2001_September_Edisi 128_Nuansa:
Mosaik
Rohman Yuliawan/Ade Tanesia
Carlo Bartelli, dalam bukunya, Mosaic, mengatakan “seni mosaik telah mengaliri zaman laiknya sebatang sungai melalui padang pasir nan tandus menghilang kemudian muncul lagi”.
Warnanya tak pernah pudar, bahannya kuat sehingga tetap kokoh sekalipun diterpa hujan, ditimpa panas, disengat dingin bahkan terkubur berabad-abad lamany. Tidak heran jika seni mosaik menjadi sebuah pilihan bagi orang-orang yang ingin menciptakan sebuah keabadian dalam karya seni. Pristiwa-peristiwa besar atau tokoh-tokoh raksasa zaman Yunani kuno diabadikan dalam mosaik. Ketika Filipus dari Makedonia wafat pada 336 M, dan digantikan oleh Alexander Agung, jadi mitos besar dinegerinya, langsung saja beliau diabadikan oleh para seniman Yunani dalam bentuk mosaik monumental. Alexander Agung dilukiskan sedang mengendarai kuda perangnya. Mosaik epos ini tentu, tak hanya menang dalam tema dan cerita. Tetapi juga dalam detail, bahkan presisi kebentukannya. Dalam hitungan global, mozaik berukuran besar ini diperkirakan terdiri dari hampir 2 juta keping! Seni mosaic kuno berakar dari keinginan mendasar pada ketertataan dan hiasan. Lima ribu tahun lalu Bangsa Sumeria menciptakan pola mural dengan menempelkan tanah liat yang diwarnai pada dinding, dan pada abad ke 3 SM bangsa Yunani mulai mengembangkan mosaic representasional dari batu kerikil yang tidak dipotong. Semenjak masa itu, masyarakat lampau mulai memanfaatkan “potongan” batu, keramik, kaca, cangkang, plastik dan berbagai ragam bahan lainnya untuk menciptakan mosaik pada bermacam bangunan, ruang dan dengan aneka tujuan. Mosaik bisa dikerjakan pada bermacam tempat, interior maupun eksterior, perabot, perhiasan maupun aneka benda-benda dekoratif.
Mosaik juga banyak diketemukan di bekas kekaisaran Romawi dengan beragam gaya dan genre dari gambar dewa-dewa sampai gambaran kehidupan sehari-hari, siluet monokromatis, hewan ataupun desai-desain abstrak. Pada masa Kaisar Justinian (518-527M), pengaruh Romawi, Barbarian dan Timur memunculkan gaya Byzantium, Kemudian sebagai kelanjutan dari tradisi Byantium, mosaik dengan segera menjadi media dekorasi gereja-gereja Kristen. Mosaik gereja San Vitale di Ravenna, ibu kota kekaisaran terakhir di Italia, menggambarkan pencapaian seni mosaik.
Lalu di masa Renaisans mosaik mengalami kemunduran, namun pada pertengahan abad ke 15 mulai diproduksi bubuk kaca dalam jumlah besar di Murano dan berkembanglah karya-karya baru yang dipengaruhi perkembangan seni lukis. Dialog yang mengagumkan tercipta antara seni lukis dan mosaic, masing-masing media saling meniru dan mencoba menggali efek-efek ilusionistis. Panel-panel mosaik dikerjakan dengan tesserae menghasilkan permukaan yang halus, sementara lukisan interior digarap menyerupai mosaik keemasan. Namun baru pada abad ke 16, seni mosaik Renaisans mencapai pucak dengan karya St Peter Basilica di Roma yang memiliki kualitas lukisan. Ghirlandaio menyebut karya tersebut sebagai “Lavera pittura per L”eternita” (cara untuk menciptakan lukisan abadi).
Pada abad ke 18 Roma menasbihkan diri sebagai pusat mosaik, dengan didirikannya sebuah studio mosaik, dengan tujuan menciptakan karya umental lain menyusul karya St Peter. Historisme elektik abad ke 19 memperlihatkan kembalinya berbagai bentuk seni dan kerajinan, termasuk mosaik yang semakin umum dikerjakan dan makin berkembang dengan munculnya beberapa kelompok seniman mosaik yang mengerjakan karya-karya publik ukuran besar (termasuk untuk Katerdral St Paul di London dan gedung Paris Opera). Bengkel mosaik Antonio Salviati di Murano menjadi contoh kesuksesan dengan melakukan reproduksi mosaik untuk di ekspor ke seluruh dunia.
Saat bangkitnya Art Nouveau, mosaik mulai memperoleh pola murni, bentuk abstrak dan ragam hias. Pola imitative telah ditinggalkannya. Banyak bangunan di kota-kota besar, terutama di Paris, Barcelona dan Prague, mengembangkan dekorasi mosaik yang ‘kasar”, dan karya-karya mosaik di Barcelona diwarnai oleh karya janggal dari seorang arsitek, Antonio Gaudi. Pengaruh Gaudi seolah membuka jalan bagi kebebasan ekspresi dalam seni mosaik, mendorong para seniman semacam Klim, Changgal dan Kokoschka untuk membuat desain dengan media abadi ini.
Perjalanan panjang mosaik nampaknya tidak banyak mempengaruhi seni di Indonesia. Perkembangan seni ini baru muncul di tahun 1960-an, seiring dengan dibangunnya beberapa hotel internasional seperti Hotel Indonesia di Jakarta, Hotel Pelabuham Ratu di Jawa Barat, Hotel Ambarukmo di Jogyakarta, Hotel Sanur di Bali. Mosaik pun sekedar diperlakukan sebagai elemen interior, bukan ekspresi seni. Salah satu seniman Indonesia yang pernah mencoba teknik mosaik sebagai karya seninya adalah Soekanto dengan lukisan-lukisan mosaiknya. Pria yang belajar masalah intelijen di Jepang pada tahun 1962 ini menyempatkan dirinya untuk mempelajari teknik mosaik gaya Okinawa. Teknik ini bisa diselesaikan dengan cepat dan lebih efisien. Sejak itulah, Sokanto seakan tak pernah berhenti menggarap lukisan mosaik yang ditatanya dari pecahan keramik. Dan kini, generasi baru seniman mosaik Indonesia sedang dititi oleh Benny Achmadi, Membuat karya seni mosaik memang membutuhkan kesabaran, ketelitian yang luar biasa. TIdak heran jika di Indonesia, seniman mosaik bisa dihitung dengan jari. Memilih media ini memang didasari dengan kecintaan, bukan sekedar memproduksi karya seni yang cepat jadi dan cepat dijual.
Leave a Reply