2000_ September _Edisi 116_seni:
menonton penonton
Ade Tanesia/Rohman Yuliawan
“Masih segar dalam ingatanku, bagaimana Bapak melemparkan rokok Gudang Garam keratonnya ke panggung Tarling. Bapak bilang, rokok itu adalah tanda bahwa dirinya sangat menyukai pentas kelompok Tarling itu, yang sengaja diundang dalam hajatan pernikahan orang terkaya kampung kami.”
Penonton memang punya banyak cara untuk mengekspresikan responnya terhadap sebuah sajian kesenian, entah itu pertunjukan teater, musik, atau seni rupa. Sebuah rokok atau uang recehan yang dilemparkan ke atas panggung bisa menjadi ukuran suksesnya sebuah pertunjukan. Suara riuh….huhhhhhh….bisa membuat frustasi seorang performer, karena huhuhuhhhh….adalah symbol ketidaksukaan penonton terhadap tampilannya. Seringkali kita melihat penonton yang begitu histeris dan menangis saat menikmati pertunjukan kelompok musik idolanya. Bahkan Konser musik Pearl Jam di Denmark pada bulan Juli lalu telah memakan korban 9 orang tewas akibat gencetan antara penonton.
Beragam reaksi penonton ini menunjukkan bahwa penonton punya karakternya tersendiri. Misalnya saja, untuk musik aliran punk, ska, hip metal, memiliki penonton yang fanatik. Tanpa memperhatikan apakah penampilan kelompok musiknya bagus atau tidak, tapi kalau sudah membawa aliran musik kesukaannya, maka penonton akan meresponnya secara positif. Gaya respon mereka juga sangat khas, yaitu melakukan gerakan mousing, pow go, head banging, atau stage diving.
Untuk kelompok musik Indonesia seperti Slank, Dewa 19, RIF, biasanya mereka melakukan uji coba lagu barunya di kota-kota tertentu seperti Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan Bandung. Penonton Yogyakarta terkenal akan daya kritisnya dalam menilai sebuah lagu. Hal inilah yang menyebabkan respon penonton Yogyakarta selalu menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan sebuah album. Menurut Ari B. Prasetyo, pengamat musik dari Yogyakarta, Kota gudeg ini merupkan tempat penting karena selain penontonnya heterogen yang terdiri dari berbagai suku bangsa di Indonesia, mereka juga dikenal dikenal “atos” atau keras, artinya kalau memang musiknya jelek, mereka akan diam seribu bahasa. “Anak-anak Yogya itu tidak termakan nama besar. Contohnya, waktu pementasan Dewa 19 terakhir, sambutannya kurang meriah, dan benar….kasetnya kurang laku. Mereka biasanya memperhatikan lirik musik, irama, emosi penonton. Boleh dibilang penonton Yogya itu main “rasa”. Kalau kontak rasanya pas dengan musik tertentu, maka sambutan mereka tidak basa-basi,” ujar Ari B. Prasetya, Nia, yang cukup rajin menghadiri berbagai pertunjukan menambahkan bahwa besar kelompok bisa menjadi daya tarik, namun tidak selalu menjamin kualitasnya. Sebagai contoh, Iwan Fals yang pernah pentas di auditorium UGM dua tahun silam sangat mengecewakan. Hampir senada dengan Nia, Thomas yang menyukai pertunjukan musik, menempatkan kualitas penampil sebagai tolok ukur utama, namun juga berpendapat polesan teknologi, seperti kemegahan panggung, tata cahaya yang mantap serta sound yang jernih juga menjadi nilai plus satu pertunjukan.
Lain musik pop, lain pula musikklasik. Musik-musik recital plano juga sering diadakan di kota gudeg ini. Berapa penonton yang cukup menyenangi musik ini mengatakan bahwa menikmati musik klasik juga punya gaya tersendiri. Misalnya kita tidak bisa terlalu ekspresif, juga akan aneh kalau ada celetukan-celetukan. Pokoknya nonton musik klasik lebih resmi rapih alias tidak bisa brutal.
Kalau respon penonton pertunjukan lebih mudah dipantau, maka penonton pameran seni rupa lebih sulit terdeteksi. Buku kesan dan pesan merupakan salah satu alat deteksi yang masih digunakan hingga saat ini. Di Yogyakarta ada anekdot bahwa tujuan utama seseorang datang ke pembukaan pameran adalah menyantap suguhannya, bertemu teman, dan apresiasi justru menjadi prioritas terakhir. Wah??? Biasanya agar respon penonton lebih terlacak, maka banyak pameran yang juga menggelar acara diskusi tentang gagasan dan karya tertentu, seperti yang rutin dilakukan Galeri lontar, Jakarta.
Kiat-kiat respon penonton juga bisa dilakukan lewat angket. Hal ini selalu dilakukan oleh Teater Grasi di setiap pamerannya. Cara itu pun agak sulit, karena banyak orang yang malas mengirim kembali angket tersebut, Berbeda dengan pertunjukan tradisional yang respon penontonnya diungkapkan lewat lemparan rokok atau uang, maka penonton pertunjukan teater modern biasanya hanya tepuk tangan, tertawa, atau kalau tidak membosankan, penonton bergegas meninggalkan bangkunya alias pulang…mengenaskan memang. Mengatahui respon penonton memang sangat penting, karena sebanarnya tanpa mereka, sebuah karya seni hanya akan menjadi benda diam tak berarti.
Leave a Reply