapat pula gambar-gambar manusia yang sedang melakukan persetubuhan berikut alat kelaminnya. Kedua alat kelamin ini merupakan lambang suci yang mampu melawan kejahatan. Usaha lain untuk mencegah masuknya bhuta (roh-roh jahat), maka dibuatlah aling-aling yaitu sebuah tembok yang dibangun tepat setelah pintu masuk.
Dari cerita mengenai pura Bali, maka akan terlihat bahwa di setiap ambang pintu terjadi ketegangan antar ruang dalam dan ruang luar. Sehingga terjadilah berbagai usaha untuk mengatasi ketegangan itu, misalnya pada rumah biasa ada ruang teras, sebagai tempat relaksasi.
Tingkat ketegangan ini pula yang menentukan desain sebuah pintu, misalnya, pintu rumah tradisional di nusantara rata-rata berukuran kecil dan harus melewati pintu yang tinggi. Bentuk ini memaksa para tamu masuk dengan merangkak dan menunduk, sehingga mereka dipaksa untuk berhati-hati memasuki rumah. Bentuk pintu seperti ini mungkin berdasarkan konsep bahwa rumah adalah juga benteng pertahanan keluarga besar. Lain lagi dengan pintu masuk suatu Istana atau bahkan suatu kota mempunyai gerbang megah, sehingga orang bisa melaluinya dengan menunggang kuda serta membawa panji-panji kebesaran. Pintu gerbang besar juga digunakan sebagai tempat meletakkan ornamen-ornamen yang memperlihatkan kebesaran seorang raja atau bangsa.
Selain mempertimbangakan adanya ketegangan di ambang pintu, maka secara bentuk, pintu pun harus memikirkan segi fungsinya dengan ruang. Pintu utama rumah biasa akan lebih baik jika berukuran besar, karena perlu dipikirkan bahwa pintu ini akan dilalui ornag banyak dan dapat dimasuki barang-banrag besar seperti lemari, piano dan tempat tidur. Lain lagi dengan pintu kamar tidur yang bersifat privasi. Biasanya bukaan pintu kamar menghadap ke dalam rungan dengan maksud dapat mengamankan orang didalamnya. Juga karena alasan privasi, pintu bisa membuka ke arah yang berlawanan agar menutupi isi bagian dalam kamar tidur. Sementara pintu dapur lebih baik menghadap ke halaman luar, untuk mengantisipasi adanya kebakaran. Sedang untuk pintu kamar mandi, bagian dalam pintu dilapisi bahan anti air seperti formica, flesiglass, aluminium atau yang lainnya. Sebenarnya akan lebih baik jika pintu ini tidak terkena air tanpa pelapis. Pintu ternyata tidak hanya berfungsi untuk menutup dan membuka ruang. Tetapi juga menandakan batas-batas komunikasi dalam hubungan manusia. Menunjukkan tawar menawar seseorang ataupun masyarakat dalam membuka dan menutup diri terhadap pihak luar.
Sumber:
Hasil wawancara dengan Mahatmanto, dosen Arsitektur UKOW, Yogykarta.
Ramseyer, Urs, 1997, The Art and Culture of Bali, Oxford University Press.
Hasil perbincangan dengan Wayan Juniarta
Hasil perbincangan dengan Bambang dari TRIACO Consultant.
Majalah ASRI edisi 160 Juli 1996.
Leave a Reply