1997_akhir Juli_Edisi 073_bahas:
Menjadi siapa dan apa saja dengan kostum
Ada banyak yang dapat ditegaskan dengan selembar kostum. Pemakaiannya tidak hanya sekedar dapat melindungi tubuh, tapi juga dapat menampilkan karakter yang diinginkan. Karena itu, kostum dapat dikategorikan sebagai salah satu bahasa yang menyampaikan pesan secara tersirat.
Kostum tidak hanya semata atribut pertunjukan. Kostum dapat pula menjadi atribut identitas dari sebuah pranata sosial. Seorang wanita tidak akan disebut sebagai seorang Geisha bila tidak berdandan dan berpakaian secara khusus Bahkan seorang ratu pun hanya akan terlihat sebagai ibu rumah tangga biasa bila tanpa jubah dan tiara menghiasai kepalanya.
Tapi memang, dengan selembar kostum, seseorang dapat dalam sekejap menjadi siapa atau apa saja.Seorang Didi Petet dapat menjadi Julius Caesar dalam balutan kostum karya Harry Darsono. Seoran buruh harian dapat berlagak sebagai bangsawan yang anggun dalam pesta topeng di Karnaval Venesia. Dengan kemampuannya merubah citra, tidak berlebihan bila kostum disebut alat transformasi, yang dapat mengantarkan pemakainya ke berbagai sikap dan sifat yang berbeda.
Menciptakan Geisha
Jepang tidak hanya sohor karena Sonny dan tamagochi, hewan elektronik yang kini sedang menjadi kegandrungan baru anak-anak di berbagai negara. Jepang tidak hanya terkenal karena para pemain sumonya. Jepang adalah nama yang juga dapat langsung menampilkan sosok wanita berkimono di benak kita. Kimono memang sesuatu yang tidak dapat dipungkiri sebagai citra kuat bangsa Jepang. Beberapa restoran di Indonesia yang menyuguhkan menu Negeri Bunga Sakura bahkan merasa perlu untuk menjahitkan beberapa set kimono bagi para pelayannya yang berasal dari Yogya, Bandung, atau Medan. Citra Jepang dapat diwakili oleh kimono, sekalipun dipakai oleh orang Indonesia yang bermata bulat dan berkulit sawo matang…begitu kira-kira pemikiran para pemilik restoran tersebut.
Wanita dan kimono adalah wujud Jepang. Tapi, wanita, kimono, ditambah dengan bedak putih dan gincu bibir merah menyala adalah penampakan seorang Geisha, wanita yang biasa menemani dan menyanyi untuk sekumpulan pria yang tengah melepas kapenatan.
Tidak banyak yang tahu bahwa pada awalnya, yaitu abad ke-17, para Geisha yang muncul di tempat-tempat hiburan di kawasan Tokyo dan Osaka adalah para penari dan pemain musik pria. Baru pada abad ke-18, profesi ini diambil alih oleh kaum wanita, dan bertahan hingga saat ini.
Profesi Geisha, yang bertahan hingga hampir 4 abad lamanya, adalah profesi yang hubungan dengan industry pemuasan hasrat kaum pria. Namun, walaupun demikian, Geisha bukanlah pelacur. Kewajibannya adalah “menjual” impian tentang kemewahan, romantika, dan ekslusifitas kepada para pria Jepang dari kalangan yang paling berkuasa dan makmur. Di restoran atau kedai teh kelas atas di mana para pengusaha sering mengadakan negoisasi, Geisha akan menungkan sake dan menjaga agar percakapan mengalir lancar. Dan untuk layanan seperti itu, para pria harus membayar ribuan dolar.
Saat ini, bila ada wanita Jepang yang tertarik untuk menjadi Geisha, biasanya karena ia mempunyai bayangan romantic atau kecintaan pada seni tradisional bangsanya. Pada abad ke-19, pakaian dan dandanan para Geisha pernah menjadi acuan dari trend mode dan kebudayaan populer di Jepang. Namun, setelah kebudayaan Barat menyerap masuk, perhatian orang mulai berpaling, meninggalkan para Geisha yang tetap tidak berubah hingga saat ini.
Mengenal Geisha adalah mengenal para wanita di balik pupur putih yang menghidupkan sebuah keindahan. Melalui pakaian dan rias muka, sikap dan kepiawaian bertutur kata serta bermain musik, mereka menciptakan citra ideal seorang wanita. Semua itu adalah wujud harga diri dan pengorbanan seorang Geisha.
Menemukan Keindahan Masa Lalu
Masa lalu ternyata tidak selalu berarti keterbelakangan, karena banyak pula keindahan yang telah tercipta. Sayangnya, tidak semua peninggalan itu dapat kita lihat. Kalau pun ada yang dapat kita nikmati hari ini, banyak di antaranya memerlukan kerja keras untuk “melahirkannya kembali”.
Rekonstruksi bisa jadi merupakan keahlia National Geographic. Para awak majalah bulanan yang terbit sejak lebih dari 100 tahun lalu ini tidak saja berhasil melakukan rekonstruksi pada mural Bonampak hingga kita dapat mengetahui bagaimana kostum para petinggi agama dan pemerintahan, para pemusik, dan para serdadu di masyarkat Maya berabad lalu. Tidak hanya itu, dari sebuah mumi anak perempuan, yang ditemukan di puncak gunung Ampato, Peru pada tahun 1995, dapat diketahui bagaimana pakaian lengkap yang dikenakan oleh anak tersebut pada saat dijadikan korban persembahan. Rekonstruksi tersebut tidak hanya berhasil memberikan gambaran lengkap tentang warna pakaian, tapi juga tentang penyemat perak (yang diberi nama “tupu”) dan hiasan kepala dari bulu unggas.
Beberapa hal yang memungkinkan keberhasilan rekonstruksi tersebut antara lain adalah ahli yang handal;, data, dan komputer. Dengan bantuan perangkat komputer,mural Bonampak, kata dalam bahasa Maya yang berarti dinding bergambar, saat ini dapat dilihat jelas. Untuk itu diperlukan waktu beberapa tahun Pada tahun 1992, Enrico Ferorelli ditugaskan ke Bonampak untuk mengambil foto berwarna dari mural yang telah dibersihkan. Dilanjutkan pada tahun 1993, dua orang lainnya melakukan penjiplakan foto Ferorelli yang telah diperbesar di atas lebar acetate. Diperlukan waktu tiga hari untuk melengkapi gambar mural di atas acetate yang tidak mungkin dapat ditampilkan oleh foto karya Ferorelli. Setelah itu, pekerjaan komputer pun dimulai. Foto karya Ferorelli dipindai ke dalam komputer. Dengan menggunakan pena elektronik, ditambahkan pada foto-foto tersebut beberapa detail yang berhasil digambar di atas lembar acetate dan beberapa detail yang dari hasil foto infra merah. Hasil karya komputer inilah yang kemudian menampilkan Bonampak dalam keadaan yang hampir sempurna.
Kostum Ketoprak Teater Tradisional Jawa Tengah
Ketoprak merupakan teater tradisional yang muncul 1887 di kalangan kaum petani di daerah Palbang, Klaten. Bentuk ketoprak awalnya menggunakan halaman rumah sebagai tempat pementasannya, mereka bernyanyi dengan iringan bunyi lesung (alat untuk menumbuk padi). Saat itu, kostumnya sangat sederhana yaitu pakaian sehari-hari para petani.
Namun dalam perkembangan bentuknya, kostum ketoprak memiliki empat jenis yaitu kostum kejawen, kostum mesiran, kostum basahan dan kostum gedhog. Pemakaian setiap kostum harus disesuaikan dengan lakon yang akan dimainkan. Kostum kejawen misalnya digunakan hanya lakon-lakon mulai jaman kerajaan Denmark hingga mataram, atau lakon yang sudah disadur kedalam kebudayaan Jawa, seperti Joko Sudiro yang aslinya cerita China berjudul Sie Jien Kui. Kostum kejawen terdiri dari celana panjil-panjil cende, baju surjan, kebayak, leni/blenggen, ikat blangkon, lembaran, kemben, kubuk, kuluk ( untuk upacara raja dan menteri-menterinya).
Kostum mesiran dipakai untuk memainkan cerita-cerita dari Timur untuk memainkan cerita-cerita dari Timur Tengah seperti dongeng seribu satu malam, Aladin. Biasanya pakaiannya ala Timur Tengah, memakai sorban celana panjang, glombyor, kemeja panjang, rumpai, jubah ubel dari kain polos, simbar yang dibuat dari kain bludru yang dibordir.
Kostum basahan adalah jenis gabungan antara pakaian kejawen dengan mesiran. Biasanya digunakan untuk cerita-cerita bernafaskan Islam (cerita menak) seperti Wali Sanga di jaman Demak. Kostum basahan biasanya menggunakan kain batik dibagian bawah tapi dipadukan dengan jubah ala mesiran.
Yang keempat adalah kostum Gedhog yang dipakai saat memainkan lakon di jaman Majapahit seperti Damarwulan, Pancapana Indrayana, Anglingdarmo, dll. Model gedhog ini mulai dikenal tahun 1958 ketika ketoprak RRI Yogyakarta mengadakan pentas Damarwulan di gedung CHTH. Kostum ini terdiri dari tropong, jumang dan sumping, ketat bahu, binggel dan gelang.
Aturan pemakaian kostum ini sudah menjadi pakem, dan biasanya digunakan untuk ketoprak konvensial. Untuk membuat kostum ketoprak yang baik, perancangnya harus memahami secara detil cara berpakaian masyarakat di jaman kerajaan tertentu. Mungkin konsultasi dengan seorang sejarawan sangat diperlukan, sehingga tidak hanya busananya yang dipelajari, tapi juga bentuk hirarki masyarakat di jaman tertentu.
Jika sebuah kelompok ketoprak akan memainkan cerita baru seperti Cleopatra, Sampek Eng Tay, maka kostum yang digunakan juga harus mengikuti jaman. Misalnya Sampek Eng Tay akan memakai kostum cina, atau lakon Suminten dan kostumnya ala Jawa Timur.
Saat ini porsi humor semakin besar dalam pertunjukan ketoprak. Kostum-kostum yang mengundang tawa penonton juga mengundang tawa penonton juga dibutuhkan, misalnya pada pertunjukan ketoprak plesetan, tokoh pangeran yang mengenakan surjan tidak membawa keris, melainkan pistol-pistolan dari plastik. Atau seorang tokoh pendekar desa bernama Damarwulan mengenakan ikat kepala, tetapi diatasnya ditaruh bulu ayam. Bagi para pecinta ketoprak konvensional, kostum seperti ini tentunya menganggu pandangan mata.
Dari Hollywood sampai Teater Lembaga
Adrian, bagi para pemerhati sejarah perfilman Holywood, akan diingat sebagai perancang kostum terkemuka di era ’30-an. Pria kelahiran Naugatuck, Connecticut pada tahun 1903 ini tidak hanya berhasil mendanai tubuh Greta Garbo dalam film Camille, tapi juga sukses mendukung pemunculan karakter-karakter unik dalam Wizard of OZ.
Awal karir Adrian di Holywood dimulai dari ajakan Natacha Rambova, yang menawarkan pembuatan film karya suaminya yang terbaru. The Hooded Falcon. Kesempatan selanjutnya adalah menggarap kostum untuk film-film karya sutradara kawakan, Cecil B. De Mille. Dari kesempatan inilah Adrian mulai menapakkan kakinya di pusat industry film dunia. Ia mendapat kebebasan penuh untuk mencipta. Ia bebas menggunakan kain sutra Perancis, sulaman, bulu unggas, bahkan permata untuk rancangannya di berbagai film terkenal, termasuk Anna Karenina dan Mata Hari. Namanya lantas saja identik dengan film drama dan komedi kontemporer.
Kostum adalah alat penegas bagi karakter para pemain. Karena itu, ketika terjadi perubahan dalam pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh film-film keluaran Holywood, Adrian pun menyadari bahwa pada saat itu pun ia harus merubah rancangannya. Peranan berubah begitu pula kostum, demikian kiat Adria. Dan perubahan inilah yang mengantarkannya kearah penciptaan pakaian siap-pakai, yang berpotongan lebih sederhana.
Dari semua karya yang berhasil mencuatkan nama Gilbert, film kolosal Marie Antoinette bisa jadi merupakan film yang paling menguras tenaganya. Tidak tanggung-tanggung, dalam film ini Adrian merancang 4.000 helai kostum untuk seluruh pemainnya!
Berbicara tentang jumlah kostum yang fantastis, di Indonesia pun baru mencuat nama Harry Darsono sebagai perancang kostum untuk pementasan Julius Caesar karya Teater Lembaga. Untuk sebuah lakon karya Shakepeare ini Harry Darsono, yang ternyata memang pernah mengeyam pendidikan di London Film and TV Academy untuk Stage Production, bertanggung jawab atas terciptanya 104 helai kostum. Tentu saja ia tidak bekerja seorang diri ada banyak murid-muridnya, antara lain Stevanus Hammy, yang terlibat dalam proyek besar perancang kondang ini.
Ada satu misi yang ingin ditempuh oleh Harry Darsono lewat rancangan kostum ini. Ia ingin memperkenalkan dan mengembangkan sebuah cabang seni, yang mungkin masih terdengar asing di Indonesia, yaitu kostum Cobtemporary Costume dan Art to Wear.
Adrian dan Harry Darsono, mungkin karya mereka tidak dapat kita bandingkan. Sebuah gaun anggun yang dikenakan oleh Greta Garbo, tentu saja berbeda dengan gaun menerawang yang dipakai oleh Tamara Bleszynski. Satu hal yang mungkin dapat dibandingkan antara keduanya adalah transformasi karakter pemain. Apakah kostum ciptaan mereka berhasil membangun karakter seperti yang diarahkan dalam scenario?
Sumber:
National Geographic, Vol. 188, No.4, October 1995
National Geographic, Vol. 189, No.6, June 1996
National Geographic, Vol. 187, No.2, Februari 1995
Mitlbank, Caroline Rennolds. Couture: The Great Fashion Designers, Thames and Hudson, 1985
“Ketoprak plesetan (1991-1992); Reproduksi Tanah dan Pesan”
Skripsi oleh Ade Tanesia Depok: 1993
The World Book Encyclopedia USA ; 1975
Leave a Reply