Bazaar Art Jakarta 2016. Di Ballroom Ritz Carlton, lantai lima Pacific Place, Jakarta 25-28 Agustus 2016.
Menurut informasi dari penyelenggara; 42 galeri mewakili 550 seniman menampilkan 1,650 karya, terlibat di perhelatan tahunan yang ke delapan ini.
Tidak berbeda jauh dengan suasana di mal untuk konsumen tingkat atas pada umumnya, suasana di ruang seluas 7,500 meter persegi itu dingin, rapih, ramai. Pengunjung yang umumnya wangi dan trengginas melihat-lihat dan berfoto di depan ribuan karya yang ditampilkan dalam ruang-ruang sementara yang dibentuk oleh tembok-tembok putih tinggi dengan papan-papan nama galeri dipasang di satu ujungnya.
Di satu sudut, tergeletak karya Yayoi Kusama: Pumpkin. Karya ini merupakan versi mini dari karya yang serupa yang ada di Gandaria City Mall.
Citra perhelatan ini dikelola dengan kosmetika serba luar-negeri. Penyelenggara benar-benar berusaha menggelar ‘peristiwa’ internasional. Bahasa Inggris di kartu-kartu informasi, penunjuk arah maupun kaus panitia. Karya seni kinetik berupa perangkat gamelan yang dibunyikan dengan motor listrik, terbata-bata menyambut pengunjung di pintu masuk. Karya ini mungkin yang paling dekat menyatakan bahwa ‘ini Indonesia’. Di seberangnya, barang-barang sehari-hari mulai dari helm, tas dan sepatu kanvas, ‘direspon’ oleh banyak seniman rupa, sedikit memunculkan gaya ‘lowbro’. Rasa agak aneh muncul ketika gaya karya seni jalanan itu ditampilkan dalam kotak-kotak kaca yang ‘dibenam’ di dalam tembok/partisi putih yang steril dan aman vandal. Sebuah Ferari merah yang dipajang di tengah ruang sebelum masuk ke wilayah galeri yang berjualan memunculkan pertanyaan apakah ia merupakan karya seni atau barang yang juga dijual namun dari kategori komoditi lain.
Semua terlihat ‘hepi’.
Sepotong-potong, terdengar yang berjualan menawarkan berbagai keuntungan, pastinya bukan menjelaskan risiko kerugian, dari investasi yang menggiurkan. Mereka kurang lebih sama gesitnya seperti penjualan properti di pameran lain di ruang lain. Para penjual sigap menentukan siapa yang perlu disapa, ditawarkan penjelasan komoditi yang ditawarkan. Bila seorang pengunjung tidak masuk dalam kriteria pembeli potensial maka, ia dibiarkan berlalu, melihat-lihat, tanpa gangguan (penawaran).
Banyak pengunjung ‘jenis yang lain’ terlihat senang; berhasil berdiri di depan lukisan warna-warni tanpa meninjau rasa diri setelah melihat karya itu untuk pertama kali, berfoto diri dengan wajah sedikit ditundukkan dan mengacungkan dua jari membentuk simbol ‘v’ untuk ‘victory’ atau ‘peace’ – tidak jelas – mengikuti tip yang banyak beredar di dunia maya untuk memperoleh hasil ‘selfie’ yang menggugah selera sesama. Rasa, getaran, inspirasi yang didapat dari melihat sebuah karya seni, sepertinya tidak menjadi penting di sini. Pengunjung ‘jenis’ ini cukup senang mendapati karya dengan warna, bentuk, dan ukuran yang ‘enak’ dilihat dan dapat mengambil foto untuk disebar di media sosial setelahnya. Sederhana.
Tanpa bermaksud cerewet, pasar seni ini tampak berusaha betul untuk menghadirkan komoditi pasar ‘baru’ bagi para konsumen tingkat atas. Konsumen yang konsumtif, yang biasa mendasari keputusan pembelian atas keinginan, bukan kebutuhan.
Saya? Saya cukup senang, menemukan karya Indieguerillas di sana.
Leave a Reply