Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

1995_akhir Desember_Edisi 035_lepas:
Penghargaan untuk Komikus R.A. Kosasih?

Komik, yang merupakan rangakaian gambar bercerita, seharusnya mendapat kedudukan yang sama dengan karya visual lainnya. Kalau ada cabang seni dianggap telah berjasa menyumbangkan informasi, hiburan, dan nilai-nilai, maka komik yang juga sarat dengan kandungan tersebut selayaknya mandapat tempat yang layak. Selama masih tertanam anggapan seperti itu, komikus terbaik pun nampaknya semakin hilang dari ingatan orang. Barangkali tidak relevan untuk membandingkan perkembangan dan eksistensi komik di luar dan di dalam negeri. Namun, ada baiknya jika kita mengetahui bahwa sebagai produk kebudayaan (seni) populer, komik mendapat tempat yang layak di berbagai negara maju. Terbukti dengan diberikannya hadiah Pulitzer bagi komik Mauss karya Siegelman (1992 ). Memberi penghargaan kepada komikus dalam negeri, nampaknya masih belum terlambat. Untuk ukuran Indonesia, mungkin Raden Akhmad Kosasih, penggubah komik wayang Mahabrara dan Ramayana, adalah tokoh yang pantas untuk menerimanya. Karyanya patut dibanggakan. Bahkan tidak hanya karena memiliki kehalusan seni, tapi juga sarat dengan nilai-nilai. Beliau termasuk salah satu pelopor buku komik Indonesia yang masih hidup. Teman seangkatannya, Ardisoma dan John Lo, telah lebih dahulu menyusul para pendahulu mereka seperti Kho Wan Gie, Nasroen AS, Zam, Nuldyen, dan Abdulsalam. R.A. Kosasih dilahirkan tahun 1919 di bogor. Memulai karirnya sebagai illustrator, di Department Pertanian Bogor. Mulai tahun 1953 sampai 1987, ia memantapkan diri sebagi komikus. Lewat karyanya, komikus ini mempopulerkan kesakralan nilai dalam wayang kepada masyarakat luas, termasuk dari kalangan etnis non-Jawa. Nama-nama tokoh dunia wayang menjadi lebih muda diingat. Artinya, jauh sebelum slogan pelestarian budaya bangsa didengung-dengungkan, R.A. Kosasih telah lebih dahulu melakukannya dalam bentuk yang mudah dipahami. Bila pencipta Sri Asih, Siti Gahara dan Cempaka ini menjadi komikus wayang, itu karena ia ingin membuat tandingan bagi serbuan komik asing ke Indonesia pada tahun ’50, ’60-an. Ia menjadi komikus produktif dengan lebih dari 100 karya dalam berbagai judul. Sayangnya, penghargaan tak juga kunjung datang, termausk pada saat peringatan 50 tahun Kemerdekaan RI ini.

(Zelfry, Anggota Kajian Komik Indonesia, FSUI)

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *