Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

Obrolan NFT Libra Libre

Written in

by

Belum lama ini, 21 Maret 2023, diberitakan di banyak media sosial, dunia fotografi dihebohkan dengan diluncurkannya 120 foto koleksi Getty Images dalam format NFT (Non-Fungible Token). Banyak komentar pro dan kontra ditujukan pada biro foto dunia tersebut. Koleksi berjudul 70s Music & Culture Collection yang menyodorkan kompilasi foto musisi-musisi ikonik seperti Jimi Hendrix, Elvis, David Bowie, Stevie Nicks, The Rolling Stones itu memang bukan ‘koleksi biasa’.[1]

Sebelumnya, di dalam negeri, kehebohan NFT ditandai dengan tenjualnya karya selfie: “Ghozali Everyday” yang konon mencapai nilai fantastis 314 ETH atau lebih dari satu juta dolar (pada saat itu) di pasar OpenSea.[2] NFT adalah format karya seni untuk masa depan. Karya ini tercatat di dalam sebuah jaringan komputer yang mendekati kekal, terdesentralisasi, tersimpan dalam rupa ‘kesepakatan pandai’ (smart-contract), sertifikat digital yang menandai hak cipta dan kepemilikan.

Setelah kehebohan yang terjadi lebih dari satu tahun lalu itu, kini fenomena karya NFT mulai ‘kalem’. Karya NFT tidak hanya untuk dinikmati, diperjual-belikan dan dikoleksi karena nilai-nilai estetikanya, yang kemudian dapat mendorong eksistensi pemiliknya. Kini, lambat laun banyak karya NFT yang menjadi penanda bahwa pemiliknya adalah bagian dari suatu kelompok yang memiliki persamaan nilai-nilai humanis dengan dirinya.

Secara teknis, memiliki karya NFT sebenarnya memiliki dua hal, yaitu: sebuah berkas digital dan sebuah metadata[3] dari karya tersebut. Berkas digital itu dapat berupa apa saja, seperti foto, komik, musik, video. Sedangkan metadata adalah berkas yang berisi informasi tentang karya digital, seperti: judul, ukuran, nama pembuat, waktu, dan lain-lain. Kedua data digital tersebut dicatat dalam rantai-blok (blockchain), sebuah ‘buku besar’ yang terdiri dari ribuan komputer yang bertugas melakukan pencatatan, verifikasi dan otentikasi. Memiliki karya NFT berarti memiliki karya digital yang tersertifikasi kepemilikan dan otentisitasnya di dunia virtual, khususnya di dunia Web 3.0.[4]

Goresan sederhana Libra, yang muncul dari hasil pemikiran mendalam Rahmat Riyadi, dianggap mampu menggetarkan sanubari dengan caranya yang sederhana – menertawai diri sendiri. Konon menertawai diri itu merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh orang yang sudah dewasa. Kedewasaan yang dibutuhkan untuk menghadapi dunia yang makin berisik dan bebas nilai ini.

Karya-karya asli Libra berupa goresan tinta di atas kertas atau kanvas, oleh MataWaktu ditransformasikan ke dalam bentuk NFT, untuk kemudian disimpan di dalam dompet kriptografi. Dengan mengoleksi karya NFT Libra, pengoleksi seakan juga telah menyatakan dirinya sebagai manusia dewasa yang berani menatap masa depan dengan teknologi web 3.0 – teknologi yang mengembalikan pengguna internet sebagai subyek, bukan sekedar sebagai komoditi. Pemilik karya NFT O Libra Libre memberi tanda pada dunia bahwa dirinya adalah seorang pendukung gerakan humanis progresif yang telah dewasa.

NFT Libra Libre karya Rahmat Riyadi bersama MataWaktu diluncurkan pula sebagai penanda telah bergulirnya sebuah eksperimentasi.

Eksperimentasi itu berupa pembangunan platform digital yang dinamai DAO (Decentralized Autonomous Organization) Bergerak. Platform berteknologi Web3.0 ini merupakan perangkat otomatisasi organisasi yang terdesentralisasi. Semangat yang diemban oleh platform ini adalah bagaimana banyak manusia sepemikiran dapat saling membantu banyak gerakan, membangun Indonesia.

DAO Bergerak adalah sebuah alat pengelolaan kumpulan manusia yang egaliter, transparan dan bebas sensor. Mekanisme otomatis ini dipercaya dapat munculkan berbagai kesepakatan bersama secara efektif dan efisien, gerakan patungan untuk suatu proyek yang mencerdaskan publik dan munculnya karya-karya NFT yang mencerahkan. Tiga program utama ini berada dalam sebuah Decentralized Application (dApp), yaitu aplikasi digital berbasis rantai-blok. Platform digital ini penting, sehingga para anggotanya untuk berfokus pada kerja merealisasikan imajinasi.

Platform ini diharapkan akan membentuk suatu ekosistem yang terbuka, egaliter dan transparan. Sebuah dunia virtual yang pararel dengan kehidupan nyata – karena dunia yang ada sekarang sudah terlalu terselemuti oleh begitu banyak lapis kosmetika.

Karya NFT merupakan satu dari banyak pintu masuk untuk memperkenalkan teknologi web 3.0. Teknologi, merupakan ‘sekedar’ alat bantu. Teknologi web 3.0 adalah masa depan yang sedang berjalan menghampiri secara cepat. Adalah tergantung kita masing-masing apakah akan menggunakannya untuk mengembalikan esensi manusia sebagai subyek kehidupan.

Misan Harriman
Fotografer yang pada 2020 banyak munculkan karya terkait gerakan ‘Black Lives Matter’, percaya bahwa dengan teknologi rantai-blok, banyak kebaikan kembali dapat diusahakan.

[1] Diunduh dari https://nftnow.com/news/getty-unveils-first-nft-drop-featuring-stevie-nicks-david-bowie-and-more/ 26 Maret 2023, pukul 12.01

[2] Diunduh dari https://www.lifestyleasia.com/kl/tech/ghozali-everyday-indonesian-boy-nft/ diunduh 26 Maret 2023, pukul 12.51

[3] Data mengenai data yang lain

[4] Seperti kita ketahui, teknologi web 2.0 pada umumnya memposisikan pengguna internet sebagai komoditi, di mana aspek kepemilikan dan otentisitas banyak dipertanyakan. Di dalam teknologi web 3.0 internet ‘berusaha’ mengembalikan posisi  pengguna sebagai subyek.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *