Tembok di lantai enam itu terbuat dari gypsum. Ia dipenuhi berbagai poster pameran dan pengumuman kadaluarsa. Tembok itu adalah satu dinding yang menyambut saya saat keluar dari lift – sambutan yang tidak merusak suasana hati. Saat itu hari ulang tahun ke-71 Republik Indonesia mendekat. Saya ingin membuat sesuatu.
Indra Bhakti bersemangat ketika diajak ngobrol mengenai rencana menanggapi tembok yang tidak bermartabat itu. Empat lembar papan kayu lapis berukuran 122 x 244 cm dan beberapa kaleng cat akrilik pun dipesan.
Beberapa minggu kemudian, lukisan empat bapak pendiri bangsa pun muncul – menempel pada tembok itu. Ada Tan Malaka, Soekarno, Hatta, dan Syahrir di depan syair Indonesia Pusaka. Warna merah hampir mendominasi empat lebar kayu lapis yang ditempel pada dinding dengan paku. Bagian bawah dibiarkan memunculkan warna kayu yang dibiarkan apa adanya. Lambang negara, Garuda Pancasila mengantung di sisi kirinya, tidak di atas, tidak di bawah, segaris dengan bagian dada para pendiri bangsa. Di sisi kanan terdapat dua pigura. Satu pigura berisi Marilyn Monroe, yang lain Karl Marx. Simbol dari kapitalisme Amerika dan pemikir yang sering disalah-artikan.
Pernah di suatu siang saya duduk di hadapan mural itu, di antara dua pintu lift. Di tengah hiruk pikuk, hilir mudik mahasiswa atau dosen yang tidak acuh, saya memutar beberapa video dokumenter hitam putih. Saya proyeksikan video-video itu pada bidang (yang agak kosong) di bawah dua pigura pada mural, menonton video tanpa suara, mendengarkan lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki dan Indonesia Raya karya WR Supratman. Sebuah siang yang absurd.
Dengan mural ini, Indra Bhakti berhasil mengilustrasikan empat bapak pendiri bangsa dengan sederhana. Saya menjadi menunggu saat-saat untuk keluar dari lift di lantai enam itu. Saya merasa ada kesenangan tersendiri disambut dengan sesuatu yang sederhana dan bermartabat, karena menurut saya, itulah Indonesia Raya.
Selamat ulang tahun ke-71 Indonesia.
Leave a Reply