2000_Januari_Edisi 108_gaya:
Nyaman dengan serat sintetik
Uke R. Kosasih
Teknologi sering berhasil membawa kita ke batas angan yang paling jauh sekalipun. Pernahkah sebelumnya terlintas di benak kita bahwa seorang Versace akan mampu menghasilkan gaun gemerlap dengan menyisipkan ribuan staples mini?. Tidak hanya itu, oleh teknologi pula kita diajak untuk berpakaian dari bahan yang sama dengan bahan dasar amplop!
Ketika abad baru hanya sepenggalan kaki di muka, segera saja kita digiring untuk membiasakan kulit tubuh bersentuhan dengan serat-serat sintetik. Sebenarnya, kecenderungan menggunakan serat sintesis untuk bahan pakaian sudah mulai menggejala sejak tahun 1996, yang pada waktu itu mencuatkan semboyan “nature is out” dan “join with the new plastic look”. Hanya saja, berbarengan dengan demam millennium, serat sintetik kembali digarap oleh banyak perancang. Sederet perancang kerap berkarya dengan serat buatan ini, seperti Jill Sander yang memilih bahan acetate (dari serat bubu kayu), Donna Karan yang menggunakan kertas dicampur olefin, Doice & Gabbana yang melapisi jas hujannya dengan formika, dan Prada yang banyak memakai bahan nilon.
Mengapa serat sintetik banyak dipilih?
Jawaban termudah adalah karena serat sintetik memungkinkan para perancang mendapatkan campuran warna yang sesempurna yang mereka kehendaki. Lacroix, misalnya. Dapat merancang setelan warna magenta pilihannya dari bahan polystere. Selain itu, serat sintetik mudah kering, bahkan ada yang tak perlu di setrika. “Serat sintetik kompak dan seberat serat alam. Lateks tidaklah seaneh yang orang kira,” tutur Liaza Bruce, perancang yang juga berpendapat bahwa snosbisme kelas menengahlah yang membuat serat sintetik seolah tidak berharga dibanding wol atau sutera. Mungkin sikap ini pula yang menyebabkan para pecinta lingkungan masih harus berjuang untuk melindungi binatang yang kerap diburu untuk dijadikan komoditi penunjang mode.
Semakin banyak jenis
Ada tiga jenis serat sintetik yang saat ini sudah meluas penggunaannya oleh masyarakat, yaitu nilon, acrylic, dan polyster. Dari ketiga jenis itu, nilon adalah tekstil pertama yang dibuat dari serat sintetik (mulai ditemukan pada tahun 1910 dan diproduksi secara masal pada tahun 1939). Setelah itu, baru acrylic dan polyster. Saat ini, deretan nama serat sintetik malah semakin panjang saja, karena para perancang pun tak henti-hentinya bereksperimen untuk menghasilkan bahan yang mereka idamkan. Miyake bahkan memiliki tim khusus untuk menciptakan baha-bahan baru. Dari hasil kerja keras semacam itulah muncul nama-nama “futuristic: dalam dunia mode seperti, neoprene, yang terbaut dari karet sintetik, atau polyamide, yang dapat menimbulkan efek “cair” pada pakaian.
Penggunaan serat sintetik memang makin berpeluang besar. Kelemahannya, seperti dianggap tidak menyerap keringat, telah ditutupi oleh bantuan teknologi yang memungkinkan kain lebih “bernafas”. Tidak hanya itu, faktor musim dan cuaca yang semakin tidak beraturan dan semakin diperburuk oleh serangan hama adalah ancaman serius bagi pertanian kapas. Kegagalan panen di negara penghasil kapas terbesar, seperti Cina, India, dan Pakistan, telah mengharuskan pabrik-panbrik tekstil dunia mengimpor dari Amerika yang artinya ada tambahan biaya yang tidak kecil.
Leave a Reply