Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

2000_Juni_Edisi 113_bahas :
menyehatkan kota dengan taman
Yoga/Joni Faizal

kuambil buluh sebatang
kupotong sama panjang
kuraut dan kutimbang dengan benang
kujadikan layang-layang…………..
dan kubawa ke tanah lapang
hati gembira dan riang……….

Mungkin anda masih ingat penggalan lagu anak-anak ini. Sangat sederhana, bercerita tentang kegembiraan seorang anak saat membuat layang-layang yang dibawanya ke tanah lapang. Tanah lapang adalah ruang terbuka yang dirindukan setiap anak-anak. Ketika sebuah kota tak menyisakan sedikitpun ruang lapang milik semua orang, maka yang tinggal adalah penduduk berhati dingin dan kering tanpa kegembiraan. Akhirnya kebutuhan akan ruang terbuka dalam bentuk taman-taman menjadi sangat krusial dan bukan sekedar kosmetik kota.

Susah juga hidup di kota Metropolitan. Mau minum bayar, padahal harga air minum lebih mahal dari pada harga bahan bakar. Jika harga bahan bakar naik masyarakat menolak berdemonstrasi, sedangkan saat harga air mineral (diam-diam) naik, tidak ada yang protes. Ternyata bahan bakar lebih penting. Ternyata bahan bakar lebih penting dari pada air minum. Buktinya, masyarakat tidak akan sembarangan memilih bahan bakar untuk kendaraannya, karena takut kendaraannya akan rusak. Sedangkan untuk dirinya, mereka pasrah pada air dan udaranya yang sudah tercemar. Aneh, mereka sama sekali tidak khawatir akan kesehatan dirinya.

Sebagai Jasad Hidup
Ibaratnya makhluk hidup, maka terdiri atas jasmani kota (city’s hardware) dan rohani kota (city’s software). Jasmani kota menjadi metabolisme (pencernaan/penyaluran) kebutuhan dan pembuangan sisa-sisa), kardiovaskuler (peredaran darah/kelancaran lalu lintas) nervous (persyarafan/ jaringan komunikasi) dan skeletal (petualangan/fasilitas umum dan fasilitas sosial). Sedangkan rohani kota, berupa aspirasi kehidupan warga kota terhadap ekonomi, politis, sosial, budaya, dan keagamaan. Paham biologisme yang diuraikan oleh N. Daldjonie (1991) ini mencoba menerapkan fungsi biologis pada kehidupan kota. Artinya, kerusakan yang terjadi pada salah satu sistem akan mempengaruhi pada sistem lain.
Badan yang sehat memiliki peredaran darah yang sehat pula. Peredaran yang sehat sangat dipengaruhi oleh kesehatan jantung dan paru-paru. Jantung sebagai ruang terbangun (dengan kegiatan di dalam ruang) dan paru-paru (dengan kegiatan di luar ruang) merupakan simpul dan pembangkit kegiatan kota. Ruang Terbangun seperti kantor, pasar, sekolah, rumah sakit, dan rumah ibadah merupakan bangunan vital bagi kegiatan kehidupan kota.Sementara ruang terbuka dipenuhi oleh jalur hijau jalan, bantaran kali, rel kereta api, jaringan tegangan tinggi, hutan kota, kebun raya, taman pemakaman, taman lingkungan dan taman kantor atau rumah.

Kota Sehat Warga pun Sehat
Ide kota sehat berkembang sejak abad ke 19, saat Renovasi Industri menyisakan degradasi lingkungan kota dengan kasus kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas, pencemaran udara, air, tanah dan peningkatan kriminalitas. Setumpuk masalah yang terus menumpuk hingga kini.

Dari sekian elemen ruang terbuka kota, taman kota memiliki peranan yang sangat menonjol dalam wajah lanskap kota dan wadah kegiatan terbuka bagi warga kota. Di taman kota warga dapat melepaskan penatnya kehidupan dengan bersantai berkreasi, bermain, dan seabrek aktivitas bebas selama 24 jam penuh setiap hari. Konon, manusia Indonesia menghabiskan sebagian kegiatan hidupnya di ruang luar (outdoor personality). Letak taman kota di tempat-tempat strategis jantung kota dan diapit jalan utama kota, ibarat mata air kehidupan kota.
Swastanisasi Taman Kota

Menurut sebuah laporan, biaya operasional taman kota di Jakarta hanya Rp. 300 per meter per segi. Jumlah ini 73,3 kali dari biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah Singapura untuk hal yang sama atau 22,000 rupiah per tahun. Tentu saja hal ini kemudian menjadi alasan menjaga begitu banyak taman kota di Jakarta yang terbengkalai.
“Kalau uang sebesar itu biaya bisa untuk biaya potong rumput, mengapa tidak diswastanisasikan saja,” ungkap Ir, Yadi Nirwana Yoga dari KeSALI—Kelompok Studi Lanskap Indonesia—yang saat ini sedang membuat proyek percontohan taman kota di Jakarta Pusat yang layak dikunjungi dan punya nilai jual.

Menurut Yudi, upaya swastanisasi taman kota, perlu dilaksanakan. Hal ini sebagai upaya memberdayakan masyarakat, baik warga kota maupun pihak swasta. “Bisa saja sebuah taman dinamai dengan perusahaan yang bersangkutan,” papar Yudi memberi contoh Sony Park, Coca-cola Park atau apapun, seperti Taman Gunung Agung di Jakarta Pusat. Selain mendapatkan nama baik dari taman yang dikelolanya, perusahaan juga bisa memasang reklame dengan bentuk dan ukuran tertentu di taman tersebut.

Meskipun swastanisasi bisa menjadi salah satu solusi mengatasi rumitnya permasalahan taman kota, hal ini, menjadi sia-sia jika tidak dibarengi oleh sikap rasa memiliki terhadap keberadaan taman. Untuk itu, kata Yadi, konsep pemberdayaan dan keterlibatan masyarakat terhadap taman perlu digalakkan. Misalnya, melibatkan masyarakat sejak mulai perencanaan, pembangunan hingga pemeliharaan. Dengan cara tersebut diharapkan pemeliharaan akan lebih efisien karena masyarakat sekitar taman sendiri yang kelak akan menjaga tamannya. “Jadi, kalau corat-coret atau kegiatan apa pun yang dapat merusak keindahan taman, masyarakat bisa langsung menegurnya, tanpa perlu menunggu Pemda,” ungkap Yudi.

Pola kemitraan dengan masyarakat tersebut yang kini sedang dipelajari oleh KeSALI di dalam rencana usulannya. Bersama Suku Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota Jakarta Pusat di antaranya, Taman Kerawang, Taman Suka Bumi, Taman Pasuruan, dan Taman Lumajang.

Kalau pengelolaan taman sudah dibiayai sendiri oleh masyarakat, bukan berarti uang untuk pengelolaan beralih ke kocek orang-orang Pemda, tapi justru sebaliknya Pemda diharapkan membangun lebih banyak lagi taman-taman kota yang menjadi hak masyarakat.

Alun-Alun, Konsep Ruang Terbuka Asli Jawa
Alun-alun atau aloon-aloon bisa dikatakan sebagai “taman kota” tertua dan orisinal Jawa. Setidaknya yang tersisa dari situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur yang merupakan peninggalan Majapahit (1314 M) dan disebutkan dalam kitab Negarakertagama. Dikatakan orisinal, terbukti dari asal katanya berasal dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), dan bukan Sansekerta. Kata halun-halun mungkin diasosiasikan dengan suatu tempat yang memiliki sifat telaga dengan riak yang tenang. Sifat ini diperlukan oleh konsep kekuasaan Jawa sebagai integrator segala keragaman: peran, aspirasi dan tradisi.

Menarik untuk dicermati bahwa alun-alun memiliki orientasi persegi, apakah itu segi empat, bujur sangkar ataupun, jajaran genjang. Zoetmulder (1935) menyebutkan, kepatuhan ini berkaitan erat dengan mencopot sebagai pusat orientasi orang Jawa dalam hubungannya dengan empat unsure keberadaan bahwa: air, bumi, udara, dan api. Selain itu, terdapat pula tiga hubungan utama alun-alun, yaitu istana yang berada di Selatan, masjid yang berada di sebelah Barat dan pasar atau peken yang berada di Utara alun-alun. Konsep ini pula yang kemudian diadaptasi colonial untuk diterapkan di kabupaten, karesidenan serta kewedanan di Jawa.

Dari masa ke masa fungsi alun-alun tidak banyak berubah, mulai dari kegiatan sakral, ritual, kenegaraan, hingga tempat bersantai. Alun-alun Solo dan Yogyakarta misalnya, masih terdapat upacara grebek dan pesta rakyat sekatenan. Dan sebagian masyarakat pun percaya, tanaman yang berada di alun-alun mempunyai kekuatan gaib sekaligus memberi makna simbolik yang kadang sulit dimengerti. Di alun-alun pula rakyat Mataram melakukan laku pepe atau duduk berjemur diri, laku pepe ini dipakai rakyat untuk menyampaikan aspirasinya kepada raja sampai raja berkenan keluar istana menuju alun-alun dan mengajak berdialog. Sementara dalam kehidupan sehari-hari, alun-alun di kota Yogyakarta misalnya, tetap digunakan oleh anak-anak yang ingin bermain sepak bola, olah raga, latihan drumband, dan berbagai kegiatan lainnya. Alun-alun menjadi suatu oase masyarakat dari segala kebisingan kota.

Mamasuki pintu halamannya kujumpai pohon-pohon yang kabur karena malam sudah turun. Rumahnya bagai kotak penuh cahaya dan jendela. Ia duduk main piano nampak punggungnya dan rambutnya yang panjang dua jalinan.
Inilah tempat yang damai diaman gelora dosa diredakan. Tempat membasuh kaki yng payah yang telah berjalan dengan resah menempuh kekosongan. Di sini urat-urat ditenangkan setelah menggelepar sia-sia kerna gairah dan gelora remaja. Melewati berlusin pemberontakan berlusin kekalahan dan berlusin kenakalan yang menghadang bencana, kutemuilah juga hiburan ini. Segelas air dingin dan kasih sepasang mata.

Piano menggemakan keindahan dan peradaban; kursi-kursi, bunga-bunga, dan gambar-gambar menjinakkan darahku.
Pelan-pelan kudekati ia dari belakang. Pelan-pelan kujamah kedamainnku. (Karya Rendra)
Memasuki pintu halamannya, akan dijumpai sebuah rumah mungil, sedikit kuno dengan halaman cukup luas yang ditumbuhi rerumputan liar. Di beberapa tempat malah rumputnya setinggi lutut orang. Beberapa pohon besar meneduhi halaman rumah. Rumah itu kini bercat putih dengan jendela-jendela kayu besar berwarna hijau dan beranda kecil di depan rumah. Konon Rendra menyebutnya sebagai rumah serupa korek api. Mungkin karena bentuknya kotak berukuran kecil,/ Betuk-betuk kotak.

Inilah rumah dalam puisi Rendra berjudul “Jalan Sawo Jajar 5”, Milik Ibunda dari Sunarti Soewandi, isteri pertama penyair besar ini. Kini rumah itu ditinggali oleh Henny, keponakan dari Sunarti Soewandi, Wimo Ambala Bayang, mahasiswa fotografi Institute Indonesia merekam kembali sudut-sudut rumah bersejarah ini.

“Sesama gadis dan saat berpacaran dengan Rendra, Sunarti masih tinggal di rumah ini. Menurut cerita Tante Narti, Oom Rendra dulu sering memandangi dirinya bermain piano dari jendela itu. Saat Eyang berangkat kerja, Oom Rendra baru masuk pagar dan menjumpai Tante Narti. Biasanya dia hanya membawa Tante Narti jalan-jalan ke alun-alun atau beli es,” ungkap Henny saat ditemui [aikon!]. rumah mungil itu memang dahulu disemarakkan dengan musik dan penuh cahaya.
Ayahanda Sunarti adalah pemusik klasik Keraton Ngayogyakarta semasa HB VIII. Menuruni bakat ayahnya. Sunarti pun gemar menyanyi seriosa dan bermain piano, seperti yang ada dalam puisinya…”Ia duduk main piano Nampak punggungnya dan rambuntnya yang panjang dua jalinan.”

Jalan Sawo Jajar 5. Rupanya rumah kecil ini begitu menggores di hati sang penyair yang saat itu masih mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada. Seperti pengakuannya dalam buku “Proses Kreatif Saya Sebagai Penyair,” ia mengatakan bahwa di permulaan tahun masa mahasiswa ia mengalami keadaan rohani dan pikiran yang stoned dan trance. Lalu jatuh cinta dan menikah. Di rumah Sawo Jajar 5 inilah rendra jatuh cinta. Apa yang digambarkan Rendra lewat puisinya..”betapa pohon-pohon besar merimbun di halaman,” kini masih tegak berdiri. Namun rumah yang dikatakannya bagai kotak dan penuh cahaya dari jendela, kini tampak suram seolah tak terurus. Bahkan rumah itu tidak lagi kotak, karena telah dibangun beranda di depan rumahnya. Jendela rumah yang besar telah membiarkan orang di jalanan atau gerbang depan akan melihat peristiwa di dalamnya. Tidak heran jika Rendra melihat “seorang gadis main piano,” Kini piano tersebut telah dibawa ke Jakarta. Kedamaian, keteduhan dan ketentraman yang ditawarkan rumah ini di masa lalu pada pemuda Rendra kini mulai tersaput waktu.

Berdasarkan letak geografis, sungai Maro dan Sungai Wango berada pada Lintang Selatan 080.03°-080.28° dan Bujur Timur 1400.20°-1400.58°. Sungai Maro merupakan batas alam kawasan Taman Nasional Wasur sebelah Barat Laut hingga Utara dan pada bagian tengah bercabangan dengan sungai Wanggo yang berada di sebalah Utara. Secara keseluruhan batas TN Wasur dari sebelah Barat Laut hingga utara dibatasi oleh Sungai Maro dan Sungai Wanggo. Muara sungai Maro berhadapan dengan Laut Arafuru, sedangkan muara Sungai Wanggo pada pereangan dengan Sungai Maro. Hulu sungai Maro bergerak ke arah utara mengikuti garis batas negara antara RI-PNG hingga Muting, sedangkan hulu Sungai Wanggo kearah Timur menyeberang perbatasan RI-PNG hingga memasuki wialyah PNG. Lebar mulut muara sungai Maro kurang lebih 2 km dan ke arah hulu semakin menyempit hingga percabangan dengan sungai Wanggo kurang lebih 30 m lebar badan air. Panjang Sungai Maro yang membatasi kawasan TN Wasur adalah 660 km dan panjang sungai Wanggo adalah 10 km.

Sejak lama sungai Maro telah digunakan sebagai salah satu jalur transportasi bagi masyarakat dan kapal-kapal pengangkutan barang untuk pembangunan kawasan pemukiman transmigrasi. Di sepanjang sungai Maro terdapat desa-desa tradisional dan kawasan pemukiman transmigrasi. Di sepanjang sungai Maro terdapat desa-desa tradisional dan kawasan pemukiman transmigrasi. Kawasan pemukiman tradisional seperti desa Erambo, Toray, Poo, Sermayam dan Kuper. Sedangkan kawasan pemukiman transmigrasi seperti Agrindo, Mimi, Tanah Miring dan Kuprik. Selain itu ada dua desa dan tiga kampong yang telah disensus dan berada di tepi sungai Maro sebelah dalam kawasan TN Wasur yaitu desa Soa (165 jiwa), dessa Tambat (278 jiwa), kampong Bokrum (89 jiwa), kampong Yakot Papisliki (137 jiwa), Kampung Nggalor II (362 jiwa). Selain desa-desa yang telah disebutkan di atas masih banyak lagi kelompok-kelompok kecil masyarakat yang hidup di sepanjang tepi sungai Maro. Umumnya mereka mendirikan bivak/shelter tradisional; di dekat dusun-dusun (kebun) alam sagu (Metroxylon sagus).

Di samping itu, Sungai Maro juga merupakan sumber air untuk memenuhi kebutuhan desa-desa yang berada di tepi sungai tersebut. Naik untuk mandi, cuci, kakus, juga untuk berenang dan pengairan irigasi persawahan daerah pemukiman transmigrasi. Di tepi-tepi badan sungai sering dijumpai kolam-kolam mata air yang digunakan sebagai sumber air minum.
Bagi masyarakat setempat, Sungai Maro merupakan sebuah berkah karena sumber daya alamnya bisa dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri atau dijual. Jenis satwa dan tumbuhan yang dikonsumsi antara lain ikan (kakap, ikan duri, mujair rawa, ikan Sembilan dll), udang, sagu dan kelapa. Sedangkan jenis tumbuhan dan satwa yang dijual seperti bamboo, sagu, kelapa, bagian dari pohon Nipah sp, ikan arwana (dengan harga sangat variatif dari Rp. 1.500.3.000/per ekor anakan), ikan kakap batu (dengan harga Rp. 50.000/ per ekor, jenis ikan ini agak sulit di dapat) buaya (saat ini sudah menurun/ atau langka, harga buaya untuk ukuran 10 inchi kurang lebih Rp. 65.000,-) dan kura-kura (kurang lebih Rp. 15.000-25.000).

Secara ekologis Sungai Maro dan Sungai Wanggo berhubungan dengan anak cabang sungai yang hulunya pada daerah-daerah rawa atau kolam, baik yang berada di dalam maupun di zona peyangga (sekitar luar) kawasan TN Wasur. Selain itu ada daerah oxbox lake yang terbentuk akibat memutuskannya dan berubahnya aliran Sungai Maro sejak beribu-ribu tahun lalu. Pada saat musim kemarau daerah rawa, kolam dan obox lake terputus dengan badan air utama sungai Maro dan Wanggo, sehingga daerah-daerah tersebut akan terisolasi antara 6-9 bulan. Pada saat musim hujan tiba permukaan air di daerah-daerah tersebut (rawa, kolam, dan oxbox lake) akan mulai meninggi dan luber menyebar ke segala arah dan akhirnya mengalir ke badan air utama sungai Maro dan Wanggo, lamanya masa banjir antara 3-6 bulan. Daerah sungai Maro dan Wanggo serta rawa, kolam dan oxbox lake merupakan habitat bagi berbagai satwa dan tumbuhan asli TN Wasur. Hutan riparian dan hutan bakau air tawar merupakan tempat untuk berkembang biak burung-burung air dan pesserin TN Wasur. Begitu eratnya badan sungai Maro dan Wanggo dengan daerah-daerah lain yang berada di dalam dan sekitar kawasan TN Wasur, sehingga menjadi sangat rawan terhadap bahaya persebaran tumbuhan eksotik bahaya persebaran tumbuhan eksotik di seluruh daerah kawasan TN Wasur.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *