1996_ mula Januari_Edisi 036_seni:
Pak Dim & Punggung Becaknya
Ketika becak dilarang hilir mudik di wilayah Jakarta, ada pemandangan yang hilang dari tangkapan mata kita, yaitu lukisan pemandangan yang sering menjadi penghias alat transportasi ini. Ya….kita kehilangan pemandangan gunung, kita pun kehilangan pemandangan gubuk di tengah sawah menguning.
Begitu sering pemandangan alam menjadi objek lukisan di becak. Dengan paduan warnanya yang meriah. Lukisan pemandangan ini telah menjadikan becak pun menjadi pemandangan yang menarik pula. Buktinya, tidak sedikit kemeriahan becak diabadikan oleh para fotografer atau pelukis.
Adalah Dimyati yang menjadi salah satu tokoh pemberi sentuhan keindahan becak. Entah berapa banyak punggung becak yang telah dijadikan kanvas oleh pria kelahiran Jawa Tengah ini. Mengaku tidak pernah secara khusus belajar melukis, Pak Dim berkisah bahwa ia mulai terpicu untuk mengakrabi kuas dan cat minyak sejak kunjungan pertamanya ke Pasar Seni Ancol.
Ketika becak didapuskan di Jakarta, Pak Dim belum memulai usahanya sebagai penjual lukisan becak. Baru setelah hijrah ke Kelurahan Beji-Depok, ia melihat peluang bahwa becak masih bisa menjadi, bisnis yang menguntunkan. Ternyata perkiraan bapak beranak empat ini benar, dari hasil penjualan becak dan upah melukis, dalam sebulan dapat mengantungi uang sekitar Rp. 350.000,-
“Untuk sebuah lukisan saya cuma perlu sekitar 7 kaleng cat. Semuanya habis Rp. 7.500,-. Saya bisa jual Rp. 30.000,-“ tutur Pak Dim.
Meskipun menerima pesanan untuk melukis beragam objek, melukis pemandangan adalah kegemarannya. Jadi, jangan heran bila becak keluaran Pak Dim meriah dengan danau, sungai, gunung dan hamparan sawah.
Leave a Reply