1997_awal Mei_Edisi 068_lepas:
Pasar Malam Cheng Ben
Pasar mala mini merupakan bagian dari selamatan pabrik gula sebelum memasuki musim giling tebu. Selamatan ini dari dulu disebut Cheng Ben, konon diambil dari bahasa Tiong hoa. Dengan adanya Cheng Ben, diharapkan proses penggilingan suskses, tidak ada peralatan produksi yang rusak.
Biasanya di acara selamatan ini, pihak pabrik menanggap teater tradisional Jawa yaitu ketoprak, dan wayang kulit. Selain itu, diadakan pasar malam di sebidang tanah kosong dekat pabrik. Para pedagang kaki lima dan hiburan pasar malam bisa berjualan di tempat itu.
Yang menarik adalah hiburan keliling untuk anak-anak, terdiri dari kereta mini, tong setan, kuda putar, rumah hantu dan berbagai permainan ini diadaptasi dari Belanda. Dengan awak yang cukup besar, mereka berkeliling sampai ke kota-kota lain.
Hiburan keliling yang ada di pasar malam Cheng Ben adalah milik Pak Prapto dari Jl. Baron, Wonosari. Usaha hiburannya sudah berjalan hampir 15 tahun. Biasanya ia mendatangi acara keramaian tradisional di Yogyakarta. Misalnya acara Rebo bongkosan, Upacara Bekakan Saparan di Gamping, Cheng Ben. Untuk setiap pertunjukan, Pak Prapto harus mengeluarkan uang sampai Rp. 400.000,-, untuk ongkos angkut, awak kerja, ijin, dan sewa tempat. Menurutnya, kalau ramai pengunjung, dalam waktu satu malam uang tersebut sudah bisa kembali.
“Pasar malam kecil-kecilan seperti ini biasanya hanya ramai 2 malam pertama, dan dalam waktu itu sudah bisa diraih keuntungan”, ungkapnya.
Masa panen hiburan keliling ini adalah selang 1 suro sampai 7 suro.
“Semasa bujang, saya bisa berkeliling sampai Bali dan Lombok, mengikuti hiburan keliling kakak saya”, tambah Pak Prapto yang memang lahir dalam keluarga “penghibur keliling” ini.
Untuk memelihara peralatannya, Pak Prapto harus menumpuknya di areal yang cukup luas. Jika peralatan tidak dibangun, ada kemungkinan cepat rusak di makan rayap, seperti rangka kayu untuk permainan tong setan, juga besi-besi kereta dan kuda putar yang bisa cepat berkarat.
Pasar malam dengan hiburan permainan keliling ini nampaknya sudah menjadi hiburan rakyat. Ketika mereka tidak bisa ke dunia fantasi, tong setan dan kuda putar pun sudah bisa menyenangkan anak-anak kecil di desa-desa.
Sumber:
1. Wawancara dengan Pak Prapto, pemilik hiburan keliling di Yogyakarta
2. Dr. Mr. Ida Anak Agung Gede Agung, 1993, Kenangan Masa Lampau Zaman Kolonial hindia Belanda & Zaman Pendudukan Jepang di Bali , Yayasan Obor Indonesia.
Leave a Reply