2000_Mei_Edisi 112_gaya:
pemborosan
Ade Tanesia/Rohman Yuliawan
Pemborosan Pertama Di Dunia!
Siapakah yang pertama kali berperilaku boros di bumi ini? Adam dan Eva. Ketika mereka berada di Taman Eden, maka Tuhan mempersilahkn mereka untuk mengambil segala sesuatu yang dibutuhkannya saja. Lalu ada larangan tertentu untuk tidak mengambil sebuah apel. Ternyata Eva sangat tertarik dengan buah ini. Bentuknya yang indah sungguh membngkitkan seleranya. Mulailah ia tergoda unutk memetiknya, padahal segala kebutuhannya sudah terpenuhi. Pada akhir cerita, kita tahu bahwa Adam dan Eva akhirnya dibuang ke bumi akibat tak mampu menahan keinginan, yang sebenarnya tidak diperlukan. Inilah perilaku boros pertama di dunia.
Saat itu bulan September 1999, Alexander Okropildze melangkahkan kakinya dengan mantap di etalase-etalase mewah Mall Manezh. Tak terpikir sedikit pun bahwa hari itu ia akan mengalami nasib naas di pusat perbelanjaan termewah dan terbesar di kota Moskwa. Ledakan bom tiba-tiba memporak porandakan kenyamanan ruang Mall Manezh. Kelompok antikonsumerisme di Rusia mengaku bertanggung jawab terhadap kasus pemboman itu. Mall Manezh yang menjadi symbol perayaan ulang tahun Moskwa ke-850 ternyata mengundang dendam untuk sebagian masyarakat Rusia yang tak dapat menikmatinya. Di antara puing-puing pemboman itu tergeletak sebuah selembaran yang berbunyi “Para konsumen, kami tidak suka dengan gaya hidup Anda dan kami menjadi ancaman Anda”. Seperti halnya Alexander Okropildze, kadang kita tak sadar bahwa perilaku berbelanja yang dianggap berlebihan atau boros dapat mengakibatkan dampak hebat yang berasal dari kesenjangan dan kecemburuan sosial.
Perilaku boros memang tengah menjadi sorotan publik. Pada hari hak-hak konsumen dunia dinyatakan bahwa perilaku ini semakin menjangkiti kelompok kelas menengah di negara berkembang. Seorang eksekutif bisa saja menghabiskan satu juta rupiah hanya dalam hitungan jam di sebuah mal. Sebuah penelitian psikologi justru mengatakan bahwa perilaku tersebut merupakan penyakit. Para psikolog menyatakan bahwa stress mental merupakan akar dari perilaku ketagihan belanja. Dr. Wlliot, spesialis dalam masalah konsumen di Universitas Lancaster berkata bahwa 61 pasiennya mengalami stress, kecemasan atau depresi. Mereka merasakan kesenangan kecil saat menghamburkan sejumlah besar uang, biasanya dengan kartu kredit. Para pasiennya membeli begitu banyak benda dan hanya digeletakkan begitu saja. Saat sampai di rumah seringkali mereka hanya memasukkannnya ke dalam almari karena terbesit rasa bersalah telah mengeluarkan uang begitu banyak.
John Sekora yang meneliti sejarah kemewahan mengatakan bahwa seseorang dikatakan boros saat dirinya membeli sesutu yang melampaui kebutuhan atau keperluannya. Atau saat makna kebutuhan semakin menjadi keinginan tak terpuaskan. Hal yang leboh mengenaskan, kini keinginann seseorang terhadap sebuah benda pun bisa dibentuk dan diarahkan. Hampir setiap menit dalam kesehariannya, manusia dihadapkan pada berbagai tawaran benda-benda menarik lewat iklan di media massa. Benda bukanlah sekedar benda, tapi diisi dengan nilai-nilai tentang kepercayaan diri, cinta , genggsi, kecantikan, kenyamanan, identitas kelompok dan lain-lain. Seseorang tak lagi mengkonsumsi barang berdasarkan nilai pakainya, tapi lebih pada muatan citra yang disimbolkan oleh sebuah benda. Marshall Sahilons, seoranga antropolog malah mengidentikkan benda dengan totem. Jika di masa lalu masyarakat mengidentifikasi dirinya dengan symbol-simbol totem berupa tanaman dan hewan. Maka masyarakat modern menggantikannya dengan benda-benda buatan pabrik. Misalnya sebuah jam Cartier bukan sekedar penunjuk waktu, tapi juga menandakan bahwa pemakainya berasal dari kalangan elit.
Akhirnya, jati diri seingkali dibentuk oleh produk yang tujuan akhirnya hanyalah meggiring seseorang untuk membeli dan membeli tanpa henti. Berbagai implant yang ditawarkan benda-benda juga menghantar siapapun yang sedang mengalami stress untuk datang menghampirinya. Tentu saja untuk menguras kocek … dan kita pun diperdaya untuk menjadi boros lagi. Hingga lupa bahwa begitu banyak sesama yang masih memerlukan uluran dari kelebihan kita.
Leave a Reply